Pemerintahan

Pahlawan Devisa Tak Boleh Jadi Korban Dagang Gelap

ist

SETIAP orang berhak mengepak koper harapan, tapi bukan berarti harus menyelundupkan bungkusan kematian.”
Itu bukan kutipan dari film action atau ceramah motivasi pagi-pagi buta, tapi semacam peribahasa zaman now yang cocok menggambarkan nasib pekerja migran yang tanpa sadar dijadikan kurir narkoba.

Di sinilah kita perlu duduk sejenak kalau bisa sambil ngopi dan tidak sambil nyabu mendengarkan cerita penting dari Tantan Sulistyana, Sekretaris Utama BNN RI, yang tampil sebagai narasumber dalam kegiatan pembinaan pegawai BP2MI di Pusdikter TNI AD Bandung.

Judul kegiatannya memang formal banget “Pembinaan dan Peningkatan Kinerja Pegawai”, tapi isi pesannya tidak kalah penting dari surat cinta pertama berisi peringatan serius tapi dibungkus penuh kasih jangan sampai pekerja migran kita diseret jadi korban narkoba, baik sebagai pemakai apalagi pengantar paket haram.

Perdagangan narkoba ini tak main-main. Sindikatnya sudah menjangkau dari sabang sampai ke swasta, dari perbatasan laut sampai kantong celana sopir travel. Bahkan para pekerja migran kita yang niatnya cuma ingin menyejahterakan keluarga, bisa mendadak jadi “kurir cinta berujung celaka” paketnya narkoba, cintanya palsu, masa depannya suram.

Bayangkan saja, dari data BNN, modus pengiriman narkoba melalui pekerja migran makin variatif. Ada yang disembunyikan di koper ganda, di sepatu, bahkan di perut ditelan dalam bentuk kapsul kayak camilan menyambut maut. Kalau sudah begini, mana cukup pakai slogan “Say No to Drugs” harus ditambah “Say Yes to Cross-Sector Collaboration!” kata Pak Tantan sambil membawa kebijakan yang lebih kompleks dari playlist Spotify anak indie.

Thailand misalnya, mereka punya program Community-Based Treatment yang serius dijalankan sampai tingkat RT. Warga yang pakai narkoba dibina, bukan langsung diciduk lalu dibilang “selesai”.

Di Filipina, pendekatannya sempat brutal (ingat Duterte?), tapi kini mulai merambah ke pendekatan humanis dan kesehatan. Di Singapura? Hukumannya keras, tapi sistem pencegahannya juga rapi jali. Negara kita di mana posisinya? Kadang di tengah, kadang kepleset ke selokan karena banyak program yang ngambang kayak sandal jepit di banjir kanal.

Mari kita bayangkan sejenak dunia tanpa narkoba, ganja hanya tumbuh di taman herbal, bukan di pot kamar kos. Sabu hanya jadi istilah cuaca “sore ini sabu-sabu dan berawan ringan.”

Dan setiap pekerja migran kita, dari Nunukan sampai Hong Kong, bisa membawa oleh-oleh keripik pisang, bukan kapsul narkoba yang ditelan seperti main petak umpet maut.

Di dunia seperti itu, mungkin acara reuni keluarga tak lagi berujung sedih karena anak tertangkap membawa paket. Tidak ada ibu-ibu yang tiba-tiba jadi viral di TikTok karena menangis di persidangan.

Tidak ada yang bangga menyelundupkan, lalu dihukum seumur hidup dengan seragam oranye lebih sering dipakai ketimbang baju Lebaran.

Kita singgah sebentar ke kisah ‘Mas Jali 3 Gram’ seorang mantan pengguna narkoba yang sekarang jadi pengajar senam di panti rehabilitasi.  Dulu ia ditawari “energi tambahan” saat jadi buruh migran di Taiwan. “Katanya biar kuat kerja, tapi saya malah kuat berhalusinasi,” kenangnya.

Sekarang, tiap pagi ia ajari teman-teman di IPWL untuk lompat jempol dan joget ala senam diabetes karena hidup sehat itu candu yang paling berfaedah.

Tantan Sulistyana menyentil pentingnya sinergi BP2MI dan BNN, jangan sampai lembaga pelindungan migran ini cuma urus dokumen dan jadwal keberangkatan, tapi abai soal risiko di lapangan. Perlu penyuluhan sejak di tanah air, bahkan sejak pengisian formulir lamaran. Jangan cuma disuruh bawa pas foto, tapi juga dibekali pemahaman: narkoba itu bukan peluang, tapi penjebak.

Narkoba itu tak pernah menyapa dengan baik-baik, narkoba juga tak pernah datang membawa bunga, tapi sering menyamar sebagai peluang. Ia muncul dalam wajah teman kerja, pacar daring, atau “bos baik hati yang katanya bisa kirim kamu ke Korea”, seperti kata pepatah “Air yang tenang menghanyutkan, narkoba yang disembunyikan bisa menghancurkan”.

Jadi, dukung BP2MI dan BNN dengan lebih dari sekadar tepuk tangan, mulailah dari kesadaran, dari rumah, dari status WhatsApp yang tak cuma berisi “lagi di bandara, wish me luck”, tapi juga “Saya siap kerja di luar negeri TANPA bawa yang haram”

“Lebih baik bawa rendang, ketimbang barang haram, lebih baik ngirim selfie di sawah, daripada selfie di balik jeruji,” karena masa depan itu bukan tentang cepat sampai, tapi sampai dengan selamat, untuk para pekerja migran kalian bukan kurir, kalian pahlawan.[***]

Terpopuler

To Top