Sumselterkini.co.id,- Di dunia perfilman yang sering kali sibuk dengan kisah superhero berotot, monster galaksi, dan cinta anak sultan, tiba-tiba hadir film Cocote Tonggo, film yang alih-alih menampilkan ledakan CGI, justru meledakkan tawa dan keharuan dengan cerita sederhana pasangan suami istri penjual jamu yang belum punya anak. Ya, ini bukan kisah Hollywood, ini kisah Holimart, pasar lokal kita.
Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, bukan hanya datang nonton gala premiere film ini, tapi juga memberi tepuk tangan semangat sampai bahunya pegal. Kata beliau, ini film adalah contoh “tren hyperlocal” yang patut dicontoh. Nah lo, hyperlocal istilah yang kalau dibaca cepat bisa dikira nama minuman energi.
Tapi maknanya dalam. Hyperlocal itu ibarat masakan ibu di dapur kampung bahan seadanya, tapi rasa nikmatnya bisa bikin chef Prancis geleng-geleng. Film Cocote Tonggo punya bumbu itu kearifan lokal yang diolah kreatif sampai bisa menggetarkan rasa universal.
Bayu Skak, sang sutradara, seperti koki warung pecel yang nekat buka cabang di festival film. Dan ternyata laris! Kisah tetangga cerewet dan urusan fertilitas memang bukan sesuatu yang dijual di Marvel Cinematic Universe.
Tapi justru di situlah letak kekuatannya. Film ini menyenggol kenyataan dengan santai, lucu, tapi ngena kayak sandal jepit kena paku. “Cerita lokal yang jujur adalah jembatan untuk pengalaman global,” kata Menteri Riefky.
Pepatah Jawa bilang “Wong urip kuwi kudu iso dadi cermin lan dagelan, supaya ora gampang muring-muring.” (Hidup itu harus bisa jadi cermin dan bahan lelucon, supaya tidak mudah stres). Nah, Cocote Tonggo berhasil jadi dua-duanya.
Kalau Hollywood punya La La Land, Indonesia kini punya Lha Lha Land versi tetangga cerewet. Dan percaya atau tidak, tren seperti ini sudah laku keras di berbagai negara. Lihat Korea Selatan, yang bikin serial Reply 1988, cerita kampung pinggiran Seoul, tapi ditonton sampai Venezuela. Atau film Iran seperti A Separation sederhana, lokal, tapi menang Oscar.
Contoh dari India, The Lunchbox, film tentang surat cinta nyasar di kotak bekal, bisa membuat penonton Paris meneteskan air mata sambil makan croissant. Semua ini membuktikan bahwa cerita yang tumbuh dari tanah sendiri, bisa membuat dunia menengok ke arah kita.
Di tengah industri film yang kadang terlalu sibuk mengejar efek visual, Cocote Tonggo datang sebagai pengingat bahwa narasi yang tumbuh dari akar, akan lebih kuat dari karangan bunga yang dipajang di festival. Ini juga jadi teguran halus bagi sineas yang suka bikin film tentang hal-hal yang bahkan neneknya pun tak paham alurnya.
Kita butuh lebih banyak film seperti ini. Film yang tidak malu-malu tampil dalam kebaya budaya sendiri. Film yang tahu bahwa senyum ibu di pagi hari, suara masjid sebelah rumah, dan tangisan bocah yang jatuh dari sepeda semua itu adalah cerita yang layak diangkat ke layar lebar karena film bukan hanya soal sinema, tapi soal siapa kita.
Bayangkan jika daerah lain ikut menciptakan karya seperti ini Banyuwangi bikin film tentang ritual Seblang, Minang bikin drama masakan randang versus rendang, Palembang angkat kisah cinta lintas sungai Musi. Bisa-bisa bioskop internasional ngantri beli tiket!
Tokoh sineas Prancis François Truffaut pernah berkata, “A truly local story is a global story that hasn’t been told yet.” Nah, kalau kata simbah di kampung “Kacang ora iso lali kulité.” (Kacang tak boleh lupa kulitnya). Begitu pula film.
Kini saatnya pemerintah daerah, komunitas kreatif, dan sekolah-sekolah film dari Sabang sampai Merauke sadar bahwa potensi mereka tak kalah dari Hollywood asal tahu cara menyulap dapur rumah jadi studio, dan tetangga julid jadi inspirasi naskah.
Jadi, sebelum kita sibuk bikin film luar angkasa yang ceritanya tak sampai ke hati, mari kita mulai dari ruang tamu sendiri. Karena dari sanalah segala hal besar berawal. Bahkan Titanic pun tenggelam karena lupa cek ruang mesin.
Ya gampang. Mari ramai-ramai nonton Cocote Tonggo. Karena kalau bukan kita yang dukung cerita kita sendiri, siapa lagi? Masa iya nunggu tetangga sebelah duluan?.[***]