MALAM minggu akhir pekan ini, di sebuah GOR di Kuningan mendadak lebih panas dari panci mie rebus yang lupa dimatiin. Ribuan orang bersorak, jantung berdegup, dan bibir bergetar… bukan karena asmara, tapi karena Pelita Jaya dan Dewa United saling adu skill dalam Final IBL Gopay 2025, dan tahu-tahu, Dewa United membungkam Pelita Jaya di kandangnya sendiri, 80–75, seperti mantan yang datang bawa undangan nikah.
Yang lebih menarik lagi, Menpora Dito Ariotedjo hadir langsung, duduk di bangku kehormatan, beliau menonton, mengangguk-angguk, lalu ngomong hal yang bikin kita ikut bangga dan mengelus dada, dada semangat olahraga kita maksudnya.
“Untuk basket, saya rasa nggak usah dipertanyakan lagi. FIBA aja percaya, masa kita enggak?” – kata Menpora Dito, dengan nada seperti guru olahraga yang bangga lihat muridnya bisa slam dunk tanpa merobek ring.
Jujur, jika kita tarik kebelakang, dulunya basket itu hanya ekskul bagi siswa-siswa yang lebih tinggi dari meja guru dan biasanya punya sepatu yang lebih mahal dari uang jajan sebulan. Namun sekarang, basket Indonesia sudah mulai pakai celana dewasa, s’udah gak pakai diapers olahraga lagi.
Indonesia bukan cuma nonton dari bangku penonton, tapi sudah masuk lapangan dunia, apalagi setelah FIBA buka kantor di sini. Itu ibarat cinta yang diseriusin, bukan sekadar PDKT lalu ghosting.
Pertandingan Pelita Jaya vs Dewa United tadi malam berlangsung lebih panas dari status mantan yang tiba-tiba update “alhamdulillah”. Tribun penuh, suporter kayak cendol, padat, berisik, manis-manis semangat. PJ Holic (suporter Pelita Jaya) hadir pakai suara, bendera, dan doa, sayangnya belum cukup buat menang.
Dewa United, yang seakan datang sebagai pengacau pesta, malah sukses bikin Pelita Jaya diem. Skornya 80-75. Padahal, yang punya panggung itu PJ. Tapi begitulah basket, kadang bola bulat, kadang hati yang gepeng.
Kita tarik sedikit motivasi dari Michael Jordan, bapak tiri semua pecinta basket dunia “Talent wins games, but teamwork and intelligence win championships”.
Nah lho, jadi jelas, basket bukan cuma soal tinggi badan dan nyangkutin bola, juga tentang kerja sama, taktik, dan kadang… keberanian ngelawan tim tuan rumah yang suporternya seganas tukang parkir minta receh tengah malam.
Brandon Jawato, pemain naturalisasi kita, pernah bilang, “Kalau kita terus kerja keras dan disiplin, basket Indonesia bisa bersaing di Asia bahkan dunia”.
Jadi bukan cuma slogan ayo olahraga, tapi ayo juga komitmen dan konsistensi. Kalau pemain bisa latihan dua kali sehari, masa kita cuma bisa rebahan dua kali sehari?
Gak bisa dipungkiri, kehadiran tokoh-tokoh seperti Ketum Perbasi Budi Satrio, Dirut IBL Junas Miradiarsyah, hingga jajaran staf khusus Menpora adalah tanda bahwa basket bukan lagi hiburan pinggir kota, tapi sudah jadi industri pinggir dompet, banyak sponsor mulai melirik, banyak anak muda bermimpi jadi pemain basket, bukan cuma Youtuber.
Dengan perputaran uang yang makin besar, peran basket makin kuat, bukan cuma sebagai olahraga, tapi juga penggerak ekonomi kreatif, event organizer, bahkan konten kreator TikTok berkedok sportivitas.
Karena sekarang skor imbang 1-1, maka game ketiga akan jadi penentu cinta segitiga antara bola, ring, dan takdir. Apakah Pelita Jaya bisa bangkit? Atau Dewa United akan terus bikin kejutan?
Satu hal yang pasti, final ini akan lebih seru dari nonton sinetron dengan plot pembalasan dendam 25 tahun.
Basket Indonesia sudah bukan mimpi yang ditulis di buku harian dengan tinta air mata. Sekarang dia jadi kenyataan mewujud lewat strategi, semangat, dan dunk penuh asa di tengah gelora stadion.
Seperti kata pepatah (yang baru aja diciptakan anak saya),”Jika hidup memberimu bola, jangan cuma pantulkan dunk-lah harapan setinggi mungkin”.
Oleh karena itu, mari terus dukung basket Indonesia, biar suatu hari nanti, kita gak cuma jadi tuan rumah acara dunia, tapi juga raja lapangan yang bikin dunia kagum, bukan cuma kasih sambutan.
GOR Soemantri malam itu bukan cuma saksi pertandingan, tapi juga saksi bahwa bola basket Indonesia… akhirnya serius.[***]