Nasional

CATATAN PINGGIR : “TNI Ultah, Rakyat Ikut Tiup Lilin, Antara Parade, Pecel Lele & BKB Tak Pernah Pensiun”

ist

DI DUNIA makin sibuk cari sinyal dan lupa cari makna, masih ada satu momen yang bikin dada mendadak tegak dan perut mendadak lapar, yakni Hari Ulang Tahun ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Tahun 2025 ini, Kodam II/Sriwijaya bikin hajatan megah di Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang, tempat yang lebih sering jadi latar selfie daripada tempat merenungi sejarah. Tapi kali ini, BKB bukan sekadar benteng, ia berubah jadi panggung kehormatan, tempat barisan gagah berdiri, bendera berkibar, dan rakyat ikut bangga meski sambil ngincar jualan es dawet di pinggir lapangan.

Di tengah parade yang rapi, hadir Sekretaris Daerah Sumsel, H. Edward Candra, mewakili Gubernur, beliau datang bukan cuma untuk formalitas, tapi sebagai tanda bahwa pemerintah daerah dan TNI itu ibarat dua sisi sendok sayur yang beda bentuk, tapi sama-sama penting buat masak Ketahanan Nasional.

Bahkan, jika TNI berbaris, itu namanya disiplin, kalau rakyat berbaris di antrean minyak goreng, itu namanya  kesabaran, kesamaannya adalah, dua-duanya butuh perjuangan, cuma yang satu dilatih di lapangan tembak, yang satu di dapur umum. Tapi di HUT TNI ini, ke dua barisan itu bertemu, yang satu menjaga negeri, yang satu menjaga wajan tetap nyala.

Ketika drum band menggelegar dan panser lewat pelan, ada anak kecil teriak, “Pak, itu mobil perang ya?, bisa ngantar sekolah gak?” — dan di situlah indahnya parade, bukan cuma soal senjata, tapi soal mimpi masa depan yang tetap bisa lucu di tengah serius.

BKB adalah saksi sejarah perjuangan, kini seolah-olah, jadi stadion nasional rasa heritage, dari zaman Belanda sampai zaman war TikTok, BKB tetap tegak, meski sudah diserbu pedagang pempek dan fotografer prewedding. Namun di hari itu, BKB seolah pakai seragam kebesaran yang terlihat gagah, khidmat, dan wangi patriotisme.

Pepatah bilang “Air tenang menghanyutkan, tapi air Musi lebih banyak buat spot healing”. Namun di balik tawa dan kamera, ada makna besar yaitu,  TNI bukan sekadar tentara, mereka penjaga waktu, untuk  memastikan sejarah tetap berdenyut di tengah modernitas yang kadang terlalu ribut.

Delapan puluh tahun bukan usia muda, pasalanya, kalau TNI manusia, mungkin sudah waktunya pensiun sambil main burung perkutut. Tapi siapa bilang?, justru di usia 80 ini, TNI makin tangguh, makin peka, dan makin melek digital, kerena nggak?.

Karena kalau dulu perang pakai senjata, sekarang juga perang melawan hoaks dan malas mikir, TNI paham, ancaman tak selalu datang dari laut dan udara, tapi juga dari grup WhatsApp keluarga yang suka sebar berita katanya.

Oleh karena itu, maka pantaslah Pemprov Sumsel hadir, karena menjaga negeri hari ini tak cukup dengan senjata, tapi juga dengan sinergi, empati, dan sedikit kemampuan menahan diri untuk tidak ikut debat online.

Setiap parade besar pasti ada dagelannya, ada tentara yang sepatu kirinya lebih kinclong dari kanan, ada ibu-ibu yang sibuk live di TikTok sambil salah sebut pangkat “lihat tuh, Kolonel lewat… eh atau Mayor ya?” ya…namanya ibu-ibu, harap maklum kadang asal bunyi, he..he!.

Tapi lucu juga, kalau serius terus gak seru…, karena justru itulah daya tarik dan hiburannya, apalagi kemeriahan rakyat adalah bentuk cinta paling jujur yang tak bisa direkayasa dengan skenario.

Kacamata sosial

Pepatah Sumatera bilang “Kalau nasi sudah jadi bubur, tambahlah suwiran ayam biar enak”. Begitu pula acara HUT TNI ini, campuran serius dan santai, sakral dan receh, tapi hasilnya lezat di hati rakyat.

Nah, kalau dilihat dari kacamata sosial, kehadiran TNI di tengah masyarakat bukan cuma simbol pertahanan, TNI adalah lem sosial yang menjaga, agar bangsa ini tidak terbelah karena beda pilihan, beda preferensi sinetron, atau beda kubu kopi tubruk vs kopi sachet.

Dan ketika pemerintah daerah seperti Pemprov Sumsel aktif hadir, itu artinya ada kesadaran baru bahwa ketahanan daerah tak cukup dibangun dengan beton dan anggaran, tapi juga dengan rasa saling percaya.

Oleh karena itu, TNI menjadi penjaga perbatasan, sementara pemerintah mejadi penjaga kesejahteraan, rakyatnya penjaga kewarasan,  dan kalau ketiganya kompak, Indonesia aman sampai cucu kita nanti juga bisa selfie di BKB tanpa takut apa-apa.

Jadi, hidup di zaman serba cepat ini,  ada hal -hal yang tak boleh terburu-buru, yakni loyalitas, apalagi umur TNI sudah 80 tahun dan telah membuktikan bahwa cinta Tanah Air itu bukan karena kata-kata manis di caption Instagram, tapi kerja keras yang kadang tanpa panggung.

Buat rakyat, ini pelajaran penting, karena  menjaga negeri bukan cuma tugas berseragam loreng, tapi juga tugas siapa pun yang masih punya niat baik meski dompetnya bolong.

Ketika upacara selesai dan acara syukuran dimulai, ada tawa, ada tepuk tangan, dan mungkin ada yang nambah porsi pempek. Tapi di balik itu semua, ada kesadaran, salah satunya, yaitu negeri ini tetap berdiri karena masih banyak yang mau berdiri tegak.

Jadi, kalau ada yang bilang TNI itu keras, jawab saja “Keras memang, tapi kerasnya buat melindungi”.
Kalau ada yang bilang rakyat itu bawel, jawab juga “Bawel memang, tapi bawelnya tanda sayang”.

Karena pada akhirnya, seperti kata pepatah “Bangsa kuat bukan karena takut perang, tapi karena tahu cara tertawa bersama setelah parade selesai”, he…he..[***]

Terpopuler

To Top