Palembang Terkini

“Digitalisasi Jangan Setengah Saji”

ist

Sumselterkini.co.id,- Di Pasar Padang Selasa Palembang, suasana kemarin agak berbeda, bukan karena ada diskon cabe rawit atau mangga harum manis, tapi karena launching Kartu Identitas Pedagang (KIP). Kartu ini diluncurkan  Perumda Pasar Palembang Jaya dan dihadiri langsung oleh Wakil Wali Kota Palembang, Prima Salam, yang menyampaikan pujian seolah sedang membedah naskah Oscar.

Kita patut mengapresiasi langkah progresif dari Dirut Perumda Pasar yang baru dua bulan menjabat, Pak Dedi Siswoyo. Baru sebentar, tapi sudah bikin kartu, bukan bikin kartu nama, tapi KIP. Ini kartu yang katanya multifungsi bisa buat identitas pedagang, transaksi non-tunai, bahkan katanya di dalamnya ada fasilitas KUR, bukan “kurang duit” tapi Kredit Usaha Rakyat. Lumayan, bisa buat modal dagang, asal nggak disalahgunakan buat beli iPhone 16.

Tapi, di balik sorak sorai dan karpet merah peluncuran, ada baiknya kita menilik apakah ini terobosan, atau cuma kartu baru yang akhirnya nasibnya seperti kartu BPJS di dompet ada, tapi jarang disentuh?.

KIP ini kalau kita tilik dari namanya, mirip SIM dan KTP, ada unsur legalitas dan keterikatan emosional dengan lembaga. Tapi ya, jangan sampai jadi “Kartu Indah Pemandangan”, bagus dilihat tapi fungsi setengah hati.

Pasar rakyat itu kan tempat paling jujur dalam menampilkan ekonomi rakyat kalau hujan bocor, kalau demo, ya di depan situ. Maka dari itu, sistem digitalisasi harus menyentuh realita, bukan cuma jadi proyek yang instansinya dapat piagam tapi pedagangnya malah bingung gesek di mana.

Contoh sukses digitalisasi pasar? Coba tengok Pasar Beringharjo Yogyakarta. Di sana, meskipun semerbak aroma jamu dan kain batik masih kental, namun transaksi non tunai mulai jamak, lewat QRIS dan e-wallet. Tapi, sukses itu nggak datang dari kartu doang, melainkan dari pendampingan, pelatihan, dan sinergi antar dinas. Tanpa itu, ya… digitalisasi pasar kayak ngajak simbah main TikTok bisa sih, tapi perlu waktu dan kesabaran level dewa.

Atau lihat Bangkok’s Chatuchak Market di Thailand. Pasar yang besar dan kompleks itu justru pelan-pelan memperkenalkan sistem cashless, tapi tetap menyediakan opsi tunai. Tidak dipaksa, tapi diberikan insentif diskon khusus pengguna non-tunai, misalnya. Nah, ini bukan cuma soal teknologi, tapi soal pendekatan budaya dagang.

Pasar Namdaemun di Seoul, Korea itu ibarat kakek-kakek yang udah sepuh tapi tetap update Instagram. Usianya tua, tapi sudah mengadopsi transaksi digital, termasuk QR code, e-wallet lokal seperti KakaoPay dan Naver Pay, bahkan ada vending machine buat cetak struk belanja!. Bisa dibilang, pasar tradisional tapi sistem pembayaran udah kayak pusat perbelanjaan digital, di sana pedagang jual ikan asin, tapi cara bayarnya udah kayak beli saham.

Sebelum dipindahkan ke Toyosu, Pasar Tsukiji di Tokyo terkenal bukan cuma karena tuna raksasa, tapi karena keteraturannya. Transaksi non-tunai sudah biasa, semua tercatat, dan pedagang tua di sana ngerti sistem barcode lebih jago dari anak-anak yang main kasir-kasiran. Jepang ngajarin kita bahwa tradisional itu bukan berarti gaptek. Tsukiji bisa jadi contoh pasar bisa amis ikannya, tapi tetap wangi sistemnya.

Kuala Lumpur, Malaysia, Pasar Chow Kit, pasar ini berhasil disulap menjadi lebih bersih, rapi, dan sekarang banyak kios yang menerima pembayaran via Touch ’n Go, semacam OVO-nya Malaysia. Pemerintah Malaysia aktif kasih pelatihan ke pedagang, dari cara mengelola digital payment sampai cara packaging menarik. Jadi, bukan cuma kasir Indomaret yang bisa senyum sambil scan barcode, tapi Mak Jah penjual ikan pun bisa.

Singapura,  Tekka Centre, Little India Pasar ini mungkin hanya dua langkah dari stasiun MRT, tapi sistemnya lima langkah di depan. Transaksi digital, kamera keamanan, sistem kebersihan otomatis, dan… Wi-Fi gratis! Pedagangnya tetap jual roti prata dan kari kambing, tapi udah pakai sistem pembayaran SingPass dan NETS. Singapura membuktikan bahwa aroma rempah bisa bersatu dengan aroma kemajuan teknologi.

Langkah awal

Pasar itu seperti toge, dia tumbuh dari bawah, cepat, tapi rapuh kalau tak dijaga. KIP bisa jadi seperti air cucian beras yang menyuburkan, asal tidak jadi air comberan yang numpang lewat saja. Jangan sampai digitalisasi pasar ini seperti pepatah “air tenang menghanyutkan”, tapi dalam kasus ini airnya tenang karena tidak bergerak mandek, karena tidak sampai ke pedagang-pedagang kecil di los belakang yang bahkan belum tahu bedanya WiFi dan WeChat.

Kita tahu, Pak Dedi baru dua bulan, seperti masakan oseng-oseng, bumbu belum terlalu meresap. Tapi justru itu momen emas jangan sampai KIP ini cuma jadi proyek formalitas. Sosialisasi, pelatihan, dan pendampingan harus jalan terus. Jangan sampai kejadian seperti di beberapa pasar digital di Jawa Tengah, yang kartunya canggih tapi malah pedagang nitip ke anaknya buat transaksi karena “mbok’e gaptek”.

Boleh saja pasar bersih, nyaman, dan ada kartu digital. Tapi kalau si Mbok masih bingung cara isi saldo, maka yang cashless itu cuma pejabat yang datang sekali launching lalu hilang bagai mantan.

Peluncuran KIP adalah langkah awal yang patut kita sambut, tapi jangan sampai berhenti di acara potong pita dan sesi foto bareng. Pasar itu bukan hanya soal bangunan dan kartu, tapi tentang denyut ekonomi rakyat, seperti pepatah “Jangan mengukur kedalaman sungai dengan satu kaki”. Begitu pula mengukur keberhasilan pasar, jangan hanya dari satu kartu.

Dirut boleh baru, tapi harapan kita lama pasar yang manusiawi, adil, dan tidak cuma jadi lahan proyek. Pedagang jangan hanya jadi objek kebijakan, tapi aktor utama dalam transformasi. Kalau KIP sukses, bukan tidak mungkin nanti muncul ide baru Kartu Cinta Pedagang yang bukan hanya menyimpan saldo, tapi juga harapan.

Jadi, Pak Dirut, semoga KIP ini bukan cuma “Kartu Indah Peluncuran” tapi benar-benar jadi “Kunci Investasi Pedagang”. Kalau perlu, tambahkan bonus tiap 10 transaksi non-tunai, dapat satu pisang goreng gratis. Minimal, ada rasa manis dalam transformasi ini.

Digitalisasi pasar lewat Kartu Identitas Pedagang (KIP) sejatinya adalah angin segar di tengah kios-kios berdebu dan suara pedagang yang sudah lebih fasih teriak “seribuuuuu!” ketimbang “scan QR dulu ya, Bu”. Tapi, mari kita akui secanggih-canggihnya kartu, kalau tidak disertai pemahaman dan pembinaan, ya sama saja seperti kasih laptop ke kambing,   kagum iya, paham tidak!.

KIP ini bisa jadi jalan tol menuju pasar modern, asal jangan cuma diaspal setengah terus dijadikan lokasi selfie. Pedagang butuh didampingi, diajari, bahkan kalau perlu dipraktikkan bareng dari cara top up, cara gesek, sampai cara cek saldo. Karena jangan-jangan, nanti malah muncul keluhan, “Saldo saya dipotong seribu padahal cuma duduk doang.”

Kita juga ingin, semoga ini bukan sekadar euforia dua bulan awal kepemimpinan yang habis bensin di bulan ketiga. Jangan sampai KIP hanya tinggal kenangan, seperti kartu diskon martabak yang entah ke mana. Lebih baik lambat tapi merata, daripada cepat tapi hanya untuk pasar-pasar yang sudah melek digital sejak zaman Orde Baru.

Mari kita dorong terus agar digitalisasi ini menjangkau semua dari Mbok Penjual Pecel Lele sampai Uda Pemilik Lapak Buah. Karena seperti kata pepatah Minang “Basamo mangko manjadi”  bersama baru jadi. Bukan cuma Dirut dan pejabat yang selfie pegang kartu, tapi pedagang kecil pun merasa dimanusiakan, dilibatkan, dan difasilitasi.

Pada akhirnya, pasar bukan sekadar tempat transaksi, tapi juga tempat harapan digantung, impian dijajakan, dan kehidupan disusun dari koin demi koin. Maka dari itu, jika KIP ini benar-benar dijalankan sepenuh hati, bukan tidak mungkin ke depan Pasar Padang Selasa jadi bahan studi banding, bukan lagi tempat sekadar cuci mata atau belanja sayur.Dan kalau itu terjadi, kita semua bisa bilang “Palembang bukan cuma punya pempek, tapi juga pasar digital yang melek!”.[***]

Terpopuler

To Top