OKI Terkini

Warga & Gajah, Siapa Mengalah?[Ketika Alam Minta Dipahami]

ist

Sumselterkini.co.id, – Kalau ada lomba adu sabar antar-makhluk hidup, bisa jadi petani di Air Sugihan bakal menang telak. Bayangkan, sudah susah payah nandur padi, tinggal nunggu masa panen, eh… datang kawanan gajah, bukan buat numpang lewat, tapi langsung gelar piknik di tengah sawah.

Gajah-gajah itu bukan sekadar bertamu, tapi datang dengan rombongan lengkap kayak study tour, nginjak tanaman, guling-guling di kebun, dan kadang ikut nyoba durian sebelum empunya sempat jual ke pasar.

Konflik antara manusia dan gajah ini ibarat kisah cinta beda kasta dua makhluk beda habitat yang dipertemukan oleh nasib dan hutan yang makin sempit. Gajahnya lapar, manusianya was-was. Di tengah itu, pemerintah turun tangan, kayak orang tua yang ngelihat anaknya ribut karena rebutan remote TV.

Makanya Pemkab OKI bareng BKSDA Sumsel langsung pasang badan bukan cuma pasang badan, tapi juga pasang GPS di leher gajah. Ini bukan buat nyari sinyal WiFi, tapi biar bisa dipantau pergerakannya.

Jadi kalau gajah udah mulai mendekat ke kebun, bisa langsung dikasih pengalihan jalur, mirip kayak petugas lalu lintas ngatur kendaraan mogok di flyover.

“Gajah kalau sudah lapar, nggak kenal batas tanah,” kata orang tua zaman dulu. Dan pepatah ini ternyata masih relevan. Lahan makin sempit, hutan makin gundul, gajah makin bingung cari makan.

Di negara-negara tetangga seperti India dan Sri Lanka, konflik gajah-manusia udah jadi sinetron panjang yang episodenya susah tamat. Tapi di sana, sudah lebih maju mereka bikin jalur khusus migrasi gajah, ada juga kampung yang dikasih subsidi buat pelatihan menghadapi serangan gajah bukan pake jurus kungfu, tapi dengan edukasi dan solusi.

Kita di Air Sugihan juga nggak mau ketinggalan gaya. Pemerintah mau bikin tanggul sepanjang 38 kilometer tanggul khusus gajah, bukan buat banjir. Bahkan ditambah pagar kejut, semacam ‘plesetan halus’ biar si gajah kapok. Biar nggak main nyelonong seenaknya. Dan biar warga bisa tenang nyiram cabai tanpa takut disenggol belalai.

Tapi, solusi fisik saja kadang tak cukup. Maka diciptakan juga tanggul versi kedua “tanggul vegetasi”. Isinya tanaman-tanaman yang nggak disukai gajah.

Ada serai wangi, kelengkeng, petai, sampai sukun timun iya, ini bukan daftar menu rujak, tapi strategi pertahanan garis hijau. Jadi kalau gajah lewat dan ngelihat petai, dia langsung minggir dengan sopan. Katanya, aromanya bikin ilfil.

BKSDA juga jeli. Mereka nggak cuma fokus pada pagar dan GPS, tapi juga membentuk “Desa Mandiri Konflik”. Konsepnya simpel daripada nunggu bantuan terus, mending warga dilatih jadi jagoan mitigasi.

Diajari cara jaga jarak sehat sama gajah, tanpa harus jadi Tarzan. Ada juga Posko Pagarapat, semacam pos ronda versi konservasi, lengkap dengan pawang, polisi hutan, dan bahkan gajah binaan ini gajah udah sekolah, bukan kaleng-kaleng.

Langkah ini patut diacungi jempol dan dua belalai karena bukan perkara mudah ngajak manusia dan gajah hidup rukun. Butuh waktu, pemahaman, dan kopi tanpa gangguan.

Akhir kata, gajah juga makhluk Tuhan, bukan makhluk titipan WhatsApp. Tapi manusia juga punya hak hidup tenang tanpa ketar-ketir takut sawah jadi lapangan rugby gajah. Maka satu-satunya jalan adalah koeksistensi dengan akal sehat dan pendekatan penuh cinta meski kadang harus diselingi pagar kejut dan petai.

Karena seperti kata pepatah lama, “Jangan marah kalau gajah masuk kebunmu, mungkin dia cuma nyari teman ngobrol.” Tapi kalau tiap minggu datang, ya… bolehlah diajak musyawarah sambil nunjukin peta batas desa.[***]

Terpopuler

To Top