Sumselterkini.co.id, – Ada pepatah Arab kuno yang berbunyi, “Man jadda wajada, man MoU-an fadhilah.” Artinya kurang lebih, siapa yang bersungguh-sungguh akan dapat hasil, dan siapa yang teken MoU akan dapat beasiswa dan pelatihan singkat. Ya… kurang lebih begitu, meski agak ngarang. Tapi toh isinya mirip dengan kabar segar dari Timur Tengah beberapa hari lalu.
Kementerian Agama RI resmi menjalin sinergi bareng dua kementerian Kerajaan Yordania. Satu urusannya pendidikan tinggi dan riset, satunya lagi spesialis wakaf, urusan Islam, dan tempat suci. Teken MoU-nya pun nggak main-main, disaksikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dan Raja Abdullah II. Momen ini bisa dibilang seperti reuni spiritual bagi Prabowo, karena seperti yang banyak orang tahu, beliau pernah lama tinggal di Amman, Yordania, saat masa-masa ngadem politik dulu.
Kata orang, kalau jodoh tak ke mana, rupanya Prabowo dan Yordania bukan cuma cocok secara geopolitik, tapi juga geohati. Sudah seperti pulang kampung bukan kampung halaman, tapi kampung rohani. Kalau biasanya pejabat ke luar negeri itu buat selfie di depan gedung tua dan ngetwit dalam bahasa Inggris dengan grammar ngambang, yang ini justru bawa pulang oleh-oleh penting kerja sama pendidikan, pengembangan Islam moderat, dan bahkan pertukaran qari dan nadhir. Mantap nian.
MoU bidang pendidikan antara Kemenag RI dan Kementerian Pendidikan Tinggi Yordania bakal bikin hidup para santri, dosen, dan mahasiswa jadi lebih berwarna. Ada program double degree, shortcourse, pertukaran pelajar, bahkan pelatihan penyegaran bahasa Arab. Jadi, bukan cuma “marhaban” dan “ana uhibbuki fillah” doang yang dihapal, tapi juga bisa nyusun tesis pakai Arab formal yang bikin pembimbing berkeringat.
Shortcourse ini bukan kursi pendek tempat duduk kalau lagi males, tapi program pelatihan intensif. Bahasa Arabnya naik level, dosennya bisa ke Yordania, mahasiswa bisa nyicipin hummus beneran, bukan cuma yang ada di feed Instagram.
Kata Menteri Agama Nasaruddin Umar, kerja sama ini bakal diperluas juga untuk pertukaran guru besar dan tenaga kependidikan. Jadi bisa jadi suatu saat nanti, ustaz kita ngajar di Amman, dan profesor dari Yordania ceramah di pesantren kita. Cross culture yang bukan cuma saling tukar oleh-oleh, tapi tukar ilmu dan visi keislaman global.
Lanjut ke urusan agama dan wakaf. Di sinilah letak romantika spiritual antara dua negeri. Yordania yang dikenal dengan khazanah keislamannya yang moderat, dan Indonesia yang penuh semangat “rahmatan lil alamin tapi tetap rajin debat di kolom komentar.” Dua negara ini sepakat buat saling belajar dalam hal moderasi beragama, pengelolaan masjid, penguatan zakat dan wakaf, sampai urusan manuskrip keagamaan.
Dan, ini yang menarik ada pertukaran ulama, penceramah, imam, bahkan qari untuk lomba musabaqah internasional. Bisa jadi kelak, lomba MTQ di Indonesia ada peserta dari Amman yang suara tilawahnya bikin merinding, sementara qari dari Aceh tampil di Yordania sambil disorot TV Timur Tengah.
Juga, diperkenalkanlah dua “akta rohani” penting Akta Amman dan Deklarasi Istiqlal. Yang satu lahir di Yordania, yang satu di Indonesia. Kalau digabungkan, ini kayak duet spiritual lintas benua kayak Rhoma Irama feat Maher Zain.
Kalau banyak orang bilang MoU itu cuma seremoni belaka, kali ini beda. Karena akan dibentuk komite gabungan untuk nindaklanjuti semua ini. Artinya, bukan cuma foto bareng terus ngilang, tapi betulan bikin aksi nyata. Semacam janji serius yang bukan PHP. Ini seperti pertunangan antara dua bangsa, yang niatnya bukan main-main.
Dan yang paling bikin hati hangat adalah semua ini terjadi di hadapan Prabowo dan Raja Abdullah II. Bukan cuma simbol persahabatan antar negara, tapi juga momen refleksi bahwa diplomasi bisa kok dibangun lewat jalur pendidikan dan keagamaan. Nggak harus lewat jual beli senjata atau rebutan gas alam. Kadang, yang kita butuh cuma sinergi antar santri dan guru besar.
Yordania bukan cuma punya Petra dan nasi mandhi, tapi juga punya warisan intelektual Islam yang luar biasa. Indonesia, di sisi lain, punya semangat religius dan keragaman yang nggak ada duanya. Kalau dua ini bersatu, maka bukan hal aneh, jika di masa depan kita punya ulama yang bukan hanya hafal kitab, tapi juga melek riset, cakap dialog antariman, dan paham cara ngelola wakaf dengan model kekinian.
Siapa tahu, kelak dari kerja sama ini lahir intelektual Muslim Indonesia yang jadi dosen tamu di Amman, atau bahkan jadi duta besar yang bisa ceramah sekaligus bikin jurnal terindeks Scopus.
Karena ya, begitulah cinta terkadang tidak dimulai dari rayuan, tapi dari MoU.[***]
