Sumselterkini.co.id, – Di balik suara embek dan lenguhan sapi yang dikurban di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), ada pesan yang lebih dalam dari sekadar bagi-bagi daging kiloan. Tahun ini, 2.000 mustahik menerima manfaat dari pelaksanaan kurban mulai dari petugas keamanan, sopir, tenaga kebersihan, pegawai non-ASN, hingga pegawai golongan I dan II. Kalau kurban ini diibaratkan rendang, maka bukan cuma empuknya yang terasa, tapi juga bumbunya: gotong royong, kepedulian, dan empati sosial.
Di era digital yang apa-apa harus connect, rupanya ada yang tak butuh sinyal tapi tetap tersambung empati. Ibadah kurban di Komdigi tahun ini bukan sekadar menjalankan ritual tahunan atau update status sudah potong sapi, Alhamdulillah. Ini tentang bagaimana institusi pemerintah mengingat bahwa roda organisasi bisa berputar bukan hanya, karena direktur dan menteri, tapi juga karena tenaga honorer yang tiap pagi bersihkan toilet, petugas keamanan yang tidak tidur demi jaga malam, serta pengemudi yang hafal tempat ngopi terbaik di radius 5 km dari kantor.
Dan kalau Menteri Komdigi Meutya Hafid bilang bahwa keimanan sejati itu soal taat tanpa syarat, maka solidaritas sejati itu soal berbagi tanpa pamrih. Enggak ada embel-embel like and subscribe dulu baru dapat daging.
Kurban tahun ini menyumbangkan 12 ekor sapi, hasil gotong royong segenap sivitas Komdigi. Kalau satu sapi kira-kira beratnya 700 kilogram, berarti total hampir 8.400 kilogram daging yang dipotong. Tapi siapa yang bisa timbang beratnya keikhlasan?. Karena, seperti kata pepatah nenek-nenek Jawa yang sering diremehkan cucunya Ngasih itu gampang, ikhlas itu PR-nya.
Ibadah kurban memang syariat, tapi cara menjalankannya bisa jadi cermin siapa kita. Sapi dan kambing itu mungkin korban, tapi jangan sampai niatnya yang dikorbankan. Jangan sampai kurban jadi momen pamer infografis di Instagram, tapi lupa tanya: siapa yang belum makan di sekitar kita?
Meutya Hafid menyampaikan bahwa kurban itu bukan cuma soal iman personal, tapi juga soal meneguhkan kebersamaan, kalau biasanya rapat itu dipenuhi dengan paparan PowerPoint dan bahas KPI, maka kali ini meja rapat dibumbui dengan nilai luhur kemanusiaan, kebersamaan, dan tradisi gotong royong.
Di sinilah letak keindahan agama bertemu budaya, ibadah bertemu kebijakan, dan sapi bertemu nilai sosial. Lho, jangan ketawa sapi ini simbol loh, bukan cuma binatang. Dia jadi pengingat bahwa yang berharga itu bukan cuma saldo rekening, tapi sejauh mana kita bisa membagikan berkah hidup untuk orang lain.
Kadang kita terlalu serius membayangkan birokrasi penuh formulir, stempel, dan kalimat berbunga-bunga yang bahkan Shakespeare pun enggan baca. Tapi kali ini, birokrasi terasa lebih hangat dan harum, karena dibarengi dengan semangat bakar sate.
Dan seperti yang kita tahu, yang bikin sate enak itu bukan dagingnya saja, tapi bumbunya ada manis, gurih, dan pedas. Nah, organisasi juga begitu. Dagingnya adalah sistem, tapi bumbunya adalah rasa saling peduli antaranggota. Tanpa itu? Ya kayak sate tanpa sambal kacang hambar!.
Tahun ini, Komdigi sudah memberi contoh bahwa nilai-nilai luhur tidak hanya dibahas dalam seminar atau workshop motivasi. Nilai itu hidup di lapangan, dalam potongan daging yang dibagi rata, dalam senyum tukang sapu yang dapat jatah, dan dalam keikhlasan para pejabat yang menyisihkan rezeki untuk berbagi.
Kalau boleh kita rangkum dengan petatah “Yang ikhlas tak butuh dipamer, yang peduli tak butuh disorot”. Tapi ketika keduanya bersatu dalam lembaga seperti Komdigi, maka hasilnya bukan hanya daging yang kenyang, tapi juga hati yang lapang.
Selamat berkurban, dan mari kita lanjutkan semangat ini di meja kerja, di ruang rapat, dan di setiap keputusan kebijakan, karena kalau sapi bisa jadi sarana berbagi, masa hati kita kalah sama hewan ternak?.[***]