Obyek Wisata

Gastronomi Bukan Sekadar Makan Enak

DARI sepotong cokelat Bali sampai secangkir kopi Maluku, setiap rasa di Artisan Food Market punya cerita, bukan sekadar pameran, tapi perayaan tangan-tangan terampil yang menjaga rasa Indonesia tetap hidup.

Kita sering menganggap makanan itu cuma urusan kenyang, padahal, di balik sepiring tempe goreng atau secangkir teh hangat, tersimpan filosofi yang lebih dalam daripada caption “makan dulu biar nggak emosi.”

Gastronomi, kata para ahli, bukan hanya soal rasa, tapi juga soal cerita di balik rasa, dan cerita itu, di tangan para artisan kuliner Indonesia, kadang bisa lebih menggugah daripada drama Korea 16 episode.

Lihat saja deretan produk yang hadir di Artisan Food Market, yakni cokelat, keju, tempe, kacang-kacangan, teh, hingga kopi. Semuanya dibuat dengan keahlian, kesabaran, dan niat yang (katanya) lebih tulus daripada cinta sepihak.

Cokelat Bali, misalnya, tak hanya menawarkan rasa manis, ia adalah hasil fermentasi, pengeringan, penggilingan, dan sedikit keajaiban. Setiap batangnya adalah bukti bahwa dari biji yang kecil, bisa lahir kebanggaan besar, asal dirawat, bukan ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.

Tempe pun demikian, dulu dianggap makanan rakyat jelata, kini bertransformasi menjadi produk artisanal kelas dunia, di tangan para pengrajin kreatif, tempe bukan lagi lauk nasi bungkus, tapi simbol kemandirian pangan dan ketekunan lokal.

Ada pepatah Jawa bilang, “Alon-alon asal kelakon”, pelaku kuliner artisan paham betul maknanya. Mereka tak terburu-buru, tapi tekun dan telaten, merawat cita rasa seperti merawat harapan. Di dunia yang serba instan, mereka adalah pengingat bahwa sesuatu yang dibuat dengan hati, rasanya memang beda.

Makanan punya kekuatan unik, dia menyatukan orang tanpa perlu diterjemahkan. Tak ada debat kusir dalam urusan rasa, kalau enak, ya enak.

Inilah yang membuat sektor gastronomi menjadi potensi besar bagi pariwisata Indonesia, seperti disampaikan Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, memahami gastronomi berarti menghargai produk kuliner yang dibuat dengan keahlian dan bahan lokal.

Dan benar saja, banyak wisatawan datang bukan hanya karena pemandangan, tapi karena penasaran dengan rasa. Lebih dari 60 persen wisatawan mancanegara berkunjung ke Indonesia untuk pengalaman budaya, termasuk kulinernya.

Bayangkan, kalau mereka jatuh cinta pada sate lilit Bali atau sambal dabu-dabu Manado, itu bukan cuma soal rasa pedas, itu soft diplomacy. Tak perlu konferensi internasional, cukup sambal yang nyengat, dunia bisa akur sejenak.

Dari Dapur ke Devisa

Program seperti Wonderful Indonesia Gourmet dan pameran Artisan Food Market bukan sekadar ajang pamer makanan. Ia adalah panggung ekonomi kreatif yang menyambungkan petani, pengrajin, chef, dan konsumen dalam satu ekosistem rasa.

Deputi Kementerian Pariwisata menyebutkan, pengembangan wisata gastronomi ini bisa meningkatkan devisa negara. Dan memang, kalau kuliner Indonesia bisa menembus pasar global, bukan tak mungkin kopi Toraja dan keju Bandung duduk sejajar dengan produk Eropa.

Apalagi kini tren wisata dunia sudah bergeser, bukan lagi soal banyaknya wisatawan, tapi kualitas pengalaman yang mereka dapat. Wisata kuliner adalah jawabannya pelan, mendalam, dan penuh rasa, seperti peribahasa baru versi dapur “Kalau cinta butuh waktu, apalagi fermentasi”.

Acara seperti Artisan Food Market juga menunjukkan bahwa geliat UMKM kuliner kita itu luar biasa, dari dapur kecil bisa lahir ide besar, dari panci sederhana bisa muncul produk berkelas dunia.

Dan jangan salah, dunia kuliner ini penuh humor, lihat saja bagaimana para pelaku usaha mempromosikan produknya dengan gaya khas Indonesia “Kopi kami pahitnya elegan, kayak mantan yang udah move on”, dan “Tempe kami sehat dan tangguh, nggak gampang hancur kayak hubungan jarak jauh”.

Bisa dibilang, bahkan promosi produk pun sudah mengandung cita rasa nasionalisme, dan sedikit bumbu satire.

Namun di balik tawa itu, ada harapan yang serius, bahwa Indonesia tak boleh puas hanya menjadi konsumen global, kita punya potensi menjadi trendsetter rasa, karena dari Sabang sampai Merauke, setiap daerah menyimpan resep yang bisa menaklukkan dunia.

Gastronomi adalah identitas budaya, ia mengajarkan kemandirian, keberagaman, dan kebanggaan pada hasil bumi sendiri. Ketika dunia bicara tentang sustainability, pelaku kuliner kita sudah lama mempraktikannya, dari konsep “tak ada yang terbuang” hingga penggunaan bahan lokal musiman.

Kekuatan kuliner Indonesia bukan cuma di resep, tapi di cerita di baliknya, di tangan para artisan, cerita itu hidup kembali tentang kebun kopi di dataran tinggi, tentang tempe yang dijemur di pekarangan, tentang tangan-tangan yang menolak menyerah meski persaingan makin sengit.

Inilah yang membuat sektor ini penting bukan hanya untuk pariwisata, tapi juga ekonomi nasional, setiap produk yang terjual adalah wujud dari gotong royong rasa, antara alam, manusia, dan budaya.

Gastronomi adalah cara paling lezat untuk mencintai negeri. Ia mengajarkan bahwa cinta tanah air tidak selalu harus berwujud pidato megah atau spanduk besar, cukup lewat rasa tempe, aroma kopi, atau gigitan cokelat lokal yang manisnya jujur.

Dari dapur Nusantara, lahirlah identitas, pekerjaan, dan kebanggaan, dan dari piring-piring sederhana itu, kita belajar satu hal bahwa kebesaran bangsa tidak hanya ditentukan oleh gedung tinggi atau teknologi canggih, tapi oleh kemampuan merawat rasa dan menghargai asalnya.

Karena seperti pepatah tadi alon-alon asal kelakon, pelan-pelan, tapi pasti, kuliner Indonesia sedang menuju panggung dunia.
Dan ketika saat itu tiba, dunia akan tahu rasa Indonesia, sekali dicicip, susah dilupakan.[***]

Terpopuler

To Top