ANGKA Kemikinan di Sumsel yang dirilis BPS kemarin menempatkan Sumsel urut tiga di Sumsel dan 10 besar di Indonesia mendapat tanggapan dari legislator Provinsi Sumsel.
Menurut Badan Pusat Statistik [BPS] Sumsel angka kemiskinan di Sumsel mencapai 12,98 % per September 2020. Angka tersebut naik dibanding September 2019, atau sebelum pandemi, yang sebesar 12,56 %. Bahkan angka tersebut juga lebih tinggi dibanding angka nasional yang sebesar 10,19 %. Lantas apa saja dampaknya bagi Provinsi Sumsel, dan harapannya ke depan untuk Provinsi Sumsel ?
“Ada dampaknya salah satunya bisa turunnya nilai bantuan dana alokasi umum [DAU] dari pusat,”kata Wakil ketua komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumsel Mgs Saiful Padli di temui di ruang kerjanya, Kamis (25/2/2021).
Legislator yang membidangi Kesejahteraan Rakyat (Kesra) ini menambahkan dengan tingginya angka kemiskinan, maka akan berpengaruh pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kalau IPM nya rendah, oleh sebab itu DAU akan turun, artinya DAU dari pusat akan turun jumlahnya ke Pemeritah Provinsi Sumsel.
Sekretaris Fraksi PKS ini menjelaskan, untuk tahun 2021 ini, dana DAU Pemrov Sumsel ini sudah berkurang besarannya, karena Pandemi Covid 19.
“Untuk tahun 2022 jangan sampai ada asumsi dana DAU ini bekurang lagu, karena tingkat kemiskinan di Sumsel ini yang semakin meningkat,” ungkapnya.
Turunnya IPM, tambah dia ada tiga indikator yang dapat menurunkan IPM, yaitu umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan masyarakat dan standar hidup layak masyarakat.
Syaiful berharap agar Pemprov Sumsel kedepannya lebih serius, dalam menangani angka kemiskinan yang ada di Sumsel, dan perlu peran semua OPD yang ada.
“Pemprov Sumsel harus serius, seluruh OPD harus duduk bersama, membuat program yang terintegritas dengan menunjuk dinas yang terkait sebagai leading sektor, hingga target pemperintah dalam menurunkan angka kemiskinan tercapai,” tandasnya.
Beberapa solusi diungkapkan Syaiful, seperti membuat program yang berterintegrasi dengan leading sektor, misal Dinsos dan Disnaker dengan melibatkan sektor lainnya dalam mengurangi angka pengangguran yang ada. “Bisa dari Disnaker buat pelatihan setelah ada yang kena PHK, dan ini harus digarap serius dan bukan karena alasan pandemi Covid-19,” paparnya.
Sebelumnya Kepala BPS Sumsel Timbul P Silitonga mengatakan kenaikan angka kemiskinan itu setara dengan 52.490 orang yang masuk kategori miskin. “Jadi jumlah penduduk miskin di Sumsel pada periode September 2020 sebanyak 1,11 juta. Penambahan ini salah satunya karena dampak Covid-19.,” sebutnya belum lama ini.
Timbul menjelaskan dampak Covid-19 tersebut terlihat dari beberapa indikator yang berkenaan dengan pendapatan penduduk, inflasi, daya beli serta angka pengangguran.
“Pertumbuhan ekonomi Sumsel kuartal III/2020 terkontraksi 1,4 %, laju inflasi juga terjadi penurunan harga. Dua komponen itu telah menunjukkan konsumsi rumah tangga yang terkontraksi karena adanya penurunan daya beli masyarakat,” tambahnya lagi.
Dia melanjutkan upah buruh tani juga tercatat menurun pada Agustus 2020 menjadi 1,5 juta per bulan dari sebelumnya Rp1,58 juta per bulan.“Sementara kami melihat kantong-kantong kemiskinan umumnya ada pada mereka yang bekerja sebagai buruh tani,” ujarnya.
BPS juga mencatat terdapat 597.880 penduduk yang kehilangan pekerjaan selama pandemi Covid-19. Ratusan ribu penduduk yang terdampak itu ada yang menjadi pengangguran, tidak lagi menjadi angkatan kerja, dan sementara tidak bekerja.
“Indikator-indikator tersebut lah menunjukkan kondisi yang tidak menguntungkan bagi masyarakat, terutama untuk golongan bawah, apalagi yang hidup di bawah garis kemiskinan,” pungkasnya.
Kepala BPS Prov. Sumsel Endang Tri Wahyuningsih mengatakan pengaruh pandemi terasa di Sumsel apalagi komoditas ekspor yang berpengaruh kebijakan negara tujuan, namun juga afda juga beragam bantuan pemerintah.[***]
one