Otomotif

Knalpot ke Baterai, IKM Otomotif Songsong Era Kendaraan Listrik

ist

KALAU kita jalan-jalan ke pasar malam di Purbalingga atau pelosok Jawa, biasanya ada satu lapak yang paling rame, jualan knalpot racing dengan suara yang bisa bikin ayam kampung salah kira kokok jago tetangga.

Knalpot ini bukan sekadar besi berlubang, tapi simbol gaya hidup semacam “lipstik” bagi motor bebek. Nah, masalahnya, kalau dunia sudah beralih ke kendaraan listrik yang anteng seperti teko listrik, siapa nanti yang bakal beli knalpot racing itu?

Di sinilah tantangan besar menghampiri Industri Kecil Menengah (IKM) otomotif kita, selama ini mereka sudah terbiasa bikin knalpot, gir, mur, baut, sampai onderdil yang kadang lebih awet daripada motor itu sendiri. Tapi zaman berubah, seperti kata pepatah Jawa, “sing ora bisa ngikuti jaman, bakal ketinggalan arisan”. Artinya, kalau tidak mau bertransformasi, IKM bisa-bisa jadi penonton di lapangan industri otomotif global.

Transisi ke kendaraan listrik bukan lagi sekadar wacana, data penjualan motor listrik di Indonesia memang belum seheboh gorengan tahu bulat, tapi tren dunia jelas mengarah ke sana. Pemerintah juga sudah menggembar-gemborkan insentif, subsidi, dan charging station yang mulai tumbuh bak jamur di musim hujan.

Nah, IKM otomotif mau tidak mau harus ikut menyesuaikan diri. Bayangkan, bengkel kecil yang biasanya spesialis bikin knalpot “ngebas” tiba-tiba harus mikirin desain bracket baterai. Yang tadinya tukang las bisa bikin “kopling” knalpot pakai mata terpejam, kini harus belajar bikin casing motor listrik yang tahan goncangan. Kalau tidak, bengkel-bengkel itu bisa jadi museum mini sebelum waktunya.

Coba bayangkan sejenak, kalau semua motor listrik sudah merajalela, suasana malam Minggu akan berubah drastis. Jalanan tak lagi ramai suara knalpot “bletak-bletak”, tapi jadi hening seperti perpustakaan kelurahan. Bisa-bisa para emak yang biasa ngomel karena motor anaknya berisik malah kangen suara itu.

Tapi jangan salah, di balik senyap motor listrik ada peluang emas. Kalau dulu IKM jadi tukang bikin knalpot, sekarang bisa geser ke bikin casing baterai, pelindung dinamo, bahkan aksesori lucu seperti stiker “motor listrik tapi hati bensin”. Justru dengan pasar global yang makin cinta produk ramah lingkungan, IKM kita bisa ikut nebeng tren, asal berani melompat dari zona nyaman.

IKM otomotif itu ibarat pedagang sate di pinggir jalan. Selama puluhan tahun sudah lihai meracik bumbu, tahu kapan sate harus dibalik, dan mengerti selera pelanggan. Tapi suatu hari datang tren baru, orang-orang mulai suka sate vegan dari tempe. Kalau pedagang itu ngeyel tetap jual sate kambing saja, ya siap-siap dagangannya sepi.

Begitu juga IKM. Knalpot mungkin masih laku untuk beberapa tahun ke depan, tapi perlahan pasar akan pindah. Jadi, lebih baik mulai belajar bikin “sate tempe” alias produk baru sesuai selera zaman komponen kendaraan listrik. Bukankah pepatah bilang, “pinter ngaji tapi ora iso ngupas kelapa, koyo wedus gembel nganggo jas”?. Artinya pintar teori tanpa bisa menyesuaikan diri di lapangan, ya percuma.

Untungnya, pemerintah sudah mencoba menyiapkan jalan, hadirnya Material Center di Purbalingga adalah contoh nyata. Di sana, IKM tak perlu lagi bingung cari bahan baku logam. Harga lebih bersaing, kualitas terjamin, dan aksesnya gampang. Ini ibarat warung grosir yang menyediakan beras super untuk para penjual nasi goreng. Tinggal bagaimana para pelaku IKM mau memanfaatkan fasilitas itu atau masih sibuk debat knalpot mana yang paling keren.

Di era transisi ini, sebenarnya ada ruang kreativitas besar. Bayangkan kalau IKM bisa memproduksi baterai dengan teknologi lokal, atau membuat charging dock yang bisa dipasang di garasi rumah sederhana. Pasarnya pasti luas. Dunia sedang haus inovasi ramah lingkungan, dan Indonesia punya modal: sumber daya alam, tenaga kerja, dan selera humor yang tiada tanding.

Setiap perubahan memang bikin waswas, knalpot yang selama ini jadi andalan bisa saja tinggal kenangan. Tapi bukankah perubahan adalah satu-satunya yang pasti? Kalau kita berani keluar dari “sarang nyaman” dan mencoba hal baru, peluang bisa lebih besar dari yang dibayangkan.

Para pelaku IKM otomotif harus menyiapkan mental seperti pembalap MotoGP, siap menikung tajam, siap ganti ban di tengah balapan, dan tetap fokus sampai garis finish. Dunia sedang melaju cepat ke arah elektrifikasi, jadi jangan sampai kita sibuk debat knalpot sementara negara lain sudah jualan motor listrik di TikTok Shop.

Pada akhirnya, transisi dari motor bensin ke kendaraan listrik bukanlah kiamat bagi IKM otomotif, melainkan kesempatan kedua. Dari bengkel kecil di Purbalingga, komponen motor bisa sampai ke Eropa, Amerika, bahkan Afrika. Siapa sangka baut kecil bikinan IKM bisa ikut melaju di jalan raya Tokyo?

Jadi, mari kita sambut era baru ini dengan optimisme. Knalpot boleh jadi kenangan, tapi masa depan ada di baterai, casing, dan inovasi. Ingat pepatah “Witing tresno jalaran soko kulino”, cinta itu datang karena terbiasa. Begitu juga dengan IKM, kalau terbiasa beradaptasi, lama-lama akan jatuh cinta pada perubahan.

Kendaraan listrik bukan musuh, tapi pasangan baru dalam perjalanan panjang industri otomotif Indonesia. Dan IKM? Mereka bukan sekadar pelengkap, tapi bintang utama yang siap menulis sejarah baru: dari deru knalpot ke senyap baterai, dari kampung ke kancah dunia.[***]

Terpopuler

To Top