Sumselterkini.co.id, -Kalau kamu pikir anak walikota itu hidupnya santai, bebas pungli, tinggal bilang “Aku anak siapa!” lalu semua calo bubar kayak maling lampu, kamu salah besar, bro. Di Palembang, pungli itu tidak mengenal silsilah, tidak peduli silsilaku, silsilamu, apalagi silsilah negara. Semua disikat rata. Anak walikota? hajarrrr. [karena gak kenal..kalau kenal lain cerita..he..he]. Apalagi kita yang KTP-nya aja kadang disimpan tukang fotokopi.
Baru-baru ini, Pak Walikota Palembang, Ratu Dewa, buka suara. Bukan soal proyek miliaran atau panen prestasi, tapi panen pungli di tempat wisata dan pusat keramaian. Anak beliau, yang niatnya mau healing sambil lihat Musi, malah di palak dua puluh ribu. Tanpa rasa malu, tanpa diskon keluarga pejabat. Habis perkara.
Lah kita? Yang healing aja masih nyicil cicilan galon, pasti disambut dengan tarif parkir berlapis kayak kue lapis legit, tapi tanpa legit, cuma getir.
Dalam rapat resmi, Pak Wali juga menyoroti Satpol PP. Katanya, mereka ini kadang lebih jago ngerumpi daripada nangkap pungli. Tiap nongol, malah pegang tiang. Entah tiang listrik, tiang bendera, atau tiang jemuran. Tapi yang jelas, bukan tiang harapan rakyat.
“Pak Kasat, jangan enyek-enyek,” katanya. Terjemahan bebasnya jangan pura-pura lugu padahal tahu, jangan kerja setengah tiang padahal seragam lengkap.
Kalau Satpol PP sibuk ngumpul dan ngopi, rakyat harus lapor ke siapa? Nggak mungkin kita ngadu ke tiang yang mereka pegang, kan?
Kawasan Benteng Kuto Besak, kawasan wisata, dan pusat perbelanjaan di Palembang jadi ladang pungli, seperti ladang sawit lepas panen luas, subur, dan berisi oknum. Warga ngeluh di Instagram parkir liar bisa 3 lapis, kayak lasagna tapi bikin bokek.
Lapis pertama: masuk.
Lapis kedua: pas turun dari motor.
Lapis ketiga: pas mau pulang.
Bonus: kalau kita protes, jawabannya selalu, “Memang begitu, Bang, aturannya dari langit.”
Terakhir kue lapis…he..he…!!
Lama-lama, parkir jadi mirip puzzle. Keluar tempat parkir lebih rumit dari keluar dari hubungan tanpa status.
Sekarang seriuslah belajar dari Singapura, karena ketahuan minta duit parkir gak resmi bisa bikin si pelaku disuruh pulang kampung tanpa amplop THR. Bahkan di Jepang? Pungli? Tidak ada dalam kamus mereka. Yang ada cuma malu, minta maaf, dan mengundurkan diri.
Sementara di sini sepertinya ?
Oknum ketahuan pungli: “Ah, itu cuma uang rokok…”
Atasan: “Kami akan evaluasi.”
Evaluasi: artinya pindah ke bagian arsip sambil ngopi. begitu kira-kira…
Jangan remehkan dua puluh ribu. Dari pungli kecil-kecil itu, bisa tumbuh budaya menyimpang yang mekar seperti bunga bangkai busuk tapi tetap dipamerkan. Masyarakat diajarkan diam, terbiasa memberi. Akhirnya? Semua dianggap wajar. Dan yang paling ngeri, kita jadi kebal terhadap ketidakadilan.
Kalau gak dilawan sekarang, pungli akan jadi bagian dari “paket lengkap” hidup di kota jalan rusak, parkir mahal, dan pejabat sibuk selfie.
Oleh karena itu, jangan bikin rakyat makin takut ke tempat wisata cuma karena trauma parkir liar. Jangan biarkan Palembang dikenal bukan karena empek-empek, tapi karena “parkir level dewa”.
Kalau pungli dibiarkan terus, lama-lama bukan cuma parkir yang bayar. Nanti mau pipis di WC umum aja harus isi form 3 rangkap dan bayar biaya “pemanfaatan keran” he..he. Kita akan hidup dalam republik tarif bayar untuk senyum, bayar untuk jalan, bayar untuk hidup.
Sekali lagi jangan bikin rakyat lebih takut ke parkiran, Awas lho nanti rakyatnya bisa berubah jadi detektif medsos, dan TikTok jadi pengadilan rakyat.
La lihat aja Walikota sudah kasih contoh, anaknya sendiri jadi korban. Masa iya kalian masih pura-pura nggak tahu?[***]