Sumselterkini.co.id, – Di pelataran Benteng Kuto Besak, pagi yang biasanya hanya dipenuhi angin sungai dan suara pedagang jagung bakar, mendadak berubah jadi ajang “Met Gala”-nya pelaku UMKM seantero Palembang, lengkap dengan spanduk warna-warni, stan kuliner yang bikin perut pengunjung berdendang, dan tentu saja pidato resmi dari Ratu Dewa, sang Wali Kota yang makin hari makin fasih menyebut “ekonomi kreatif” tanpa keseleo lidah.
Sungguh, acara Pesona UMKM dan Kuliner Halal Nusantara 2025 ini bukan kaleng-kaleng, karena dari sate padang sampai kopi liberika lokal, dari pempek sampai rendang, semua berkumpul rukun dalam satu lapangan, seolah-olah mereka sedang reuni akbar alumni rasa dan aroma nusantara.
Namun, mari kita sisir pelan-pelan, dibalik gegap gempita pameran stan dan demo masak halal itu, pertanyaannya adalah, apakah UMKM kita ini memang sudah naik kelas, atau baru sekadar naik panggung?. Nah, itu pertanyaannya..
Sebab, jangan sampai, UMKM hanya dipanggil saat seremoni, difoto waktu bazar, lalu dibiarkan jualan sendiri di kolong jembatan, ibarat undangan ke pesta, tapi hanya diminta bawa nasi bungkus dan disuruh duduk di emperan.
Ratu Dewa benar, bahwa UMKM adalah tulang punggung ekonomi, tapi seperti tulang punggung yang terlalu sering dipikul beban berat tanpa pijat refleksi, lama-lama bisa keseleo juga, sebab 93.147 UMKM yang tercatat itu bukan angka ajaib yang bisa naik sendiri, perlu pendampingan, pelatihan, modal, dan yang lebih penting pasar!.
Modal Rp 5 juta per UMKM?. Ya syukur sih, tapi kalau habis buat beli etalase dan bayar listrik, terus gimana digitalisasi dan inovasinya?. Ini ibarat mau lari maraton tapi cuma dikasih sandal jepit dan satu botol aqua.
Kota-kota, seperti Bandung dan Surabaya sudah jauh melesat dengan co-working space gratis, incubator business, dan digital marketing training yang real, bukan sekadar seminar foto bersama. Bahkan di luar negeri, Seoul punya “Seoul Business Agency” yang memfasilitasi UMKM masuk ke pasar global. Bukan cuma difoto saat pameran, tapi dijemput pas produksi, didampingi saat ekspor, dan dibantu saat goyah.
Ajakan kolaborasi lintas sektor oleh Ratu Dewa juga menarik, tapi tolonglah jangan sampai hanya jadi kalimat pembuka pidato, kolaborasi itu bukan cuma duduk satu meja lalu minum teh botol bareng. Namun kerja bareng dari hulu ke hilir, dari desain kemasan sampai urusan ekspor. Kalau BUMN dan BUMD hanya nongol di stan pameran setahun sekali, lalu foto-foto pakai seragam, itu bukan kolaborasi. Itu lebih cocok disebut sebagai wisata seragam batik musiman.
Pepatah lama bilang, “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, berdagang-dagang dahulu, viral-viral kemudian”. Eh, agak dimodifikasi sedikit sih. Tapi intinya, UMKM harus disiapkan untuk tahan lama, bukan hanya ramai sesaat.
Kita boleh bangga dengan pempek yang sudah mendunia, namun jangan sampai pempeknya ke mana-mana, pelakunya tetap di mana-mana. Harus ada akselerasi agar UMKM tak hanya dikenal karena rasa, tapi juga karena daya tahan, jangan sampai UMKM kita ibarat lontong sayur di pagi hari laku cepat, tapi cepat basi kalau tidak diurus.
Ingat, ekonomi kreatif bukan cuma soal kreasi produk, tapi juga sistem pendukungnya. Jangan sampai pelaku UMKM disuruh digitalisasi, tapi sinyal di pasar tradisional masih nyangkut di tiang listrik.
Ajang Pesona UMKM ini, seperti pesta makan besar. Ramai, seru, lezat. Tapi pesta bukan tujuan akhir, justru inilah saat yang pas untuk mengukur apakah kita siap menjadikan UMKM bukan cuma bahan kampanye, tapi benar-benar motor penggerak ekonomi?.
Kalau pemerintah serius, bantu mereka naik kelas bukan cuma naik tenda, mulai dari akses pasar digital, pembiayaan lunak, hingga inkubasi produk berbasis ekspor. Kalau perlu, ajak universitas dan praktisi masuk dapur UMKM, bukan hanya kasih brosur dan salam tempel.
Dan kalau kita berhasil, bukan tak mungkin Palembang bisa seperti Chiang Mai di Thailand, kota yang mengubah UMKM jadi destinasi wisata dunia lewat festival, pemasaran digital, dan dukungan penuh dari pemerintahnya.
Sebab Palembang bukan cuma kota pempek. Ia kota ide, kota rasa, dan kota yang bisa menjelma pusat ekonomi kreatif halal dengan cita rasa global, asal niatnya jangan cuma sampai ke spanduk. Jadi, mari jangan biarkan UMKM jadi “tameng upacara”. saatnya mereka jadi headliner, bukan figuran!.
Jadi, pesta UMKM dan Kuliner Halal Nusantara 2025 ini ibarat dapur yang baru saja dibersihkan mengkilap, wangi, tapi jangan lupa masakannya belum tentu siap saji. Boleh kita tepuk tangan buat semangat pemerintah kota, boleh kita salut pada ribuan pelaku usaha yang bangkit dari keterpurukan, tapi jangan buru-buru deklarasi sukses sebelum mereka benar-benar mandiri dan merdeka secara ekonomi.
Karena membina UMKM itu bukan cuma soal bagi-bagi tenda dan spanduk pameran. Ini soal menyiapkan infrastruktur, pasar, teknologi, serta mentalitas bertumbuh. Jangan sampai UMKM kita seperti mobil bagus yang bensinnya tinggal dua tetes. Melaju sebentar, mogok kemudian.
Sehebat apapun niat Ratu Dewa dan jajarannya, kalau tak disokong dengan keberlanjutan program, ya hasilnya cuma sebatas lomba stan dan demo masak tahunan. Padahal yang dibutuhkan UMKM adalah ladang, bukan sekadar panggung. Mereka perlu ruang usaha yang aman, akses digital yang lancar, pelatihan yang aplikatif, dan kolaborasi yang nyata bukan basa-basi sambil ngopi di sela acara.
Lihat kota seperti Makassar, yang sudah membentuk Lorong Wisata sebagai etalase UMKM per kampung, Chiang Mai-vietnam yang memadukan tradisi dan digitalisasi untuk mengekspor kerajinan hingga ke Eropa, UMKM Palembang optimis bisa, asal jangan cepat puas dan jangan hanya mengejar liputan media lokal.
Sebab pada akhirnya, UMKM yang kuat bukan hanya menciptakan omzet, tapi juga menciptakan martabat. mereka bukan penggembira di perayaan HUT Kota, tapi fondasi dari ekonomi yang berdaulat, jika UMKMa benar-benar ingin menjadikan Palembang sebagai pusat ekonomi kreatif halal, jangan biarkan UMKM kita terus jadi tamu undangan saatnya mereka jadi tuan rumah![***]