NEGARA ini lebih sering disuguhi iklan “cuci muka agar glowing” daripada ajakan “buka buku biar tahu arah hidup.” Akibatnya, budaya baca kalah bersaing dengan budaya rebahan yang makin merajalela. Banyak anak muda hafal luar kepala cheat code Mobile Legends, tapi ketika ditanya apa itu cheat sheet buat belajar ekonomi mikro, langsung melipir kayak ketemu mantan di kondangan.
Fenomena ini bukan soal malas semata, tapi juga soal arah angin promosi budaya. Coba sesekali iklan prime time diisi pesan motivasi macam “Membaca satu bab buku bisa bikin kamu satu langkah lebih dekat ke masa depan yang cerah,” daripada sekadar iming-iming diskon skincare 11.11, karena jujur saja, wajah glowing tanpa wawasan itu seperti nasi padang tanpa rendang kelihatan lengkap, tapi rasanya kosong.
Kalau generasi muda lebih sering scroll TikTok daripada scroll halaman buku, jangan heran kalau pola pikirnya lebih dibentuk oleh algoritma hiburan ketimbang logika berpikir kritis. Maka dari itu, membangun budaya baca seharusnya menjadi gerakan sosial, bukan cuma PR tahunan perpustakaan daerah.
Bukan berarti dilarang rebahan atau main game. Tapi alangkah baiknya jika rebahan ditemani buku, bukan cuma bantal, karena hidup butuh isi, bukan sekadar posisi tidur yang nyaman.
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Pak Brian Yuliarto, baru-baru ini menggugah semangat 290 mahasiswa penerima beasiswa Tanoto Foundation dalam acara Tanoto Scholars Gathering 2025 di Kerinci. Dalam sesi daring yang inspiratif, beliau berkata bahwa masa kuliah adalah “golden time” waktu paling emas sebelum dunia nyata mengajarkan bahwa nasi padang pun sekarang bisa dicicil pakai paylater.
Pak Menteri juga menekankan pentingnya budaya membaca sebagai fondasi kepemimpinan. Betul juga. Kalau pemimpin minim baca, bisa-bisa pidatonya cuma hasil comot dari caption motivasi di Instagram, atau lebih parah, hasil nyontek dari pidato mantan pejabat zaman Mesir kuno. Padahal, orang bijak bilang “Reading is essential for those who seek to rise above the ordinary” – Jim Rohn
Kalau kata Bung Hatta, “Aku rela dipenjara asal bersama buku, karena dengan buku aku bebas” Nah, sekarang banyak yang rela dipenjara… karena nge-skimming buku pun malas, apalagi merampungkan skripsi!
“Orang pintar membaca masa depan dari buku, sementara orang malas membaca masa depan dari peruntungan di tukang ramal”
Seandainya otak manusia itu panci, maka buku adalah bumbu, baca adalah proses menumis. Tanpa bumbu dan proses, isinya cuma air doang mendidih tapi hambar. Sama seperti hidup tanpa membaca ramai aktivitas, tapi nihil makna.
Lihat Finlandia, negeri yang konon penduduknya lebih sering ke perpustakaan daripada ke salon. Di sana, setiap bayi yang lahir sudah dibekali “baby box” berisi buku. Bukan cuma popok!. Hasilnya? Pendidikan mereka terbaik di dunia. Anak-anaknya debat santai pakai data, bukan pakai suara tinggi dan embel-embel “Bapak kamu siapa!?”
Atau Jepang, di stasiun kereta Tokyo, orang antre sambil baca buku, bukan sibuk scroll TikTok. Di Jerman, ada festival buku tahunan yang lebih ramai daripada konser K-pop. Bahkan di Korea Selatan, pemimpin-pemimpin perusahaan teknologi seperti Samsung dan LG wajib baca minimal 1 buku per minggu. Bukan nonton drakor, ya, buku beneran!
Di Indonesia? Budaya baca kadang kalah dengan budaya viral. Kalau ada e-book gratis, banyak yang nanya “Bisa dibacain versi suara, gak?” Padahal belum tentu mereka tuli cuma mager membaca.
Kadang suka sedih, beli buku Rp50.000 bilang mahal. Tapi beli kopi estetik Rp75.000 bilang “self reward”. Lah gimana, otakmu perlu asupan, bukan cuma lidahmu yang dimanja.
Diskusi
Bayangkan jika setiap orang Indonesia membaca minimal 1 buku per bulan, maka timeline kita akan penuh dengan diskusi ide, bukan debat siapa yang paling cocok jadi menantu ibu kamu.
“Jika ingin menyembunyikan sesuatu dari masyarakat, taruhlah di dalam buku” – Frederick Douglass
(Ngeri ya? Tapi ada benarnya, karena banyak yang gak sempat buka halaman pertama.)
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang membaca dan menulis sejarahnya sendiri” – Ir. Soekarno
(Jangan cuma jadi pembaca status mantan. Jadilah pembaca peradaban.)
“The man who does not read has no advantage over the man who cannot read” – Mark Twain
(Jadi, percuma bisa baca tapi malas baca. Sama saja kayak punya rice cooker tapi tetap beli nasi uduk tiap pagi.)
Budaya membaca bukan urusan gaya hidup elit atau tugas mahasiswa kutu buku. Ini adalah alat survival, kompas hidup, GPS akal sehat, dan modal jadi manusia waras di tengah gelombang informasi yang kadang penuh tipu daya.
Membaca bukan sekadar mengenali huruf, tapi mengenali hidup, bukan cuma soal pengetahuan, tapi soal membuka jendela dunia, menumbuhkan empati, dan memperluas cakrawala berpikir.
Kalau hidup itu kapal, maka membaca adalah layar. Tanpa layar, kita hanya bisa melayang di pelabuhan. Dan sayangnya, banyak kapal berteknologi canggih yang tetap kandas karena nahkodanya malas membaca peta.
Mari kita jadikan buku sebagai teman, bukan pajangan, mari kita jadikan membaca sebagai rutinitas, bukan kewajiban sesaat, karena seperti kata pepatah imajiner dari Planet Karmelia, “Orang yang membaca satu buku sehari akan lebih cepat sukses dibanding orang yang membaca komentar netizen sepanjang malam”
Ssst…! hari ini sudah baca apa? atau masih nunggu ringkasan versi YouTube 3 menit?.[***]