Sumselterkini.co.id,- Pembangunan kota itu ibarat merakit sebuah mesin besar, tapi bukan sembarang mesin, ini mesin yang perlu perawatan rutin dan komponen yang pas supaya nggak macet. Bayangin aja Palembang ini kayak mobil balap Formula 1 yang harus bisa ngebut dengan lancar. Pemerintah itu adalah mesin dan pengemudi yang ngebut, masyarakat adalah bahan bakarnya yang harus terus terisi penuh, dan sektor swasta itu tim mekanik yang siap memperbaiki kalau ada kerusakan.
Jika salah satu komponen ini nggak berjalan dengan baik, meskipun mobilnya super canggih, otomatis perjalanan pun bakal terhenti di tengah jalan. Artinya jika nggak bersinergi, Palembang bisa jadi mobil balap yang mesinnya canggih, tapi malah mogok pas ditikungan penting. Kan percuma !.
Kita bisa ambil contoh kota-kota besar yang sukses dalam pembangunan, sebut saja Kopenhagen di Denmark, atau Singapore yang sudah lama jadi model bagi banyak negara dalam hal pembangunan berkelanjutan dan sinergitas antara pemerintah dan masyarakat. Di Kopenhagen, misalnya, pemerintah dan warga berkolaborasi erat dalam merancang kebijakan lingkungan yang ramah, seperti transportasi berbasis sepeda yang sudah sangat efisien, serta berbagai inisiatif hijau lainnya.
Kopenhagen bukan hanya sekadar memanfaatkan kebijakan pemerintah, tapi juga mengajak warganya untuk ikut bertanggung jawab menjaga kebersihan dan kualitas udara.
Begitu pula dengan negeri kecil tetangga Batam, yakni Singapore, meskipun terkenal dengan tata kota yang rapi dan transportasi modern, tidak bisa dikatakan maju jika tidak ada kolaborasi antara kebijakan pemerintah dan partisipasi aktif warganya.
Pemerintah Singapura secara konsisten mendengarkan masukan dari masyarakat, baik melalui forum-forum terbuka atau inisiatif digital yang memungkinkan warga untuk memberikan umpan balik terkait layanan publik. Program seperti ini menciptakan sinergi antara pemerintah dan rakyat, yang membuat pembangunan kota terasa merata dan berkelanjutan.
Ada lagi yang namanya kota Curitiba di Brasil, yang dikenal dunia sebagai pelopor sistem Bus Rapid Transit (BRT) efisien, murah, dan ramah lingkungan. Kota ini memulai inovasi transportasi publik sejak 1970-an.
Di saat kota-kota lain masih sibuk bikin jalan tol buat mobil pribadi. Warga diajak naik bus yang nyaman dan cepat, sementara pembangunan jalan untuk mobil pribadi dibatasi. Hasilnya? Kemacetan bisa ditekan, polusi berkurang, dan warganya pun sehat karena lebih aktif berjalan kaki ke halte.
Keberhasilan Curitiba bukan cuma karena pemerintahnya visioner, tapi juga karena masyarakatnya diajak ikut serta. Pemerintah menyediakan edukasi dan fasilitas, masyarakat pun taat aturan dan mau berubah kebiasaan. Nah, kalau Palembang bisa ngulik ide ini buat Transmusi dan fasilitas jalur sepeda, wah, bisa banget jadi Curitiba-nya Asia Tenggara. Hebat bukan !!?.
Contoh lain, yakni Sungai Cheonggyecheon dulu ditutup beton dan jadi jalan layang. Tapi pada 2003, Pemerintah Seoul berani ambil langkah radikal membongkar jalan layang itu dan menghidupkan kembali sungai bersejarahnya. Hasilnya? Sebuah ruang terbuka hijau sepanjang hampir 11 km membelah pusat kota, jadi tempat rekreasi, olahraga, hingga wisata sejarah.
Proyek ini awalnya banyak ditentang karena dianggap mahal dan “buang-buang jalan”, tapi karena ada komunikasi yang konsisten, partisipasi publik, dan hasil yang nyata, masyarakat akhirnya mendukung penuh. Sekarang Cheonggyecheon jadi simbol kota hijau modern yang tetap punya akar budaya. Bayangin kalau Sungai Musi ditata jadi ruang publik seperti itu bisa jadi andalan pariwisata sekaligus pengikat identitas Palembang!
Terus Melbourne selalu masuk jajaran kota paling layak huni di dunia. Salah satu kuncinya adalah konsep “urban livability” yang nggak cuma ngomongin gedung tinggi dan investasi, tapi soal kenyamanan hidup sehari-hari taman yang luas, transportasi umum yang andal, trotoar lebar buat jalan kaki, dan komunitas aktif di tiap lingkungan.
Pemerintah kota punya kebijakan “people-first”, artinya semua pembangunan harus mengutamakan kenyamanan warga, bukan cuma para pengembang. Mereka rutin diskusi sama komunitas, bahkan ada forum warga buat evaluasi layanan publik secara langsung. Kalau Palembang mau niru Melbourne, mulainya bisa dari memperbanyak ruang terbuka hijau dan mendengarkan suara warga, bukan cuma kontraktor.
Amsterdam bukan cuma kota sepeda, tapi juga kota partisipatif. Warga diundang buat terlibat dalam perencanaan kota dari urusan taman, sampai proyek perumahan. Mereka juga punya konsep “bottom-up planning”, alias kebijakan yang lahir dari ide dan inisiatif masyarakat, bukan cuma dari kantor pemerintah.
Contohnya banyak komunitas warga di Amsterdam yang mengusulkan proyek “mini-park” di sudut-sudut jalan, yang akhirnya disetujui dan dibiayai bareng. Pemerintahnya fleksibel, warganya kreatif, dan hasilnya? Kota yang nyaman dan bikin betah semua kalangan.
Kalau kita menilik kota dari belahan dunia yang berhasil itu, tentunya Palembang bisa belajar banyak tentang bagaimana mengelola pembangunan yang bukan hanya terpusat pada kebijakan pemerintah, tapi juga mengedepankan partisipasi aktif masyarakat sebagai kunci utama. Sinergi ini penting, karena tanpa keterlibatan publik, kebijakan apapun yang ada di atas kertas akan sulit terwujud di lapangan.
Masyarakat turut aktif
Dalam sebuah seminar di rumah Dinas Walikota belum lama ini, Ketua Cermin Kota, Eka Syahruddin, atau yang biasa dipanggil Bre Eka, memberi gambaran jelas tentang pentingnya kolaborasi. Ia menegaskan bahwa Cermin Kota lahir untuk menjadi ruang bersama bagi aktivis dan pembuat kebijakan, bukan sekadar tempat ngopi sambil ngobrol tanpa arah.
Bre Eka mengingatkan membangun kota besar tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. “Masyarakat harus turut aktif,” katanya dengan tegas. Betul, kalau semua cuma berharap pada pemerintah, kita bakalan jadi seperti orang yang berharap tukang bangunan datang buat memperbaiki rumah yang udah bocor, tapi nggak pernah datang-datang. Jadi, kita harus berhenti jadi penonton dan mulai jadi pemain di tim pembangunan Palembang.
Masyarakat harus sadar bahwa setiap kontribusi kecil pun penting. Kalau setiap warga berperan aktif entah itu dengan cara berpartisipasi dalam program pemerintah atau sekadar menjaga kebersihan lingkungan kita sudah melakukan bagian kita. Kolaborasi ini bukan cuma soal pemerintah yang bekerja keras, tapi juga soal bagaimana kita sebagai warga tidak hanya menunggu diberi, tetapi juga memberi.
Wali Kota Palembang, Ratu Dewa, menjelaskan tidak kalah penting, Ia mengungkapkan sejumlah program unggulan Pemkot Palembang, seperti Palembang Gercep, program “Kelakar”, serta berbagai program pemberdayaan ekonomi dan pengembangan infrastruktur.
Semua program ini terdengar sangat menjanjikan, seperti resep rahasia untuk kota yang lebih baik. Tapi, kita harus bertanya, apakah program-program ini hanya akan menjadi slogan semata? Jangan sampai Palembang Gercep ini hanya jadi “gercep” di kertas, tanpa dampak nyata di lapangan.
Bayangkan, jika program-program seperti Palembang Gercep yang seharusnya mempermudah administrasi dan meningkatkan pelayanan justru terhambat oleh birokrasi yang lambat atau sistem yang tak efisien. Ini bisa membuat warga kecewa, karena meskipun di atas kertas terlihat hebat, di lapangan malah jadi macet, bahkan lebih lama dari antrian di loket tiket kereta api. Kalau program-program ini tidak segera direalisasikan dengan cepat dan tepat, kita bisa saja mengulang kesalahan yang sama menggembar-gemborkan perubahan, tapi hasilnya tetap jalan di tempat.
Prof. Erika Buchari, seorang Guru Besar Transportasi dari Universitas Sriwijaya, memberikan pandangan penting mengenai sektor transportasi. Ia menekankan kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah sangat krusial untuk menciptakan sistem transportasi yang efisien dan ramah.
Bayangkan saja, kalau kita hanya mengandalkan pemerintah untuk membangun transportasi yang baik, sementara masyarakat tidak punya rasa tanggung jawab, ya semua fasilitas yang ada bisa cepat rusak atau disalahgunakan. Ini seperti membangun rumah yang bagus, tapi tidak ada yang menjaga kebersihannya rumah itu tetap bisa jadi kotor dan berantakan.
Pemerintah perlu lebih banyak melibatkan warga dalam mengelola fasilitas publik, termasuk transportasi. Kalau kita ingin transportasi di Palembang lancar, warga juga harus ikut berperan dalam menjaga ketertiban, mengikuti aturan, dan menggunakan fasilitas dengan bijak. Jangan sampai, karena ketidakpedulian kita, sistem transportasi yang sudah dibangun dengan baik malah jadi kacau.
Oleh sebab itu, keberhasilan pembangunan kota bukan hanya ditentukan oleh kebijakan dari atas, tetapi juga dari keterlibatan aktif masyarakat. Sinergi antara warga dan pemerintah menjadi kunci dalam menciptakan kota yang tidak hanya maju secara fisik, tetapi juga tangguh secara sosial.
Pembangunan yang sukses itu ibarat sebuah kapal yang berlayar di lautan luas, jika kapal hanya mengandalkan mesin, tanpa ada layar yang menyesuaikan arah angin, kapal tersebut bisa tersesat.
Begitu pula dengan Palembang. Kalau kita ingin Palembang benar-benar berdaya dan sejahtera, kita harus berhenti hanya jadi penonton di kapal besar ini. Pemerintah bisa menyediakan kapal dan mesin, tapi kita semua [warga] harus jadi layar yang menuntun arah pembangunan.
Cermin Kota harus terus menjadi jembatan yang menghubungkan aspirasi masyarakat dengan kebijakan pemerintah. Dengan terus mengedepankan kolaborasi, kita bisa mewujudkan Palembang yang inklusif, berkelanjutan, dan sejahtera, bukan cuma di atas kertas, tapi benar-benar bisa dinikmati oleh semua.
Dengan contoh kota besar seperti Kopenhagen dan Singapore, kita bisa belajar banyak bahwa Palembang memiliki potensi yang sama untuk berkembang, namun memerlukan sinergi yang nyata dan konsisten antara pemerintah dan masyarakat. Jangan hanya menjadi penonton dalam perjalanan pembangunan ini, tapi mari kita semua jadi pemain yang aktif dan bertanggung jawab. semoga berhasil..!!.[***]
