KEDUPUTIAN Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Direktorat Sistem Penanggulangan Bencana melakukan kunjungan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada Selasa (25/5).
BPCB Jawa Timur memiliki tugas melaksanakan pemeliharaan, perlindungan, pemugaran, dokumentasi, penyelidikan dan pengamanan, penetapan, serta memberikan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat tentang peninggalan sejarah dan purbakala.
Selain itu, kunjungan dilanjutkan ke Pengelolaan Informasi Majapahit (PIM) dan beberapa situs yang ada di Trowulan guna menggali informasi mengenai literasi sejarah kebencanaan pada masa lampau khususnya di wilayah Jawa Timur.
Pada kesempatan yang sama, turut hadir Dosen Teknik Geofisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dr. Ir. Amien Widodo, M.Si yang menjelaskan bahwa kondisi Indonesia terapit oleh tiga lempeng tektonik aktif membuat Indonesia rawan terhadap bencana gempa bumi yang dapat memicu tsunami dan letusan gunung berapi.
Adapun Amien mengungkapkan berdasarkan temuan, peradaban di Indonesia sudah tidak asing dengan kejadian bencana.
“Contohnya, manusia purba di Sangiran, Sragen ditemukan di bawah endapan letusan gunung berapi pada 1.5 juta tahun yang lalu, sedangkan pada 74 ribu tahun yang lalu, letusan Gunung Toba memakan banyak korban di Indonesia dan dampaknya dapat dirasakan di seluruh dunia,” ucap Amien.
“Letusan Gunung Tambora juga berdampak pada dunia yang tanpa adanya musim panas, letusan Gunung Samalas pada tahun 1257 juga meninggalkan endapan abu vulkaniknya setebal 35 meter. Selain itu, banyak juga candi-candi yang terkubur akibat letusan gunung berapi seperti di Yogyakarta,” lanjutnya.
Amien juga menerangkan bahwa Jawa Timur memiliki cerita yang tidak kalah menarik, salah satunya tentang bencana Erupsi Gunung Kelud.
“Erupsi Gunung Kelud terjadi berulang kali dan membentuk pola perulangan, yaitu danau, anak gunung, lalu erupsi yang akhirnya membentuk danau kembali. Hal ini juga tercatat dalam Kitab Pararaton,” tuturnya.
Kemudian Amien turut menceritakan bahwa Raja Airlangga di era Kerajaan Kahuripan juga sudah membangun bendungan sebagai upaya mitigasi banjir.
“Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat dahulu pun sudah melakukan upaya preventif untuk menanggulangi bencana. Peristiwa ini tertuang dalam Prasasti Kamalagyan yang terletak di Dusun Klagen, Desa Tropodo, Kecamatan krian Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur,” ucap Amien.
“Berdasarkan temuan-temuan yang ada, saya percaya bahwa Kerajaan Majapahit runtuh karena terdampak bencana, selain juga ada faktor lainnya seperti perang saudara. Hal ini dapat dilihat dari lapisan-lapisan vulkanik serta endapan banjir yang mengubur situs-situs yang ada. Selain itu, beberapa situs juga mengalami roboh akibat goncangan gempa bumi,” lanjutnya.
Turut hadir perwakilan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur Muhammad Ichwan yang mengungkapkan bahwa peristiwa bencana yang terjadi di Trowulan tercatat dalam berbagai prasasti.
“Peristiwa bencana di Trowulan tercatat dalam Prasasti Bhatara Palah. Catatan juga ditemukan pada masa VOC. Tercatat bencana terdahsyat terjadi di 1901, sehingga oleh pemerintah Hindia Belanda dipantau secara serius,” tutur Ichwan.
Ichwan juga menjelaskan beberapa prasasti lain yang turut mencatat kearifan lokal dalam mengantisipasi ancaman bencana.
“Seperti Prasasti Harinjing memuat tentang pembuatan bendungan (dawuhan) dan sodetan pada Sungai Konto di Kepung, Kediri (Desa Besowo dan Siman), Prasasti Warungahan yang mencatat kejadian bencana gempa bumi, Prasasti Kamalagyan tentang banjir tahunan dan masih banyak lagi,” tutupnya.[***]
ril