Sumselterkini.co.id, – Pagi buta, akhir pekan lalu, saat ayam masih semedi di pojokan kandang dan kopi belum sempat minta diseduh, ribuan manusia dari berbagai pelosok Nusantara dan bahkan dari negeri-negeri tetangga ASEAN sudah berdiri tegap di kaki Jembatan Ampera. Tapi mereka bukan mau demo harga beras atau rebutan sembako. Mereka siap… lari. Yes, L-A-R-I. Namun bukan lari dari kenyataan, apalagi dari cicilan, yakni Ampera Tourism Run 2025, bung!.
Di kota yang pernah jadi ibu kota Sriwijaya dan sekarang jadi ratu pempek dunia, Palembang mendadak jadi panggung kolosal para pelari. Tapi ini bukan sekadar event olahraga, ini semacam goyangan massal yang dibumbui wisata, dibalut semangat hidup sehat, dan ditaburi peluang ekonomi kreatif. Kalau kata orang tua-tua, “sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui, lari-lari sehat, wisata pun ikut nyambangi”.
Lari di Palembang bukan cuma soal kaki yang bergerak, ini semacam sihir kolektif satu dua orang mulai lari, ribuan lainnya ikut, dan… boom! UMKM bangkit, pedagang pempek dapat bonus lelehan rezeki. Ini ibarat nasi goreng, kelihatannya simpel, tapi kalau dikasih telur, sosis, dan sambal terasi bisa bikin lidah menari dan ekonomi menanjak.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya pun sampai angkat topi secara simbolis tentunya, karena kalau topi beneran dilepas takut diterbangkan angin Sungai Musi. Ia menyebut event ini sebagai “magnet yang luar biasa”. Ya iyalah, siapa yang nggak kesedot suasana euforianya?. Jembatan Ampera yang biasanya jadi lokasi pacaran muda-mudi sekarang disulap jadi trek lari ala New York Marathon versi lokal, tapi lebih banyak pedagang model di pinggir jalan.
“Ini bukan event kaleng-kaleng, ini potensi emas!” kata Bima Arya yang juga menyelipkan harapan agar Ampera Tourism Run bisa jadi event tahunan bertaraf internasional, karena, kalau Bogor bisa bikin Festival Durian, Palembang masa nggak bisa bikin Festival Lari Sambil Selfie di Atas Jembatan?
Wali Kota Ratu Dewa juga nggak kalah semangat. Ia bahkan mengusung program anti mager malas gerak. Waduh, kalau ini diterapkan serius, siap-siap camat dan lurah-lurah latihan sprint tiap pagi!. Tapi, ini bukan semata olahraga, ini soal menghidupkan kota, menyemarakkan ruang publik, dan menyulap kegiatan jogging jadi branding pariwisata. “Palembang akan jadi Kota Run!” ujarnya, dengan semangat yang mirip komentator bola ketika penalti masuk.
Tapi tentu, bukan lari sembarang lari, ini adalah lari yang bisa sekaligus jadi sarana promosi wisata, karena tak semua kota punya jembatan legendaris seperti Ampera, sungai mahadahsyat seperti Musi, dan vibe historis dari zaman Sriwijaya sampai zaman rebahan kayak sekarang.
Nah, di sinilah letak pentingnya keterlibatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan Kemenpora karena Ampera Tourism Run bukan cuma buat senam jantung masyarakat, tapi bisa jadi diplomasi lunak “Soft power-nya Palembang”.
Undang peserta dari Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, biar mereka bukan cuma lari, tapi pulang bawa cerita, bayangkan mereka pulang kampung cerita, “Gue kemarin lari di atas sungai terbesar di Sumatera, bro!”langsung bisa viral di TikTok, masuk FYP, bikin para netizen ASEAN penasaran, dan tahun depan, hotel-hotel di Palembang full-booked dua minggu sebelum event!.
Kalau perlu, tambah hiburan khas seperti lomba lari pakai songket, atau marathon sambil makan pempek, bukan lelucon, tentunya sebagai strategi branding level dewa, Kemenparekraf pasti senang kalau daerah bikin terobosan wisata kreatif yang nggak gitu-gitu aja.
Bisa contoh daerah lain yang sektor pariwisatanya bergerak, dan jadi andalan pendapatan asli daerah, seperti Bali Marathon, setiap tahun, ribuan pelari dari seluruh dunia datang ke Bali bukan cuma buat olahraga, tapi juga buat nyambung liburan. Setelah lari, langsung check-in di vila, lanjut yoga atau nyemplung di Ubud, perekonomian lokal? Auto senyum!. Borobudur Marathon
Jogging pagi sambil ngelirik Candi Borobudur?, Ini bukan mimpi, Borobudur Marathon jadi salah satu lomba lari paling ikonik di Asia Tenggara. UMKM Magelang panen pesanan, homestay laku keras, dan wisata budaya ikut ngetop.
Labuan Bajo, Komodo Marathon, lari sambil lihat bukit dan laut biru, dengan Komodo melirik dari kejauhan (jangan terlalu dekat ya). Inilah cara NTT naik kelas: olahraga dipakai sebagai jembatan menuju promosi wisata. Nah, Palembang? punya Ampera, Sungai Musi, sejarah Sriwijaya, dan semangat warga yang nggak bisa dianggap enteng!.
Ampera Tourism Run juga bisa dikolaborasikan dengan festival kuliner, pameran UMKM, panggung musik etnik, atau bazar kopi lokal. Jadi peserta lari bukan cuma keringetan, tapi juga kenyang dan bahagia. Ini baru namanya lari yang mengenyangkan ekonomi!, tapi jangan kebanyakan makan nanti pulang kalestrol, darah tinggi dan asam uratnya kambuh, he..he.
“ASEAN Sport Tourism Circuit”
Dan andai kementerian serius mau bantu, bisa diadakan “ASEAN Sport Tourism Circuit”, di mana tiap negara gantian jadi tuan rumah lomba lari. Palembang jadi yang pertama. Kenapa? Karena kita punya jembatan Ampera, Sungai Musi, dan sambutan warga yang lebih hangat dari wedang jahe.
Palembang bisa libatkan juga Kementerian lain, kalau mau naik kelas, dan event ini bisa lebih nendang kalau, seperti Kemenparekraf turun tangan bantu promosi digital dan skema event berskala ASEAN, Kemenpora fasilitasi pelari muda dan pelatih daerah dan libatkan komunitas kreatif buat bikin festival kuliner, pertunjukan budaya, bahkan mungkin lari sambil pakai kostum tokoh sejarah Sriwijaya!
Bahkan kalau perlu, undang pelari dari Thailand, Vietnam, Malaysia. Biar mereka tahu di Palembang, lari itu bukan sekadar olahraga, tapi pengalaman budaya, kuliner, dan keramahan!” karena kalau selama ini promosi wisata kita kayak brosur di apotek ada tapi gak dilirik, maka lewat Ampera Tourism Run ini kita bisa bikin branding kota jadi hidup dan segar.
Kegiatan seperti Ampera Tourism Run ini jangan dianggap ecek-ecek. Ini seperti nasi goreng kelihatannya sederhana, tapi kalau dibumbui dengan tepat, bisa bikin orang antre sampai tiga tikungan. Maka dari itu, event ini perlu terus dirawat, diperluas, dan dipoles biar bukan cuma ajang peluh, tapi juga ajang promosi daerah yang harum sampai ke meja ASEAN.
Kalau pemerintah jeli, Palembang tak hanya dikenal karena pempek dan jembatan merahnya, tapi juga karena jadi kota tempat ASEAN belajar caranya menggabungkan olahraga, budaya, dan promosi wisata dalam satu tarikan napas… dan satu tarikan nafas panjang setelah lari 10 kilometer!.
Ampera Tourism Run 2025 bukan hanya lomba lari, tapi simbol dari semangat baru kota Palembang bergerak, berkolaborasi, dan memperkenalkan diri ke dunia. Dari Sungai Musi yang mengalir tenang hingga derap kaki ribuan peserta, Palembang sedang menunjukkan bahwa olahraga bisa menjadi panggung promosi wisata yang efektif.
Namun euforia tak cukup hanya berakhir di garis finish. Diperlukan keberlanjutan penguatan event, promosi digital yang digarap serius, dan dukungan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kemenpora, hingga jejaring antarnegara ASEAN. Kalau kota lain bisa hidup karena event lari, maka Palembang pun bisa bahkan dengan cita rasa lokal yang lebih kaya.
Jangan sampai keringat warga cuma menguap ke langit, tapi tak menyuburkan tanah pariwisata. Momentum ini harus ditangkap, dirawat, dan dilipatgandakan. Karena di balik setiap langkah kecil peserta lari, ada potensi besar untuk ekonomi kreatif, kunjungan wisata, dan reputasi kota.Dengan perencanaan yang matang dan niat yang bulat Palembang tak hanya berlari, tapi siap melaju sebagai destinasi wisata strategis yang menghubungkan sejarah, budaya, dan masa depan.[***]