Nasional

“Media Konvensional, Si Mbah yang Bijak, Penjaga Warung Demokrasi,Tapi Media Digital Banyak Juga yang Waras”

ist

Sumselterkini.co.id, – Di tengah zaman serba digital yang lebih cepat dari tukang tahu bulat keliling, dunia media seperti ikut lomba balap karung di tengah hujan deras. Media konvensional yang dulu dipuja bak seleb kampus, sekarang mirip mbah-mbah duduk di teras, pakai sarung, baca koran, dan sesekali nyeletuk, “Lho kok berita ini kemarin udah ada, kok diulang-ulang di medsos?”.

Jangan salah di tengah banjir konten digital yang lebih deras saat ini dari cucian emak-emak saat musim kemarau datang, media konvensional berjalan pelan, tapi bijak. Ia masih tahu cara menyaring mana informasi, mana inflasi, mana hoaks, mana hoaa…alaa… asal nyambung.

Bahkan si mbah juga masih jago ngeracik informasi, walau langkahnya pelan, tapi presisi, dan yang paling penting, dia masih berpegang pada etika jurnalistik dan prinsip verifikasi, dua hal yang sering kali hilang saat berita disulap dalam tempo tiga detik demi klik dan engagement.

Baru-baru ini Sekjen Kominfo Digital dalam rilisnya, Pak Ismail, cukup bijak membaca gelagat, di tengah badai digital, beliau menyuarakan perlunya menciptakan level playing field, lapangan yang rata antara media konvensional dan digital. Tujuannya mulia, agar tak ada yang ketinggalan, tak ada yang dibabat karena selama ini, media konvensional berjuang seperti gladiator pakai pedang kayu, tapi disuruh bertanding lawan robot tempur.

Kita akui, media digital itu lincah, mereka bisa menyulap breaking news dari satu tweet, dan dalam tiga menit sudah tayang lengkap dengan infografis. Tapi cepat bukan berarti benar, banyak juga yang cuma modal judul clickbait macam “Perempuan ini beli nasi Padang, lalu terjadi hal tak terduga!”. Eh, ternyata cuma ditambah kuah rendang dua sendok.

Namun bukan berarti semua media digital asal-asalan, banyak juga yang patut dijempolin, sebut saja Tirto, Katadata, Project Multatuli, bahkan media lokal seperti Solopos, Beritagar, dan lainnya masih ribuan di Indonesai ada menebar positif,  dan sampai LaporCovid (yang dulu rajin update data saat negara bingung). Mereka ini ibarat anak muda yang rajin, melek data, dan mau belajar etika bukan yang asal viral.

Makanya kita harus adil jangan menindas si tua, tapi jangan juga menggeneralisasi si muda. Media digital pun banyak yang sehat akal dan lurus jalannya, tapi ya tetap perlu ada aturan, supaya yang sehat tidak kalah saing sama akun-akun setan jalanan yang isinya cuma sensasi.

Banyak yang bilang, “Lho, kan Indonesia juga sudah bikin Perpres soal itu?” Betul! Perpres Nomor 32 Tahun 2024 adalah langkah bersejarah mewajibkan platform digital seperti Google dan Meta menjalin kerja sama dengan perusahaan pers lokal demi mendukung jurnalisme berkualitas.

Namun, kita harus jujur, regulasi ini baru keluar dari oven, belum matang sepenuhnya. Di atas kertas, isinya cakep, tapi di lapangan? banyak media lokal belum ngerti skemanya. Platform digital pun kadang pura-pura bingung, kayak anak sekolah disuruh ngaji tapi malah buka TikTok. Tanpa pengawasan dan transparansi, Perpres ini bisa jadi seperti taman bermain yang indah, tapi gerbangnya dikunci, penjaganya tidur, dan anak-anak malah main di jalan raya.

Australia sukses bikin platform digital bayar ke media lokal. Di sana, Google dan Facebook tak bisa asal ambil berita, harus bagi hasil, di Kanada dan Jerman, pendekatannya kolaboratif. Media konvensional dikasih jalan migrasi ke digital, dan media digital diajak ikut pelatihan etika jurnalistik.

Di Korea Selatan? Pemerintah justru bikin insentif pajak buat perusahaan media yang investasi di konten berkualitas, bukan konten nyaris bugil. Indonesia bisa kok, kita cuma butuh semangat dan kemauan, bukan cuma seminar dan spanduk. Regulasi tanpa pelaksanaan itu seperti gorengan tanpa sambal hambar, bikin kecewa.

Anggap saja media digital dan konvensional ini dua anak kembar beda kecepatan. Satu lincah dan cerewet, satu tenang dan teliti. Kalau dua-duanya ribut mulu, ya tugas orang tuanya (baca: pemerintah) adalah membuat sistem yang adil. Bukan cuma marah-marah di depan umum tapi diam saat distribusi jatah iklan digital dikuasai segelintir raksasa.

Kita hidup di era informasi, tapi kalau tidak hati-hati, kita bisa mati karena informasi. Hoaks, manipulasi, clickbait murahan, semuanya bertebaran seperti lalat di musim duren. Maka yang kita butuhkan bukan sekadar media cepat, tapi media yang kuat, Bukan hanya yang ramai dibaca, tapi yang bisa dipercaya.

Media konvensional perlu diselamatkan, bukan dikuburkan hidup-hidup, Tapi media digital yang berkualitas juga harus dihargai, bukan disamaratakan dengan akun abal-abal. Pemerintah harus memegang peran sebagai wasit sekaligus pelatih membina, bukan hanya menertibkan.

Jangan tunggu sampai media konvensional tinggal kenangan, dan yang tersisa cuma akun clickbait berisik tapi tak ada nilai. Sebab kalau itu yang terjadi, kita tak lagi punya penjaga akal sehat bangsa. Yang ada cuma pasar malam digital, penuh teriakan tapi kosong makna. “Di dunia yang penuh suara, yang penting bukan siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling jernih”.

Sebab  kejernihan itu masih tinggal di ruang redaksi tua, di balik meja kayu yang sudah aus, ditemani mesin ketik tua dan secangkir kopi. Jangan biarkan mereka ditinggalkan sendirian di tengah pesta digital yang tak ada ujungnya.

Kalau ruang publik kita hanya diisi oleh konten yang viral, lalu siapa yang menjaga kebenaran?. Jangan sampai algoritma mengatur arah demokrasi kita. Jangan sampai yang menentukan penting-tidaknya sebuah isu adalah jumlah share, bukan kadar substansi. Hari ini berita soal masakan seleb bisa trending 3 hari, sementara laporan investigasi soal korupsi cuma nyangkut di pojok bawah.

Pemerintah mesti paham, industri media ini bukan sekadar soal bisnis dan klik, tapi soal membangun kesadaran kolektif sebuah bangsa, kalau yang disajikan cuma sensasi dan gosip, rakyat akan tumbuh dengan pola pikir mie instan cepat kenyang, tapi nggak ada gizinya.

Jangan biarkan media konvensional yang masih memelihara dapur verifikasi dan etika tumbang, karena kalah modal dan kalah sinyal, jangan pula biarkan media digital yang sehat berjuang sendirian melawan algoritma dan clickbait dari para penunggang tren.

Kalau ruang publik adalah rumah besar demokrasi, maka media adalah jendela dan ventilasinya. Kalau jendelanya ditutup hoaks, dan ventilasinya diganti iklan judi online, ya baunya bukan lagi aroma demokrasi, tapi aroma apes digital.

Tugas kita bersama pemerintah, masyarakat, pelaku media, dan pembaca waras adalah membuat rumah ini tetap bisa ditempati dengan nyaman, bukan hanya ramai tapi berisik. Jangan biarkan demokrasi kita diatur oleh konten yang cuma ingin viral, tapi kosong makna. Biarkan media konvensional tetap ada sebagai penjaga suara akal sehat, dan bantu media digital untuk tetap waras, supaya semua bisa tumbuh bareng bukan saling tikam, tapi saling topang. Salam damai dari redaksi yang karena waras itu bukan soal platform, tapi soal niat dan nurani.[***]

Terpopuler

To Top