PETA boleh digital, tapi batas wilayah Musi Banyuasin (Muba) dan Musi Rawas Utara (Muratara) tetap saja bikin pusing tujuh keliling seolah garis koordinatnya digambar pakai penggaris goyang, Rabu, 30 Juli 2025, sebuah rapat koordinasi digelar di Ruang Rapat Bina Praja, Palembang. Wakil Gubernur Sumatera Selatan, H. Cik Ujang, hadir langsung bersama jajaran, membahas polemik yang tak kunjung reda. Bukan soal utang piutang antarkabupaten, tapi perkara serius bernama batas wilayah yang kalau salah geser satu meter saja, bisa bikin warga nyabit rumput di tanah sebelah.
Rapat ini digelar bareng Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri, Pak Wiranto, yang datang bukan buat bagi stiker tapi mengupas tuntas surat pengaduan dari DPRD dan Bupati Muba.
Katanya, masalah ini jangan dibiarkan kayak cucian numpuk pas musim hujan. Harus disikat habis! Maka, Pak Wiranto pun bilang bakal bentuk tim khusus penyelesai masalah batas bukan tim sepak bola, tapi tim negosiasi serius.
Sementara itu, Cik Ujang dengan gaya tenang ala guru geografi bercerita bahwa Muratara ini dulunya anak dari Kabupaten Musi Rawas. Lahirlah dia secara sah lewat UU Nomor 16 Tahun 2013. Jadi bukan anak haram, tapi anak sah negara. Bahkan, Permendagri Nomor 50 Tahun 2014 dan versi revisinya Permendagri 76 Tahun 2014 sudah kasih patokan batas. Tapi kok masih ribut?.
Nah, rupanya ini kayak kisah rumah tangga lama yang belum move on. Batasnya memang sudah ada, tapi selalu ada yang bilang, “Itu tanah nenek moyang kami.” Padahal neneknya sendiri pun bingung wilayah mana yang dimaksud. Ini menunjukkan pentingnya peta dan peraturan, bukan hanya kenangan masa lalu.
Dalam rapat, peta DOB Muratara dibuka lebar, kayak buka album kenangan mantan. Semua dicek, mulai dari sungai kecil sampai bukit kecil yang katanya jadi patokan batas. Yang bikin seru, peserta rapat saling debat pakai data, bukan pakai nada tinggi. Kalau tidak hati-hati, perbatasan ini bisa jadi “batas kesabaran”.
Pak Wiranto menyampaikan pesan penting jangan sampai persoalan batas wilayah jadi bara api konflik horizontal. Kita butuh solusi damai, bukan drama kolosal “Perang Antargardu Desa”. Seperti kata pepatah modern, “Lebih baik debat peta di ruang rapat, daripada lempar batu di batas.”
Pesannya jelas: perbatasan itu bukan cuma soal garis di peta, tapi juga soal harga diri dan rasa saling menghormati. Pemerintah diminta bijak, jangan sampai ada masyarakat yang jadi korban kebijakan tarik-menarik macam benang kusut habis digaruk kucing.
Dari sini kita belajar bahwa yang namanya koordinasi antar daerah itu kayak masak rendang harus sabar, penuh rempah komunikasi, dan jangan sampai gosong gara-gara ego. Pemerintah pusat dan daerah harus masak bareng biar rasanya maknyus dan nggak ada yang kepedesan sendiri.
Akhir kata, semoga batas Muba-Muratara segera jelas seperti garis pinggir lapangan bola nggak abu-abu dan nggak bisa ditawar. Karena batas wilayah yang sehat itu bukan cuma bikin aman, tapi juga bikin warga tenang nan damai, tanpa perlu ribut soal sepetak sawah di ujung dusun.[***]