SEBAGAI salah satu upaya peningkatan kualitas layanan Jaminan Produk Halal (JPH), Badan Penyeleggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama mengadakan Public Hearing Layanan Halal Berbasis Teknologi Informasi (IT).
Kegiatan yang digelar di Kota Cirebon ini melibatkan para pelaku usaha dan perwakilan dari beberapa Dinas terkait.
Kegiatan dilaksanakan dengan metode diskusi interaktif, untuk mengetahui tingkat pemahaman, respon, ekspektasi dan potensi kesulitan para pelaku usaha terhadap kebijakan BPJPH dalam melaksanakan layanan sertifikasi halal berbasis IT. Ini menjadi upaya BPJPH untuk terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas layanan sertifikasi halal yang merupakan ‘core-business’nya.
Edukasi terkait perkembangan regulasi JPH pun menjadi bagian tak terpisahkan di dalam kegiatan tersebut. Sekretaris BPJPH Muhammad Lutfi Hamid menekankan sejumlah isu penting terkait perkembangan regulasi JPH.
“Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan disahkannya Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, maka terdapat perubahan proses bisnis layanan sertifikasi halal yang dilaksanakan oleh BPJPH,” ungkap Lutfi Hamid, Minggu (11/04/2021).
Regulasi baru JPH, lanjut Mantan Kepala Kanwil Kementerian Agama DI Yogyakarta ini, secara khusus memberi perhatian bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK). Regulasi memberikan kemudahan berusaha bagi UMK, termasuk kemudahan dalam melaksanakan kewajiban bersertifikasi halal.
“Salah satu hal yang perlu diketahui oleh Bapak Ibu sekalian sebagai pelaku usaha adalah ketentuan baru bahwa kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku UMK didasarkan atas pernyataan pelaku UMK sendiri, atau disebut self declare,” tambahnya.
Dijelaskan Lutfi, meskipun regulasi memberi opsi pelaku UMK dapat melakukan pernyataan halal, namun tidak berarti pelaku usaha dapat begitu saja menyatakan bahwa produknya halal. Pernyataan halal tersebut harus dilakukan melalui mekanisme yang diatur BPJPH, dan dilaksanakan dengan kriteria tertentu. Misalnya, produk yang akan di-declare tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya. Proses produksinya juga dipastikan kehalalannya dan sederhana.
Pernyataan pelaku UMK tersebut dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH. Standar tersebut paling sedikit terdiri atas, pertama, akad atau ikrar yang berisi kehalalan produk dan bahan yang digunakan. Kedua, proses produk halal (PPH) dinyatakan memenuhi kriteria kehalalan. Ketiga, ada pendampingan PPH untuk memastikan bahwa produk itu sudah memenuhi syarat dideklarasikan. Caranya, diverifikasi dan validasi oleh pendamping.
“Pendampingan Proses Produk Halal atau PPH ini dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan Islam atau lembaga keagamaan Islam yang berbadan hukum dan/atau perguruan tinggi,” tambahnya.
Pendampingan PPH juga dapat dilakukan oleh instansi pemerintah atau badan usaha sepanjang bermitra dengan organisasi kemasyarakatan Islam atau lembaga keagamaan Islam yang berbadan hukum dan/atau perguruan tinggi.
Apabila pelaku UMK sudah memenuhi semua syarat tersebut, dokumen pernyataan halal UMK tersebut disampaikan kepada BPJPH. Selanjutnya, dokumen diteruskan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mendapatkan penetapan kehalalan produk. Berdasarkan fatwa halal secara tertulis dari MUI itulah BPJPH menerbitkan sertifikat halal.
Koordinator Bagian Perencanaan dan Sistem Informasi, Chuzaemi Abidin, menambahkan bahwa saat ini BPJPH masih menyiapkan aturan teknis terkait bagaimana pendampingan PPH itu dilakukan, dan standar halalnya seperti apa.
“Juga terkait rekruitmen lembaga yang bertugas melakukan pendampingan. Semuanya akan diatur dalam Peraturan BPJPH yang saat ini masih dalam proses finalisasi,” kata Chuzaemi.
Terkait sistem layanan, pengelola Sistem Informasi Halal (SIHALAL) BPJPH, Muhammad Yanuar Arief, mengatakan bahwa saat ini BPJPH terus melakukan penguatan sistem.
“Penguatan sistem layanan sertifikasi halal terus kami lakukan, di antaranya dengan cara mengintegrasikan data dengan lembaga-lembaga terkait. Saat ini untuk pendaftaran sertifikasi halal diwajibkan memiliki NIB, karena sistem kami sudah terintegrasi dengan OSS untuk data NIB,” kata Yanuar Arief.
Pengembangan SIHALAL itu, lanjutnya, juga akan terintegrasi dengan Lembaga Pemeriksa Halal atau LPH. “Pada akhir 2021 kita juga akan terintegrasi dengan beberapa marketplace di Indonesia seperti Tokopedia, Bukalapak, juga layanan digital LinkAja, dan lain sebagainya. Ini kita maksudkan agar pelaku usaha tak hanya semakin mudah untuk mengakses sertifikasi halal saja, namun sekaligus juga mendorong market produk UMK serta memperkuat pengembangan ekosistem halal kita,” pungkasnya.Kemenag.RI (***)