MUBA Terkini

1 Muharram di Sungai Angit, Masjid di Tengah Desa, Doa di Tengah Jiwa

ist

SABTU pagi di Desa Sungai Angit itu rasanya seperti semesta sedang menyusun ulang kalender dan perasaan warga sekaligus. Ada drum band menggema, anak-anak melenggangkan tarian daerah, bahkan semilir angin pun seolah ikut mengucap Allahu Akbar pelan-pelan sambil menyibak tenda.

Hari itu bukan cuma soal peresmian bangunan, namun tentang perasaan, tentang masjid, tentang At-Tauhid, tentang babak baru yang dimulai dari lantai masjid yang licin dan mimbar yang masih wangi cat.

Kalau biasanya peresmian gedung identik dengan gunting pita dan pidato panjang yang bikin kantuk level nasional, kali ini beda. Yang diresmikan bukan cuma masjid, tapi juga harapan. Yang digunting bukan pita, tapi rasa malu untuk tidak ikut meramaikan rumah Allah. Yang hadir pun bukan cuma Bupati Muba H. M. Toha SH dan rombongannya, tapi juga para doa yang menumpuk di ubun-ubun warga sejak lama “Kapan masjid ini jadi, Ya Allah?”, Nah, sabtu kemarin doa itu keturutan!.

Acara itu ibarat nasi campur spiritual, ada peresmian masjid, peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H, dan Milad ke-16 TPA Nurul Ilmi, plus Haflah Akhirussanah, semuanya dijadikan satu piring. Biar lebih komplit, ditambah pemotongan tumpeng, dan ceramah dari Ustadz KMS M Mukhtaruddin SAg yang suaranya lembut tapi menghujam seperti status mantan di malam Jumat.

Kalau ada yang bilang acara keagamaan itu serius, di Desa Sungai Angit ini justru cerah ceria, dari anak-anak TPA sampai ibu-ibu PKK yang bahunya masih pegal karena semalam begadang masak lontong, semua ikut hadir. Tak lupa, camat, anggota DPRD, hingga Kepala Desa Zubaidah yang gayanya lugas tapi penuh semangat, ikut larut dalam kemeriahan rohani ini.

Dalam sambutannya, Bupati Toha bilang masjid itu bukan sekadar bangunan, dan betul juga. Masjid itu seperti terminal hati. Tempat semua luka ditinggalkan, semua doa dititipkan, dan semua rasa ingin jadi lebih baik, dikumpulkan.

“Masjid bukan cuma tempat salat, tapi tempat menyatukan umat,” kata beliau, seperti seorang motivator yang mendadak sadar mikrofon-nya nyambung ke langit.

Yang menarik, masjid ini dibangun atas inisiatif Tohet ayahanda Bupati sendiri yang kemudian diteruskan oleh Bu Kades Zubaidah. Artinya, masjid ini bukan hanya hasil dana dan semen, tapi juga darah perjuangan dan keringat silaturahmi. Seperti kata pepatah lama yang entah siapa penciptanya, “Yang dibangun dengan cinta, akan berdiri lebih lama dari sekadar beton”

Satu lagi yang bikin hati hangat, TPA Nurul Ilmi sudah 16 tahun. Artinya, tahun depan bisa dirayakan dengan acara joget halal-haram mix dan lomba tilawah antar RT. Tapi serius, ini bukan perkara umur. TPA itu seperti akar. Makin tua, makin dalam menghujam ke bumi. Anak-anak di desa ini mungkin masih belum paham filosofi hijrah, tapi mereka sudah belajar mengeja Al-Qur’an sambil sesekali melirik es lilin di luar pagar.

Bupati Toha mengucapkan terima kasih kepada para guru TPA. Ya memang harus diucapkan, Pak! Guru TPA itu adalah manusia-manusia setengah malaikat.

Mereka sabar ngajarin huruf hijaiah ke bocah-bocah yang lebih sering kejar-kejaran daripada hafalan. Tapi lihatlah, dari tangan mereka lahir calon imam, calon ustazah, dan paling tidak: calon menantu yang tahu hukum tajwid!

Kalau hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah bisa mengubah arah sejarah dunia, maka peresmian Masjid At-Tauhid ini bisa jadi awal dari hijrah kecil-kecilan di Sungai Angit. Dari malas ke rajin salat, dari bengong ke ikut pengajian, dari rebahan ke rebahan di serambi masjid sambil dzikir.

Masjid ini bukan hanya lambang fisik, tapi arah baru spiritual. Tempat warga bisa bertemu bukan karena hutang, tapi karena pengajian. Tempat anak-anak bisa tertawa sambil belajar, dan orang tua bisa termenung sambil mengingat mati. Eh, maksudnya mengingat akhirat.

Seperti kata pepatah kocak tapi dalam “Siapa yang membangun masjid, bukan cuma dapat pahala… tapi juga dapat tempat berteduh di surga, dan kemungkinan besar, dapat titipan doa dari jamaah yang tertinggal sandal”.

Makmurkan masjid, kalau kata orang dulu “Biar langit tak selalu cerah, asal hati tetap terang,”.  Dan di masjid inilah, terang itu kita cari bareng-bareng, sambil bawa sajadah dan niat baik. Aamiin!

Kalau Bupati sudah datang, camat sudah berpantun, dan tumpeng sudah dipotong, maka tinggal kita yang harus terus hadir… di masjid, bukan cuma pas ada wartawan.[***]

Terpopuler

To Top