Pendidikan

DOLA BELUT dari Palembang, Digital Sendirian, Tapi Sinyalnya Full Bar

foto : komdigi

DI ZAMAN serba daring, ketika sinyal lebih dicari daripada sandal hilang di masjid, kabar angin dari Jakarta Selatan bikin gaduh grup WhatsApp warga Palembang. Kementerian Kominfo dan Chevening bikin gebrakan kirim anak-anak muda terpilih ke Inggris buat belajar jadi pemimpin digital masa depan. Di antara nama-nama keren dan kampus kelas dunia, tampak satu sosok sederhana tapi penuh tekad  Dola Belut, warga asli pinggiran Musi, berangkat dari Palembang dengan semangat lebih besar dari koper pakaian.

“Orang lain datang bawa CV, aku bawa niat,” ujar Dola Belut sambil menyeka keringat di bawah topi usangnya. “Katanya ini acara buat masa depan, ya aku datang bawa kampung dalam pikiranku.” Ia memang tak terdaftar resmi, tapi seperti pepatah, di mana ada kemauan, di situ bisa numpang duduk.

Acara Chevening Connect 2025 yang digelar di Soehanna Hall, Jakarta, memang dirancang untuk mempertemukan alumni Chevening, peserta baru, serta komunitas digital muda dari berbagai daerah. Program ini merupakan kolaborasi antara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Kedutaan Besar Inggris, yang memilih empat pemuda Indonesia untuk melanjutkan studi S2 di kampus-kampus seperti UCL, King’s College London, hingga University of Warwick.

Sementara para peserta resmi berdiskusi soal ekonomi digital dan kebijakan teknologi, Dola Belut cuma duduk di pojok, nyatet tiap kata Wakil Menteri Nezar Patria yang bicara soal visi global dan komitmen lokal. “Nah, ini yang kusebut nasi dengan kuah cuko,” gumam Dola Belut. “Global di lidah, lokal di hati.”

Empat peserta program Chevening-Komdigi siap diberangkatkan ke Inggris. Dola Belut? Ia ikut bangga, walau bukan dirinya yang terpilih. “Kalau kita tak bisa ikut naik kapal, setidaknya kita bantu dorong dari pelabuhan,” katanya sambil nyorat-nyoret ide buat pelatihan digital di balai RW.

Nezar Patria, alumni Chevening yang sempat kuliah di London School of Economics, menyebut beasiswa ini sebagai investasi jangka panjang. Dola Belut langsung nyambung, “Ilmu itu ibarat benih. Kalau ditanam di tanah subur dalam hati yang mau belajar pasti tumbuh. Tapi kalau tanahnya keras, ya cuma numpang lewat, kayak tamu kondangan yang cuma ambil puding.”

Meski tak punya gelar luar negeri, Dolah tetap merasa bertanggung jawab. Ia pulang ke Palembang bukan bawa piagam, tapi bawa rencana. “Aku mau ajar warga cara bikin email, daftar BPJS online, dan lapor pajak dari hape. Jangan sampai warga kalah digital sama anak SD.”

Di kampungnya, Dola Belut dikenal sebagai ‘Google berjalan’. Bukan karena dia tahu segalanya, tapi karena dia gak malu bertanya. “Katanya malu bertanya sesat di jalan. Tapi kalau zaman sekarang, malu nanya malah nyasar di aplikasi.”

Setiap malam, Dola Belut  buka kelas kecil di pos ronda. Ada yang bawa bangku, ada yang bawa sinyal. “Kita bukan kurang pintar,” katanya, “Kita cuma kurang akses. Tapi kalau warga saling bantu, bukan mustahil dari Palembang bisa lahir pemimpin digital yang tahan buffering.”

Nezar juga bilang, belajar ke luar negeri bukan buat gaya-gayaan, tapi buat bangun negeri sepulangnya. Dolah setuju. “Pepatah bilang, hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan cuko di negeri sendiri. Tapi kalau bisa bawa pulang cuko rasa cheddar dari Inggris, siapa nolak?”

Beberapa hari setelah pulang ke Palembang, Dola Belut duduk di gerbong LRT, melintasi Sungai Musi. Di tangannya, brosur Chevening yang sudah dilipat-lipat seperti peta harta karun. “Aku memang tak dapat beasiswa. Tapi aku dapat semangat. Dan semangat itu harus menular, seperti kupon diskon waktu lebaran.”

Malamnya, ia menulis status di grup kampung “Pemimpin masa depan bukan yang banyak gelar, tapi yang mau belajar, biar lambat asal nyambung, biar tak ke Inggris, asal tak kudet!”

Dola Belut datang ke Jakarta sendirian, tanpa blazer, tanpa beasiswa. Tapi ia pulang dengan tekad sebesar bandwidth kementerian. Program Chevening-Kominfo membuktikan bahwa masa depan digital bukan cuma soal siapa yang ke luar negeri, tapi siapa yang pulang dengan niat membangun negeri. Seperti pepatah Ilmu itu pelita, jangan disimpan dalam lemari, sebarkan, walau cuma pakai sinyal 3G.[***]

Catatan:

Tokoh Dola Belut adalah tokoh fiktif yang diciptakan untuk menyampaikan semangat program Chevening-Kominfo secara naratif dan humoris. Program dan nama pejabat dalam tulisan ini merujuk pada fakta dan dokumentasi resmi dari Kominfo dan Kedubes Inggris.

Terpopuler

To Top