Cinta bisa tumbuh di antara stand UMKM dan gulali warna pelangi? Atau hanya transaksi dompet yang bergetar, bukan hati yang berdebar?
BEGITULAH suasana Sriwijaya Expo 2025 yang baru saja resmi ditutup Wakil Gubernur Sumatera Selatan, H. Cik Ujang, di pelataran Benteng Kuto Besak, Palembang. Bukan hanya ajang pamer produk dan songket bertabur benang emas, tapi juga medan laga para jomblo berdaster batik yang masih berharap jodoh lewat jalan pameran. Karena siapa tahu, di balik etalase dodol durian dan kopi bubuk organik, ada cinta sejati yang ikut terkemas dalam plastik ramah lingkungan.
Acara ini, konon katanya, jadi tempat yang “nggak cuma buat belanja, tapi juga buat menata masa depan.” Tapi ya itu tadi, masa depan siapa dulu UMKM-nya atau kamu yang tiap malam masih nyetel playlist “Sendu Tengah Malam”?
Selama lima hari, kawasan Benteng Kuto Besak disulap jadi pasar rakyat rasa internasional. Stand-nya 101 biji, kayak dalil Al-Qur’an, banyak dan lengkap. Dari tenun ikat, sambel uleg, hingga kripik pisang dengan rasa yang lebih banyak daripada pilihan hidup kita saat bingung mau move on atau tetap berharap.
“Ini acara bukan kaleng-kaleng. Transaksi capai 2,9 miliar rupiah. Pengunjungnya 2.500 orang. Itu belum termasuk yang cuma lewat doang tapi minjem kipas gratis,” kata Bu Neng Muhaibah, Kepala Dinas Perindustrian sekaligus ketua panitia, yang ngomongnya tegas tapi tetap bisa diajak selfie bareng pengrajin tas rotan.
Dan yang bikin ramai bukan cuma orang-orangnya, tapi juga Swarna Songket Nusantara yang berkilau kayak sinyal cinta yang tiba-tiba muncul setelah sekian lama hilang arah. Dekranasda Pusat dan daerah kompak menebar warna dan budaya semacam Tinder tapi versi tradisional.
Kata Pak Cik Ujang, acara ini sukses besar. Bukan hanya angkat potensi UMKM, tapi juga bikin semua sadar kalau ekonomi lokal itu seperti nasi uduk tampil sederhana tapi bisa ngumpulin banyak lauk. Dan semua stakeholder diminta tetap semangat bikin produk unggulan.
“Berkarya terus, berinovasi, jangan sampai jalan di tempat kayak motor mogok di tanjakan,” ujarnya penuh semangat, mirip guru BP waktu ngasih motivasi anak-anak kelas 3 yang mau ujian tapi masih main lato-lato.
Stand favorit dapat penghargaan. OPD dan Dekranasda kabupaten/kota pun tersenyum, meski sebagian panitia masih nyari sandal sebelah yang hilang sejak hari kedua.
Sponsor juga diganjar apresiasi, mereka yang di belakang layar, yang biasanya cuma dapet nasi kotak, akhirnya dapat ucapan terima kasih di depan umum. Dan itu sudah lebih dari cukup karena terkadang, dihargai itu lebih penting daripada digaji. (Eh, jangan serius-serius amat ya, ini acara tetap butuh dana).
Acara seperti Sriwijaya Expo 2025 ini sebenarnya lebih dari sekadar pameran. Ia adalah cermin kebangkitan ekonomi lokal, tempat budaya bertemu pasar, tempat rakyat belajar bahwa keringat bisa jadi omzet, dan semangat bisa dikemas jadi brand. Tapi jangan lupa, dalam hidup ini bukan cuma duit yang dikejar, kadang senyum, tawa, dan harapan juga penting.
Seperti kata pepatah Palembang lama, “Dak usah banyak gulo, asal ado kopi, idak galak nyesek sendiri”. Artinya? Kadang cukup hadir dan menikmati momen karena siapa tahu, di tengah stand batik dan lampu-lampu expo, nasib bisa berubah. Entah jadi pengusaha sukses… atau minimal, dapat kenalan baru.
Sampai jumpa di Sriwijaya Expo tahun depan, siapkan produk, siapkan promo, dan siapa tahu, siapkan undangan nikah juga.[***]