Obyek Wisata

“Pariwisata Kita Masih Mental Dadakan, dari Kursi Hajatan hingga Kalender Tanggal Merah”

kemenpar.go.id

COBA bayangkan sebuah pesta kawinan di kampung, undangan sudah disebar tiga minggu sebelumnya, tapi ketika tamu mulai berdatangan, tuan rumah masih sibuk cari kursi plastik pinjaman dari tetangga. Sound system mendadak konslet, nasi uduk belum matang, dan MC masih di jalan. Hasilnya? Panitia pontang-panting, tamu kelaparan, dan acara jadi bahan rumpian tiga RT. Nah, begitulah kurang lebih wajah pariwisata Indonesia saat menghadapi libur nasional.

Setiap kali ada cuti bersama atau libur sekolah, destinasi wisata kita seperti “kaget diserbu rombongan manten”. Jalan macet mendadak, hotel penuh mendadak, toilet umum antre kayak sembako gratis, bahkan penjual parkir liar bermunculan lebih cepat daripada promo online travel agent. Padahal, kalender libur itu bukan UFO yang jatuh tiba-tiba di lapangan desa. Tanggal merah sudah tercetak setahun sebelumnya, lengkap dengan warna menyala di kalender dinding bengkel, tapi entah kenapa, industri wisata kita tetap bertingkah seperti orang yang baru bangun kesiangan.

Kementerian Pariwisata (Kemenpar) lewat kajian terbarunya menyentil hal ini pariwisata Indonesia belum siap secara sistemik menghadapi momentum libur nasional. Destinasi kita masih gagap ketika wisatawan nusantara yang jumlahnya lebih dari satu miliar perjalanan per tahun menyerbu serentak. Seolah-olah semboyan tak tertulis kita adalah “wisata bisa dibuka dulu, urusan macet, sampah, dan kapasitas nanti belakangan”

Mari kita jujur, libur nasional itu mesin penggerak ekonomi yang luar biasa. Data BPS mencatat perjalanan wisatawan nusantara pada 2024 tembus 1,02 miliar. Lonjakan terbesar justru saat libur sekolah dan cuti bersama. Artinya, momen ini seperti panen raya bagi hotel, restoran, transportasi, hingga pedagang cilok di depan candi.

Tapi apa jadinya kalau panen raya tidak dipersiapkan? Bayangkan petani lupa menyiapkan lumbung, akhirnya padi melimpah tapi tercecer jadi makanan ayam. Begitu juga dengan pariwisata kita, okupansi hotel naik, tapi jalan buntu total. Tiket destinasi laris, tapi wisatawan jengkel karena antrean tak berkesudahan. Alih-alih jadi pengalaman manis, liburan justru berubah jadi cerita pahit yang bikin kapok.

Mari tengok ke negeri orang, Jepang misalnya, punya istilah Golden Week, libur nasional panjang setiap awal Mei. Apa yang mereka lakukan? Kalender wisata disusun jauh hari, promosi dipaketkan, transportasi disiapkan dengan jadwal tambahan, bahkan taman-taman kota sudah punya sistem manajemen pengunjung berbasis teknologi. Hasilnya, meski padat, wisatawan tetap nyaman.

Singapura pun paham betul soal libur. Negara mungil itu menjadikan Chinese New Year sebagai magnet pariwisata. Jalanan Orchard Road dipoles, atraksi budaya digelar, hingga bandara Changi disulap penuh dekorasi tematik. Mereka paham, momentum libur adalah panggung promosi, bukan sekadar tanggal merah.

Barcelona lain lagi, ketika musim panas datang, mereka sengaja membatasi jumlah pengunjung di beberapa spot. Tujuannya? Bukan mengusir turis, tapi menjaga kenyamanan dan kualitas pengalaman. Sebab kalau wisatawan pulang dengan wajah kusut, reputasi kota bisa anjlok.

Sayangnya di Indonesia, mental dadakan masih jadi budaya. Mirip pepatah Jawa, “esuk dele sore tempe,”pagi janji begini, sore berubah begitu. Rencana tata kelola destinasi kerap ada di atas kertas, tapi di lapangan masih mengandalkan “kearifan lokal” pasang spanduk dadakan, rekrut juru parkir musiman, dan berharap semua berjalan lancar.

Kalau wisatawan mengeluh, biasanya jawabannya standar “Namanya juga liburan, ya macet lah Pak, sabar ya Bu”. Padahal di era persaingan global, wisatawan punya banyak pilihan. Sekali kecewa di Jogja, bisa saja tahun depan mereka kabur ke Phuket. Sekali kesal di Bandung, bisa saja uang mereka terbang ke Penang.

Sebenarnya, libur nasional itu bukan hanya momentum emas, tapi juga momentum ujian. Ia menguji kesiapan infrastruktur, kemampuan manajemen, hingga kualitas layanan. Kalau kita lolos ujian ini, reputasi pariwisata Indonesia akan naik kelas. Kalau gagal, ya kita terus jadi bahan meme “Libur panjang sama dengan  libur bersabar”.

Karena itu, Kemenpar benar saat menyarankan perlunya manajemen kapasitas destinasi, promosi berbasis kalender, serta kolaborasi lintas sektor. Pemerintah daerah harus berani belajar dari kota-kota dunia, tidak ada salahnya meniru Barcelona yang batasi pengunjung, atau Jepang yang pintar mengelola transportasi saat libur.

Kita tak bisa lagi mengandalkan cara hajatan nunggu tamu datang baru cari kursi tambahan, libur nasional sudah jelas jadwalnya, tinggal kita yang harus menyiapkan strategi agar wisatawan pulang dengan hati senang, bukan dengan kenangan macet dan wajah kucel.

Seperti pepatah lama, “Sedia payung sebelum hujan, sedia strategi sebelum liburan”, kalau strategi pariwisata kita masih dadakan, jangan heran kalau libur nasional terus jadi identik dengan macet nasional. Tapi jika kita bisa berbenah, libur nasional bisa berubah jadi ATM ekonomi daerah, sumber devisa, dan ajang memperkuat identitas budaya.

Dan ingat, wisatawan itu seperti tamu undangan pernikahan: sekali kecewa, gosipnya bisa panjang. Jadi lebih baik kita siapkan kursi, nasi, dan hiburan yang layak sebelum mereka datang. Kalau tidak, pariwisata Indonesia akan terus dikenal bukan karena keindahan alamnya, tapi karena kemampuannya bikin wisatawan bersabar.[***]

Terpopuler

To Top