DI sebuah sudut pasar di Kabupaten Banyuasin, tepat di balik kios buah dan penjual cilok, berdirilah warung legendaris milik Bu Susi. Warung ini tidak hanya menjual kebutuhan harian, tetapi juga “antibiotik rasa permen” dan “lipstik merah marun tak berlabel.” Konon, warung ini lebih lengkap dari apotek dan lebih fleksibel dari klinik. Tak perlu antri, tak perlu resep. Cukup senyum dan uang pas.
Namun, kemarin, angin segar perubahan berembus dari Ruang Tamu Sekda Sumsel. Sekretaris Daerah Sumsel, H. Edward Candra, menerima audiensi Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Palembang, Yeni Ardianti.
Pertemuan itu membahas sesuatu yang jauh lebih penting daripada diskon lipstik yakni efektivitas pengawasan obat dan makanan di Sumsel.
Dalam laporan yang disampaikan, Yeni mengungkapkan hasil pengawasan tahun 2024 menunjukkan hal mencemaskan.
Sebanyak 79% obat antibiotik dijual tanpa resep dokter, obat tradisional dan kosmetik ilegal pun masih merajalela. Bahkan ada kosmetik yang lebih banyak mengandung zat pewarna ketimbang semangat cinta.
“Kami menemukan masih banyak produk yang beredar tanpa izin edar, masyarakat mudah mengakses antibiotik, padahal penggunaannya harus diawasi. Ini membahayakan kesehatan jangka panjang,” ujar Yeni.
Sekda Edward merespons dengan menyarankan adanya sinergi lebih erat antara BPOM dan pemerintah daerah. Ia menekankan pentingnya sosialisasi dan edukasi, karena, katanya.
“Masyarakat kadang tidak tahu bahwa yang mereka beli bisa berdampak buruk. Jangan sampai mereka jadi korban karena ketidaktahuan”.
Fenomena ini sebanarnya bukan sekadar soal pengawasan yang lemah, tapi juga cermin dari budaya kita suka yang instan, yang murah, dan yang praktis. Padahal, tubuh bukan eksperimen, dan wajah bukan kertas gambar, jika dibiarkan, kita sedang menanam bom waktu kesehatan nasional.
Bandingkan dengan Provinsi Jawa Tengah, yang sejak 2022 telah menerapkan edaran ketat untuk apotek agar tak menjual antibiotik tanpa resep. Hasilnya, dalam dua tahun terakhir, terjadi penurunan signifikan hingga 20% dalam penjualan antibiotik bebas.
Contoh lainnya datang dari Korea Selatan, di mana sistem e-resep digital membuat apotek langsung terhubung dengan rekam medis pasien, canggih, tertib, dan sulit dimanipulasi.
Mengapa Sumsel tak bisa seperti itu?, bisa, asal ada kemauan, regulasi saja tak cukup. Perlu pengawasan aktif, edukasi massif, dan tentu saja ketegasan.
Bu Susi & mimpi kita
Kisah Bu Susi bukan fiksi belaka, ia adalah simbol dari banyak warung di pedesaan yang karena kebaikan hati dan keluwesan bisnisnya, akhirnya terjerumus dalam jual beli produk tanpa izin.
Ia tidak jahat, hanya belum diberi pemahaman cukup, oleh sebab itu, BPOM dan pemerintah daerah perlu turun ke lapangan, tak hanya menindak, tapi juga mengedukasi.
Edukasi adalah vaksin terbaik melawan ketidaktahuan, dan pasar tradisional, seperti warung Bu Susi, bukan musuh, tapi mitra perubahan.
Kita sedang menata mimpi bersama dari warung kecil hingga kebijakan besar, dan mimpi itu sederhana rakyat sehat, produk aman, hukum ditegakkan, dan akal sehat dijaga.
“The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams” — Eleanor Roosevelt¹
Mari bermimpi, bahwa suatu hari nanti setiap antibiotik ditebus dengan resep, setiap kosmetik punya label BPOM, dan bahkan setiap kerupuk pun punya tanggal kedaluwarsa bukan cuma rasa.
¹Kutipan ini berasal dari salah satu pidato motivasional Eleanor Roosevelt yang sering dikutip ulang dalam berbagai buku pengembangan diri, termasuk “You Learn by Living: Eleven Keys for a More Fulfilling Life” (1960).[**]
Disclaimer: Nama tokoh dan tempat seperti “Bu Susi” dalam tulisan ini adalah ilustrasi fiktif untuk memudahkan pemahaman isu. Fakta dan data tetap merujuk pada laporan resmi BPOM dan Pemprov Sumsel.