Sumselterkini.co.id, – Di zaman sekarang, berita datang lebih cepat dari gosip tetangga, baru batuk di beranda, udah masuk grup WA RT, yang salah bukan batuknya, tapi grupnya yang kelewat aktif. Begitulah gambaran era tsunami informasi. Kita hidup di zaman di mana fakta dan fiksi beda tipis, saking tipisnya kayak kripik singkong yang diserut silet.
Pemerintah, lewat Kemkomdigi dan Dirjen KPM Ibu Fifi Aleyda Yahya yang lebih paham soal komunikasi daripada emak-emak arisan menyadari bahwa media hari ini sedang goyang bak dangdut koplo, goyangnya bukan karena senang, tapi karena dihantam gelombang digital yang datangnya tanpa permisi.
Dulu, strategi media bisa dipakai bertahun-tahun, sekarang?. Baru disusun pagi, sore udah basi, kayak rendang dibiarkan di atas kulkas tanpa tutup. Media konvensional ditinggal penonton, iklan kabur ke sosial media, jurnalis bingung mau liputan atau ngonten TikTok. Kata Fifi dalam rilis situs Komdigi, ini bukan lagi perubahan biasa, tapi transformasi bisnis media yang sudah kayak metamorfosis ulat jadi kupu-kupu yang kalau gagal, ya jadi ulat merana.
Pepatah bilang, “Siapa cepat dia dapat,” tapi di era digital, “Siapa ngawur dia viral,”. Hadirnya media berkualitas adalah semacam pagar kawat berduri di tengah ladang rumor, namun membangun pagar itu butuh tukang. Nah, di sinilah jurnalis masuk sebagai tukang informasi, pasalnya banyak dari mereka masih pakai palu zaman kolonial, sementara yang dihadapi adalah drone informasi.
Fifi mengingatkan, jurnalis harus punya skill baru, bukan cuma nulis lead berita, tapi juga ngerti algoritma, bisa nge-push konten, dan tahu kapan harus ngopi dan kapan harus upload, karena di zaman ini, artikel yang bagus kalah cepat sama postingan gosip yang viral.
Sambil memikirkan transformasi media di kota, Kemkomdigi juga gak lupa pada daerah 3T, yakni tertinggal, terdepan, dan terluar yang kadang sinyal HP-nya hanya muncul pas malam Jumat Kliwon.
Di situ, hadir para Penyuluh Informasi Publik (PIP). Mereka ini bukan sekadar petugas biasa, tapi pahlawan informasi bersarung yang tetap sabar menjelaskan program pemerintah meski disela tanya, “Bu, itu ponsel android itu apaan ya?”.
Salah satu contohnya, program PIP tahun ini fokus ke Makan Bergizi Gratis, edukasi pekerja migran, dan pencegahan judi online. Tiga isu yang kalau diibaratkan lauk, lengkap ada gizi, ada masa depan, ada nasihat. Tanpa PIP, bisa-bisa program MBG disangka program makan gratis untuk ternak, atau judi online disangka lomba tebak-tebakan berhadiah.
Lihatlah negara-negara lain, seperti Finlandia, negara dengan literasi media tertinggi, anak SD-nya udah diajarin bedain berita dan hoaks, sementara di kita, kadang bapak-bapak masih share kabar hoaks soal “ikan gabus bisa sembuhkan asam urat dan nyeri hati karena mantan”.
Australia misalnya, punya lembaga News Literacy Project yang nyambungin media dan sekolah. Di Indonesia, masih sering ribut soal “media abal-abal” yang isinya kayak sinetron stripping lebay, tapi ditonton juga.
Korea Selatan, negara ini ibarat Ferrari-nya internet. Tapi jangan salah, pemerintahnya juga cepat bikin kebijakan. Ada lembaga seperti Korea Communications Standards Commission yang aktif mengawasi konten dan membantu menangkal hoaks.
Jurnalis di Korea Selatan didorong untuk menguasai teknologi dan data bahkan media lokal sudah banyak memakai AI untuk menyusun draft berita dan mempercepat verifikasi. Mereka juga menyadari bahaya informasi palsu saat pemilu, sehingga kampanye edukasi publik digencarkan bukan hanya di kota, tapi juga ke desa-desa.
Estonia sudah terkenal dengan konsep “digital nation” dari pemilu sampai beli obat bisa online, mereka tidak melupakan akar media tetap jadi penjaga etika dan demokrasi. Pemerintah Estonia bekerja sama dengan media lokal untuk memberi pelatihan jurnalis, sambil menjaga agar tidak ada sensor atau intervensi politik. Mereka punya Public Broadcasting Council yang diisi akademisi dan warga sipil, bukan cuma pejabat, jadi kontrol media lebih fair dan profesional.
Di tengah keterbatasan infrastruktur digital, Kenya malah mengandalkan radio komunitas untuk menyebar informasi, radio dipakai untuk edukasi pertanian, kesehatan, hingga demokrasi. Pemerintah bekerja sama dengan jurnalis lokal dan LSM untuk memberikan pelatihan bagaimana membuat konten yang akurat dan anti-hoaks, walaupun hanya lewat suara. Model ini cocok disandingkan dengan peran PIP kita langsung ke warga, pakai bahasa lokal, dan pendekatan personal.
GPS moral
Di tengah dunia informasi yang lebih gaduh dari pasar subuh, keberadaan media berkualitas bukan cuma penting, tapi vital. Ia bukan sekadar pengantar berita, tapi jadi GPS moral di tengah jalanan informasi yang penuh belokan tajam dan tikungan sesat.
Pemerintah sudah mulai menyadari pentingnya hal ini, tapi tetap, transformasi tak akan berhasil kalau hanya dilakukan sepihak. Perlu sinergi, seperti sayur lodeh yang sedap itu tak cuma karena santannya, tapi juga karena tempenya ikut berkontribusi. Jadi pertanyaannya tinggal satu media kita mau tetap jadi benteng kebenaran atau malah jadi penyumbang kegaduhan nasional?.
Kalau kata orang tua zaman dulu, “Sepandai-pandainya tupai melompat, kalau nggak ada sinyal, ya nggak bisa update status” Nah, sepintar-pintarnya kita bikin regulasi, kalau tak dibarengi dukungan ke pelaku media dan jurnalis, ya tetap aja berita yang menang adalah yang viral, bukan yang benar.
Pemerintah boleh saja sibuk bikin aturan digital, tapi kalau jurnalisnya masih pakai strategi zaman pager, ya kasihan juga. Perlu upgrade, bukan cuma gawai dan jaringan, tapi juga pola pikir dan keterampilan, apalagi jurnalis zaman sekarang harus bisa jadi content creator, fact checker, kadang motivator, bahkan komedian saat harus menjelaskan data sensus ke warga yang cuma percaya dukun kampung.
Peran PIP pun jangan diremehkan, mereka ini ibarat ojek informasi di daerah-daerah yang belum tersentuh tol digital. Saat masyarakat bingung mana berita dan mana berita bohong, PIP datang menjelaskan dengan bahasa yang dimengerti rakyat “Pak, judi online itu bukan rezeki nomplok, tapi jalan cepat ke resah dan melarat”.
Kalau boleh menyimpulkan dengan gaya warung kopi media sekarang bukan cuma perlu kopi panas dan sinyal kuat, tapi juga dukungan regulasi, pelatihan, dan literasi agar tak jadi koran yang hanya dibaca untuk alas gorengan.
Jadi, yuk kita rawat media kita seperti kita merawat tanaman lidah mertua, meski keras, dia tetap berguna menyaring racun di udara. Begitu pula media keras terhadap hoaks, tapi lembut dalam menyampaikan kebenaran. Ingat, jurnalisme itu bukan kerjaan sambilan, tapi pekerjaan mulia, kalau medianya berkualitas, masyarakatnya pun bisa waras.[***]