INDONESIA akhirnya serius, tak lagi sekadar gonta-ganti pelatih demi memuaskan netizen seminggu, kini PSSI menggaet Frank van Kempen, sosok dari Belanda yang bukan hanya paham taktik, tapi juga terbiasa membentuk fondasi. Bukan fondasi stadion, tapi fondasi sistem dan karakter pemain muda, bukan sekadar soal menang turnamen U-20, tapi tentang meletakkan batu pertama agar Garuda Muda tak terus-terusan jadi penonton di pentas besar.
Frank ini juga bukan pelatih kaleng-kaleng yang dipilih dari undian arisan, Ia punya CV yang berkilau kayak cover album K-Pop, lengkap dengan pengalaman di Eredivisie dan klub-klub Eropa yang tak cuma jadi pelengkap peta. Dari Sparta, Roda JC, sampai VVV-Venlo, semua pernah dia cicipi, bukan untuk sekadar ngopi, tapi untuk melatih anak-anak muda agar bisa lari bukan cuma cepat, tapi juga paham ke mana harus lari.
Dalam dunia sepak bola, pelatih usia muda itu ibarat tukang kebun, tugasnya bukan cuma menyiram, tapi juga tahu kapan mencangkul, kapan memangkas, dan kapan membiarkan benih bertumbuh. Nah, Frank ini datang dengan misi jadi tukang kebun yang tahu cara menanam bakat, bukan malah menebas dengan pola latihan zaman Belanda menyerang.
Ketua Umum PSSI, Pak Erick Thohir, menyebut bahwa Van Kempen ini akan jadi penghubung yang membuat transisi dari U-20 ke U-23 dan timnas senior lebih mulus.
Analoginya, kalau dulu kita suka bikin jembatan bambu buat nyebrang sungai prestasi, sekarang mulai dibangun flyover permanen biar pemain muda nggak nyasar ke turnamen tarkam karena bingung arah.
Kalau boleh jujur, pembinaan pemain muda di Indonesia selama ini ibarat bikin kue tanpa loyang. Bahan ada, rasa enak, tapi bentuknya hancur lebur. Kadang satu dua berhasil tembus ke timnas senior, tapi lebih banyak yang menguap kayak air comberan yang dipanaskan. Langkah PSSI menggaet Frank bukan sekadar ganti pelatih, tapi ganti cara berpikir.
Pepatah bilang, “Gajah mati meninggalkan gading, pelatih asing datang meninggalkan program”. Asanya, Frank van Kempen bukan cuma ngasih gelar, tapi juga warisan sistem yang bikin anak-anak muda kita nggak lagi cuma jago di YouTube highlights, tapi juga tangguh di lapangan yang sesungguhnya.
Lucunya, kadang masyarakat kita terlalu berharap cepat, padahal pembinaan itu kayak nanam durian. Nggak bisa ditanam pagi, sore panen dan langsung dijual di e-commerce.
Harus sabar, konsisten, dan tahan godaan buat tebang duluan. Jangan sampai Van Kempen baru tiga bulan kerja, netizen udah bilang, “Mana hasilnya? Katanya dari Belanda? Lah ini kalah sama klub lokal”
Jadi, tugas kita bersama bukan cuma menonton dari tribun atau komen di medsos, tapi juga dukung prosesnya. Jangan tiap ganti pelatih, ekspektasi langsung kayak mau masuk Piala Dunia dalam waktu dua pekan.
Ingat, jalan menuju prestasi bukan jalan tol bebas hambatan kadang harus lewat tikungan tajam, tanjakan curam, dan lampu merah bernama ‘kegagalan sesaat’.
Frank van Kempen datang dengan koper berisi pengalaman dan blueprint pembinaan. Semoga koper itu tidak disita bea cukai ketidaksabaran publik. Kalau programnya jalan dan talenta muda kita dibentuk dengan disiplin dan arah yang benar, bukan tak mungkin nanti Indonesia punya timnas yang bukan cuma bisa main di ASEAN, tapi juga bikin negara-negara Eropa penasaran.
Pepatah penutup “Kalau harapanmu setinggi langit, pastikan fondasinya tak pakai perasaan semata, tapi rencana yang nyata”. Atau versi kampungnya “Jangan baru pasang atap, udah ngajak tamu makan di rumah. Selesaikan dulu dindingnya, Bos”.[****]