DUNIA ibarat dapur besar, dan Indonesia diam-diam sudah punya resep istimewa yang bisa bikin satu planet adem ayem. Bukan sambal terasi atau rendang daging sapi, tapi filosofi hidup bernama Tri Hita Karana.
Itu bukan nama penyanyi dangdut lho.. atau merek sabun cuci piring, namun filosofi itu adalah warisan Bali yang maknanya dalam banget hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar, komplit seperti nasi goreng dan roti bakar, tapi isinya bukan ayam suwir, dan coklat, melainkan nilai-nilai spiritual yang gurih dan menggoyang hati.
Wakil Menteri Agama H. R. Muhammad Syafi’i kemarin, akrab disapa Romo Syafi’i, datang ke sebuah konferensi keren di Kura Kura Bali. Nama tempatnya saja sudah unik, apalagi isinya. Acara ini digelar di Kawasan Ekonomi Khusus, tapi jangan bayangkan isinya soal utang piutang. Justru di situ dibahas soal “Dialog Hati ke Hati dengan Film dan Media”, bukan sinetron remeh temeh yang isinya rebutan warisan, tapi diskusi serius yang dibumbui dengan kelembutan spiritual dan refleksi jiwa.
Romo Syafi’i datang bukan buat selfie atau numpang viral, tapi bawa pesan penting Indonesia punya modal besar dalam hal harmoni, dan dunia perlu tahu.
Menurut beliau, Tri Hita Karana itu sejatinya bukan cuma milik Bali, tapi milik semua manusia waras yang masih punya hati. Kalau dunia hari ini kayak kompor meledak penuh konflik, krisis lingkungan, dan kegaduhan medsos, maka Tri Hita Karana bisa jadi fire extinguisher yang memadamkan api dan menenangkan bara.
Kata Romo Syafi’i, nilai-nilai lokal ini nyambung banget sama ajaran Islam. Ada hablum minallah (hubungan sama Tuhan), hablum minannas (sama manusia), dan hifdzul bi’ah (jaga lingkungan). Jadi, bukan cuma cocok, tapi sudah seperti nasi dan rendang, klop di lidah dan bikin kenyang batin.
Yang menarik, acara ini mengusung tema “Hati ke Hati Invitation”, ajakan untuk ngobrol dari dalam hati, bukan dari balik akun palsu atau baliho pencitraan.
Romo bilang, kedamaian itu bukan hasil dari debat kusir di talkshow malam, tapi buah dari ketulusan dan kesadaran bersama. Ibarat nonton film indie yang jujur dan penuh pesan, bukan sekadar efek ledakan dan drama lebay.
Jangan lupa, ada pula Istiqlal Declaration, semacam checklist moral dan spiritual yang terus digaungkan. Ibarat reminder dari aplikasi hati, supaya kita gak lupa update nilai-nilai kebajikan dalam hidup sehari-hari. Kalau hidup kita adalah aplikasi, maka Tri Hita Karana dan Istiqlal Declaration itu adalah versi update yang bikin sistem sosial kita anti nge-hang.
Acara itu juga dihadiri para tokoh, mulai dari Luhut Binsar Pandjaitan (yang sering dikira menteri segala urusan), Veronica Tan yang mewakili perempuan dan anak, hingga Tantowi Yahya, mantan Dubes dan penyanyi country yang kini jadi Presiden United in Diversity Foundation. Jadi ini bukan acara arisan RT, tapi forum bergengsi yang bahas masa depan planet ini.
Kenapa Indonesia bisa jadi contoh dunia ?, karena negara yang dari dulu sudah hidup dalam keberagaman. Kita biasa satu RW beda agama, beda suku, tapi tetap satu meja waktu ada hajatan. Kita sudah biasa kalau musholla dan pura berdampingan. Kita punya gotong royong, bukan go to war. Kita punya sopan santun, bukan hate speech. Kalau dunia sedang sibuk adu ego, kita sudah lama diajari ibu untuk ngalah bukan berarti kalah.
Indonesia bisa menjadi etalase nilai harmoni global, daripada dunia belajar dari negara-negara yang cuma modal senjata dan jargon, kenapa tidak belajar dari negara yang punya 17 ribu pulau tapi tetap bisa rukun? Kalau dunia ini sedang cari GPS moral, Indonesia bisa kasih peta jalan damai lengkap dengan bonus sambal ulek spiritual.
Jangan remehkan filosofi lokal yang lahir dari kearifan desa, karena bisa jadi itu yang menyelamatkan dunia dari stres global. Tri Hita Karana bukan cuma slogan Bali, tapi bisa jadi jendela spiritual dunia. Bukan cuma untuk dipajang di konferensi internasional, tapi untuk dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari, dari cara kita menyapa tetangga sampai cara kita buang sampah.
Jadi, kalau dunia ini sudah terlalu panas karena perang, polusi, dan politik pecah kongsi, mari kita tawarkan semangkuk harmoni Indonesia. Tambahkan sejumput ketulusan, aduk dengan rasa hormat, dan sajikan dengan tangan terbuka.
Kalau kata pepatah orang tua “Kalau mau dunia damai, mulailah dari hati yang tentram. Kalau mau hidup adem, belajar dulu dari orang kampung yang rukun meski listriknya suka padam”.[***]