Obyek Wisata

Turis Naik, Hotel Malah Sepi – Fenomena Pariwisata Indonesia

kemenpar.go.id

KAMIS sore belum lama ini, ruang pers Kementerian Pariwisata penuh sesak, angka-angka melayang seperti kembang api, kunjungan wisman 1,48 juta pada Juli, naik 13,01% dibanding Juli 2024. Malaysia, Australia, Tiongkok berturut-turut jadi “top three” pendarat stempel paspor. Secara kumulatif Januari–Juli 2025, wisman tembus 8,53 juta (+10,04%). Di sisi lain, pergerakan wisatawan nusantara pada Juli menyentuh 100,2 juta perjalanan (+29,72%), singkatnya turis naik. Tapi… hotel kok malah sepi?

Inilah paradoks yang bikin dahi para manajer revenue mengernyit, tingkat okupansi hotel turun 3,57 poin persentase (YoY) pada Juli, dan kumulatif Januari- Juli juga minus 3,54 poin. Ibarat pasar lagi ramai, tapi kursi warteg tak penuh karena pelanggan pada “bungkus”, makan tetap jalan, tapi model konsumsinya berubah.

Di pariwisata, “bungkusnya” bernama akomodasi alternatif homestay, villa, apartemen sewa harian, ditambah satu faktor klasik pasokan kamar hotel bertambah lebih cepat daripada pertumbuhan tamu, hasilnya, kue membesar, tapi piringnya tambah banyak. Pepatah lama berkata, “Banyak kapal, pelabuhan tak selalu penuh”.

Sekilas kontradiksi ini terasa kocak, turis berlimpah, hotel malah memasang promo “beli sarapan, dapat senja.” Namun di balik banyolan itu ada pergeseran struktural. Generasi pelancong baru tak cuma mencari kasur empuk, mereka ingin “rasa tinggal” yang otentik dapur untuk masak mi instan jam dua pagi, halaman untuk barbeque, dan view yang bisa dipamerkan ke story 15 detik.

Mereka mengejar pengalaman, bukan sekadar fasilitas, jika dulu hotel adalah “rumah sementara,” kini banyak wisatawan menawar “rumah serasa rumah” dan marketplace akomodasi alternatif menjual janji itu dengan manis.

Lalu kenapa angka “kamar terisi” justru naik?, data menunjukkan kamar terjual pada Juli meningkat +13,18% (jadi 7,56 juta kamar), kumulatif +11,79% (45,73 juta kamar). Artinya, volume bisnis masih bertumbuh. Hanya saja, konversinya tidak mengangkat tingkat okupansi karena dua hal (1) supply kamar baru menekan persentase keterisian (2) penyebaran permintaan makin melebar ke kota-kota sekunder dan ke tanggal-tanggal yang tak selalu “peak.” Dengan kata lain, kue dibagi lebih rata, tapi tak semua potongan terlihat tebal.

Di sisi permintaan, ada sinyal yang tak kalah menarik perjalanan WNI ke luar negeri turun 5,24% (869,93 ribu pada Juli 2025 vs 918,05 ribu pada Juli 2024). Libur sekolah memang menggiring banyak keluarga untuk “mudik wisata” ke destinasi dalam negeri. Uang liburan pun berputar di tanah air-UMKM dapat durian runtuh, daerah kebagian rezeki. Kalau kata pepatah, “Hujan emas di negeri orang, hujan berlian di negeri sendiri yang penting tetangga ikut berjualan”.

Bicara dampak langsung, mesin “event” terbukti menderu, karisma Event Nusantara (KEN) telah menggulirkan 61 event di 31 provinsi sampai 1 September 2025, menarik 9,05 juta pengunjung dan transaksi Rp691,30 miliar, melibatkan 9,75 ribu UMKM, 83 ribu tenaga kerja, dan 77 ribu pekerja seni.

Ambil contoh Pacu Jalur lebih dari 1,65 juta wisatawan, perputaran uang di atas Rp165 miliar, hampir 2.500 UMKM ikut berjualan. Event adalah magnet, MICE adalah jangkar, keduanya mengisi kamar saat leisure sedang menurun. Tak heran, ketika bulan-ke-bulan kunjungan wisman/wisnus melemah, kamar terjual tetap naik ada rapat, pameran, konser, festival yang menyulut lampu-lampu koridor hotel.

Akupansi

Di level tata kelola, pemerintah mengayun dua langkah yang patut dicatat. Pertama, Surat Edaran tentang perizinan akomodasi pariwisata sinyal tegas bahwa arena harus rata, hotel, homestay, apartemen sewa, semua main sesuai aturan. Ini bukan sekadar administrasi, ini fondasi untuk kualitas layanan, keselamatan, dan pajak yang adil. Kedua, peluncuran Halo Wonderful, saluran layanan terpadu dari WhatsApp sampai front desk.

Birokrasi yang mengurus wisata mestinya terasa… menyenangkan, dan kalau layanan publik sudah omnichannel, urusan komplain lenyap tak perlu drama. Ibarat resepsionis 24 jam “Halo, ada yang bisa dibantu?”, jawaban cepat, reputasi selamat.

Apakah ini kabar buruk untuk hotel?, tidak.. ini kabar baik yang minta strategi, jika pasar bergerak ke pengalaman, hotel perlu menjual kurasi, bukan hanya kamar. Paketkan “stay + event” (KEN, konser, pameran), “stay + komunitas” (workation, yoga retreat, kuliner lokal), dan “stay + akses” (early entry ke atraksi, rute sunrise).

Garap ceruk keluarga (kitchenette, interconnecting room), dan digital nomad (co-working, kecepatan internet nyata, bukan janji manis). Berhenti perang harga tanpa narasi, mulai perang makna dengan nilai tambah. Dalam bisnis akomodasi, “yang paling murah tak selalu menang yang paling relevan sering dikenang”.

Untuk pemerintah daerah dan asosiasi, penataan izin bukan penghambat, melainkan penyelamat, ketika semua pemain terdata, pelatihan mutu bisa tepat sasaran, standar kebersihan/keamanan naik, dan wisatawan, domestik maupun mancanegara, pulang membawa cerita baik. Reputasi destinasi itu seperti ulasan bintang lima, susah dibangun, cepat runtuh. Lebih baik kita cerewet soal standar sekarang, daripada menyesal besok ketika satu video viral merusak citra setahun.

Oleh sebab itu, pertumbuhan pariwisata Indonesia nyata, tapi bentuknya berubah. “Turis naik, hotel sepi” bukan tragedi, ini alarm untuk beradaptasi. Pasar tak menyusut, ia bercabang. Tugas kita bukan meratapi grafik okupansi, melainkan menata produk, menyehatkan ekosistem, dan memetik nilai tambah yang tersembunyi di balik tren, seperti pepatah dagang “Kalau angin berubah, jangan menyalahkan layar putar haluan.”

Fenomena “Turis Naik, Hotel Malah Sepi” adalah cermin transformasi pariwisata Indonesia, dari hitungan kepala ke hitungan pengalaman, dari tebar kamar ke tebar makna. Dengan event yang hidup, layanan publik yang responsif, regulasi yang adil, serta inovasi produk akomodasi, kita bukan hanya mengejar tingkat okupansi,

Kita membangun daya tarik yang tahan uji musim, dan ketika semua bergerak selaras, bukan cuma kasur yang terisi, tapi juga dompet UMKM, etalase budaya, dan kebanggaan sebagai tuan rumah Nusantara.[***]

Terpopuler

To Top