PERNAH dengar pepatah, “Hidup di jalan itu kayak main catur, sekali salah langkah bisa skakmat”?, bedanya, kalau di catur yang tumbang cuma pion, di jalan raya yang tumbang bisa nyawa orang. Nah, ironisnya, banyak dari kita yang kalau di kantor bisa kalem, tapi begitu di balik setir berubah jadi Thanos, merasa semua jalur adalah haknya, semua kendaraan wajib minggir, dan lampu merah dianggap lampu hias Lebaran.
Padahal, keselamatan di jalan itu bukan sekadar urusan rem, gas, atau belok, itu soal akal sehat, budaya, bahkan harga diri bangsa. Lho kok bisa?, ya bisa!, karena cara kita berkendara mencerminkan mentalitas kita sebagai masyarakat. Kalau tertib, artinya kita paham disiplin. Kalau suka ugal-ugalan, ya jangan salahkan orang luar negeri yang bilang pengendara kita kayak “main roller coaster gratis di jalan raya”
1. Jalan Raya Itu Panggung, Kita Semua Pemainnya
Bayangkan jalan raya itu kayak panggung teater, ada motor, mobil, truk, bus, sampai pejalan kaki, semua punya peran, masalahnya, banyak pengendara yang maunya jadi pemeran utama, mereka lupa ada sutradara bernama aturan lalu lintas.
Ibarat kata, kalau semua aktor rebutan dialog, drama berubah jadi dagelan tanpa naskah, contoh simpel, yakni motor nyelonong lawan arus, mobil ngegas pas lampu kuning, truk parkir sembarangan kayak lagi main Tetris, hasilnya?, chaos!.
Makanya, pepatah bilang “Di mana bumi dipijak, di situ aturan dijalankan”, kalau di jalan raya, aturannya jelas, rambu bukan hiasan, marka bukan coretan, dan sabuk pengaman bukan dekorasi.
2. Emosi sama dengan Bensin untuk Kecelakaan
Pernah nggak ketemu pengemudi yang kalau disalip dikit langsung kayak kena serangan pribadi?, wajahnya merah, tangannya klakson non-stop, matanya penuh dendam, itu yang namanya ego di setir.
Padahal, pepatah Jawa bilang “Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake”. Artinya, menang itu bukan soal adu cepat atau adu keras kepala, tapi bagaimana kita bisa pulang dengan selamat tanpa bikin orang lain celaka.
Logikanya sederhana, lebih baik telat lima menit daripada masuk berita lima belas detik, tapi sayangnya, banyak yang mikir sebaliknya “Lebih baik tabrakan daripada ngaku kalah di jalan”, lah, ini jalan raya apa ring tinju?.
3. Teknologi Itu Asisten, Bukan Juru Selamat
Zaman sekarang, mobil dan motor makin canggih, ada ABS, sensor parkir, kamera 360, bahkan motor matic yang bisa ngerem sendiri. Tapi ingat, teknologi itu cuma asisten, bukan malaikat pelindung.
Banyak yang merasa terlalu pede “Tenang, mobil gue ada fitur otomatis ngerem”. Eh, padahal kalau sopirnya asyik scroll TikTok, ya teknologi cuma bisa bantu segitu doang. Ingat pepatah “Tong kosong nyaring bunyinya”, sama halnya dengan kendaraan canggih tapi otak pengemudinya kosong perhatian.
Jadi, kecelakaan itu sering, bukan karena mesin jelek, namun karena manusianya lalai, jadi jangan ngarep mesin jadi malaikat penyelamat, kalau kita sendiri masih main HP sambil setir.
4. Budaya Tertib Itu Investasi Bangsa
Kalau kita jujur, lalu lintas di negeri ini masih penuh drama. Lampu merah dianggap saran, zebra cross jadi cat jalan, dan trotoar dipakai motor buat jalur alternatif.
Padahal, budaya tertib di jalan itu bukan cuma soal aman, tapi juga soal martabat bangsa, negara-negara maju itu bisa maju salah satunya karena warganya tahu antre, tahu sabar, tahu aturan. Kalau di jalan saja nggak disiplin, bagaimana mau disiplin dalam urusan lain?
Pepatah Sunda bilang “Sing saha nu nerapkeun tata tertib, bakal manggih rahayu”, artinya, yang patuh aturan akan menuai keselamatan. Jadi sebenarnya, tertib lalu lintas itu investasi jangka panjang, bukan cuma urusan hari ini.
5. Pesan Moral Jalan Bukan Tempat Adu Gengsi
Banyak pengendara yang anggap jalan itu arena pamer, ada yang pamer motor knalpot brong, ada yang pamer mobil mewah tapi ugal-ugalan, ada juga yang pamer keberanian lewat trotoar, padahal, semua itu cuma bikin malu.
Kalau kata pepatah Betawi “Jangan besar pasak daripada tiang”, jangan besar gengsi daripada akal sehat, karena ujung-ujungnya, gengsi nggak bikin selamat. Justru yang menang itu yang bisa pulang ke rumah, ketemu keluarga, dan tidur nyenyak tanpa nyawa orang lain di pundaknya.
Keselamatan jalan raya itu bukan cuma tanggung jawab polisi, bukan juga sekadar urusan rambu dan marka. Itu tanggung jawab kita semua, sebagai pengendara, pejalan kaki, bahkan penumpang.
Jalan raya adalah cermin budaya, kalau di jalan kita bisa sabar, tertib, dan saling menghargai, berarti kita sudah menanam benih peradaban yang baik. Sebaliknya, kalau di jalan kita masih suka serobot, emosian, dan egois, berarti masih panjang PR bangsa ini.
Ingat!, “Biar lambat asal selamat”, kata-kata itu sederhana, tapi kalau dipraktikkan, bisa menyelamatkan ribuan nyawa tiap tahun. Jadi, yuk mulai dari diri sendiri, jangan jadikan jalan raya sebagai arena balap atau panggung gengsi, tapi jadikan sebagai tempat kita saling menjaga.
Karena pada akhirnya, keselamatan di jalan itu bukan soal siapa paling cepat sampai, tapi siapa yang bisa pulang dengan utuh, tertawa bersama keluarga, dan bilang “Alhamdulillah, hari ini selamat lagi”.[***]