Sumselterkini.co.id, – Kalau Bali itu gadis, maka Pesta Kesenian Bali (PKB) adalah dandanan lengkapnya, dari bedak tipis sampai sanggul megar yang siap dibawa ke kondangan, semua keluar. Dan seperti gadis Bali yang tak pernah kehabisan bunga kamboja di telinga, PKB juga tak pernah kehabisan ide buat bikin kita terpukau, terkagum, dan kalau dompet tipis sedikit menyesal beli es kelapa muda seharga gorengan sepiring.
Tanggal 21 Juni 2025 kemarin, Denpasar kembali bergoyang, bukan karena gempa, tapi karena ribuan seniman turun ke jalan, mereka bukan demo, bukan pula rebutan BLT, tapi ikut Peed Aya, alias pawai budaya.
Wakil Menteri Pariwisata, Ni Luh Puspa, pun hadir dengan wajah berseri seperti habis dipijat refleksi. “PKB ini bukan cuma soal budaya, tapi juga duit berputar dan senyum mengembang,” katanya, sambil menyambut seniman dan wisatawan yang tumpah ruah kayak warung makan pas jam istirahat kantor.
Kalau kata pepatah tua, “Tak ada rotan, akar pun jadi,”. Tapi di Bali, bukan cuma rotan dan akar, bahkan sabut kelapa pun bisa dijadikan seni. PKB bukan sekadar pameran tari atau suara gamelan yang bikin bulu kuduk berdiri, ini adalah festival hidup, tempat kreativitas lokal menari di atas globalisasi yang kadang suka nyelonong tanpa pamit.
Dan jangan salah, PKB itu bukan acara nari di bale banjar doang. Ekonominya juga ikut meliuk-liuk. Tahun lalu, PKB ngasih kontribusi ekonomi sampai Rp192,3 miliar. Itu belum termasuk omzet penjual bakso tusuk dan penyewaan payung dadakan. Tingkat hunian penginapan naik 2% yang artinya, bukan cuma nyali yang bangkit pas nonton barong, tapi juga ekonomi rakyat yang pelan-pelan bangkit dari rebahan panjang.
Wamenpar Ni Luh Puspa kayaknya paham betul bahwa PKB bukan cuma tontonan, tapi tuntunan. PKB jadi bukti bahwa di tengah tren TikTok dan filter muka glowing, anak-anak muda Bali masih getol nguri-uri budaya, dari yang tadinya cuma tahu suara seruling dari ringtone, sekarang bisa bikin komposisi tarian yang bikin wisatawan Jepang mengangguk-angguk sambil motret pakai iPad.
Oleh karena itu, pemerintah pusat mendorong daerah lain untuk nyontek PKB, bukan nyontek soal bikin pawai, tapi semangatnya, seperti ujian nasional, kalau nyonteknya bener bisa lulus bareng-bareng. Tapi bedanya, yang ini nyontek seni, bukan kunci jawaban.
Bukan PKB namanya kalau nggak internasional, tahun ini, ada juga Bali World Culture Celebration (BWCC), ajang yang bikin seniman dari luar negeri datang bukan cuma buat liburan dan yoga, tapi juga manggung bareng seniman lokal. Jadi kalau biasanya turis bule cuma bisa joget asal-asalan di Kuta, sekarang mereka bisa nari bareng dalam panggung yang sah dan tak beresiko disangka kerasukan.
PKB bukan hanya milik Bali. Ia milik semua yang percaya bahwa budaya itu bukan pajangan di museum, tapi irama yang hidup di tengah pasar, di dalam tarian, dalam senyum mbok-mbok penjual jaje uli, dan dalam tiap dengung gong yang menyapa subuh.
Pepatah bilang, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Tapi di PKB, kita semua nggak cuma menjunjung langit, tapi juga ngibing bareng di bawahnya. Kalau hidupmu lagi gersang, datanglah ke PKB. Siapa tahu, kamu nggak cuma nemu inspirasi… tapi juga jodoh penari kecak.
Kalau hidup kamu terasa monoton kayak nasi putih tanpa lauk, datanglah ke PKB, di sini, warna-warni budaya Bali bisa jadi sambal matah buat rasa bosanmu. Kalau hatimu sedang lelah karena terlalu sering ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, nonton tari Legong bisa jadi pelipur lara yang lebih ampuh dari playlist galau.
Ingat, budaya itu bukan cuma warisan, tapi juga warisan yang harus dirawat, bukan cuma dipajang di ruang tamu seperti piagam RT. PKB mengajarkan kita satu hal penting bahwa jadi modern itu boleh, asal jangan lupa pulang. Pulang ke akar, pulang ke seni, pulang ke identitas.
Kalau diibaratkan, PKB itu kayak nasi jinggo kecil, merakyat, tapi bikin kenyang batin, seperti penari kecak yang tak pernah sendirian, menjaga budaya pun sebaiknya ramai-ramai, jangan cuma selfie pas festival doang lalu hilang bagai mantan yang tak sempat pamit. Menari sebelum usia menendang lutut, tertawalah sebelum gigi tinggal dua.
Hidup budaya!, Hidup seni!, dan hidup kita yang masih bisa ketawa meski cicilan belum lunas!. Salam dari Bali, tempat di mana budaya tak pernah pensiun, cuma ganti baju jadi lebih gemerlap.[***]