SUMATERA Selatan ibarat petani yang punya ladang luas, hasil panen melimpah, tapi jalan ke pasar ngelewatin sawah orang, sudah pasti sering kecebur!, oleh sebab itu jangan heran kalau padi melimpah, jagung bejibun, kopi harum menggoda, tapi begitu mau dijual keluar, harus nebeng lewat Pelabuhan Boom Baru yang mirip halte bus zaman Belanda, sempit, macet, dan penuh sendimentasi, bahkan, kalau air surut, kapal bisa nginep dua malam karena stuck di lumpur. Kasihan, pak bos!
Namun, ketika Pak Supriyadi, S.E., M.M. resmi dikukuhkan jadi Kepala BPKP Sumsel, harapan langsung disematkan tolong kawal mimpi besar kami!, mimpi itu bukan cuma soal pengawasan anggaran, tapi juga mimpi tentang Pelabuhan Tanjung Carat. Kalau pelabuhan ini jadi, bukan hanya jagung dan padi yang bisa ekspor, tapi asa emak-emak pengusaha keripik pisang juga bisa nyebrang ke Dubai!, cita-cita setinggi langit itu sah lho..apalgi potensi ada.
Sudah bertahun-tahun pelabuhan ini wacananya nongkrong di papan slide PowerPoint, padahal tetangga sebelah sudah duluan tancap gas. Lihat Lampung dengan Pelabuhan Panjang-nya, atau Kalimantan Timur dengan Kariangau udah kayak jalan tol logistik, barang tinggal ‘cuss’ masuk kontainer, tiga hari sudah di Makassar. Kita? Masih ngaduk lumpur di Boom Baru sambil ngeluh, “Aduh, ini sendimentasi bikin sendi-sendi logistik kami nyeri!”.
Belum lagi kalau kita lirik tetangga luar negeri, tengok dan belajarlah dari Vietnam, ada Pelabuhan Cai Mep yang bisa layani kapal raksasa ke Eropa. Di sana, komoditas pertanian kayak beras dan kopi dikawal kayak rombongan pejabat, masuk pelabuhan langsung ekspor, gak butuh ribet. Di kita, jangankan ekspor, jalan ke pelabuhan aja bisa bikin truk jungkir balik karena jalan sempit dan macet. Ibaratnya Sumsel ini punya kulkas penuh, tapi gak punya pintu buat keluarin makanannya. Gimana gak basi nich?
Masalah lain yang diungkap Gubernur Herman Deru juga gak kalah miris, Kebun punya kita, tapi pajaknya malah setor ke Jakarta. Lah, ini ibarat punya sapi di halaman rumah, tapi susunya disedot tetangga buat bikin keju.
Bayangkan, perusahaan sawit, tambang, dan entah apalagi, operasinya di Sumsel, tapi karena NPWP-nya numpang di Jakarta, duit pajaknya ikutan merantau. Nah, daerah kita cuma dapat polusi, jalan rusak, dan jatah CSR yang kadang lebih kecil dari uang parkir di mall. Kalau ini dibiarkan, Sumsel bisa jadi kayak anak kos, kerja keras, makan mi instan tiap hari, tapi gaji masuk rekening orang lain.
Nah, satu lagi yang bikin kepala geleng-geleng adalah soal pengelolaan keuangan desa, banyak kepala desa masuk bui bukan karena niat jahat, tapi karena dodol soal pembukuan. Dikasih dana desa, mereka bingung, itu buat bangun jalan atau beli tenda kawinan, atau vitamin?
Kalau literasi keuangan ini gak dibenahi, ya repot, kepala desa bisa jadi kayak sopir angkot yang baru belajar nyetir, ugal-ugalan, tapi gak tahu rem tangan. Perlu pendampingan yang bukan cuma ngasih buku panduan, tapi juga ngajarin langsung, seharusnya minimal kasih simulasi. “Ini contoh bikin RAB, bukan Rencana Acara Barbeque!”
Nah, Pak Supriyadi, selamat datang di Sumsel, tempat semua masalah datang dalam bentuk “urgent tapi lucu”. Kami percaya BPKP bisa bantu kawal pengelolaan keuangan dengan akuntabel dan tidak absurd. Mulai dari impian pelabuhan Tanjung Carat, perjuangan pajak yang merantau, sampai penyelamatan kepala desa dari jebakan “buku kas jahat”. Pepatah bilang “Jangan sampai kereta lewat, kita masih ngumpulin batu”, tapi dalam konteks Sumsel “Jangan sampai kontainer lewat, kita masih nyari pelabuhan”.gitu lho..
Jadi begini, Pak Supriyadi, bantu kawal mimpi Sumsel bareng-bareng, jangan sampai Tanjung Carat tinggal jadi nama destinasi wisata gagal, pajak terus kabur ke ibu kota, dan kepala desa bingung bedain SPJ dan SKCK. Kalau perlu, bikin tim pengawasan yang kerjanya bukan cuma serius, tapi juga bisa stand-up comedy biar suasana rapat gak mencekam.
Oleh karena itu, membangun Sumsel serius, tapi kalau dibawa santai dan penuh banyolan, InsyaAllah lebih awet, semoga kerja Pak Supriyadi bukan cuma mengawasi, tapi juga jadi bodyguard anggaran dan komedian keuangan desa. Rakyat Sumsel yang sedang menanti kapal, sambil duduk di atas tumpukan jagung. Kalau BPKP sukses, jangan lupa “Jagung kami juga jalan, kopi kami ngopi, dan pajak kami pulang kampung”.[***]