KALAU boleh mau jujur, kadang hidup itu seperti papan tulis di ruang guru sering dihapus tapi tetap meninggalkan jejak. Begitulah kira-kira perasaan ribuan guru non-ASN binaan Kementerian Agama yang selama ini mengajar penuh semangat, walau dompet sering tinggal semangat doang.
Tapi mulai Januari 2025 lalu, angin segar mulai berembus dari gedung Kemenag. Tunjangan profesi mereka naik Rp500 ribu.
Mungkin bagi sebagian orang itu cuma setara dua porsi ayam geprek level 10 sebulan penuh. Tapi buat para guru honorer yang saban hari berangkat ngajar naik motor butut sambil nenteng map plastik isi RPP, ini bukan sekadar angka. Ini semacam pengakuan negara, bahwa perjuangan mereka ngajar dengan cinta tak bisa terus dibayar dengan doa dan senyuman siswa.
Uniknya, kenaikan ini dirapel sejak Januari 2025, jadi, jangan kaget kalau ada guru madrasah dadakan beli sepatu baru, atau ngajak istri makan bakso berkuah susu kambing, itu bukan bancakan menang pilkades, tapi efek rapelan TPG!
Bayangkan, ada 227.147 guru bukan ASN yang menikmati kebijakan ini, dari guru madrasah sampai guru agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, semua kebagian, karena Kemenag memang tidak diskriminatif. Yang penting satu punya sertifikat pendidik dan semangat ngajar yang tidak pernah kadaluarsa.
Selama ini, guru non-ASN sering dianggap “pemain cadangan” di dunia pendidikan. Tapi mari kita luruskan, mereka justru sering jadi pemain inti di medan nyata.
Mereka masuk ruang kelas dengan sepatu lusuh, tapi menyemai harapan segar. Mereka tak punya pangkat, tapi punya derajat di mata murid-muridnya. Maka, kenaikan tunjangan ini bukan hadiah, tapi utang keadilan yang baru mulai dicicil.
Sebagaimana pepatah tua bilang, “Bukan baju seragam yang bikin hormat, tapi ilmu dan akhlak yang ditanam tiap hari tanpa pamrih”.
Menag Nasaruddin Umar dengan tegas menyebut bahwa langkah ini bukan cuma soal uang, tapi bagian dari misi besar meningkatkan profesionalitas guru. Bahasa halusnya kalau udah digaji lebih, ya ngajar juga harus lebih greget.
Tak boleh lagi ada guru agama yang cuma berceramah dari buku fotokopian tahun 90-an. Harus ada kreativitas. Misalnya, ngajarin akhlak lewat TikTok edukatif, atau ngajarin toleransi lewat drama kelas mini yang bikin murid nangis dan mikir sekaligus.
Buat para guru non-ASN, ini momen yang pas untuk bangkit, bukan hanya menagih hak, tapi menebar manfaat lebih luas. Karena sejatinya guru bukan hanya profesi, tapi jalan sunyi menuju perubahan.
Kata pepatah Banjar “Guru itu ibarat pelita dalam gulita”. Dan kalau pelitanya makin terang karena ada tambahan minyak (alias tunjangan), masa iya malah makin temaram?
Kita salut pada kebijakan ini, tapi salut saja tak cukup, harus ada evaluasi berkala, harus ada pengawasan pencairan, dan harus ada pelatihan lanjutan agar guru-guru kita tak hanya sejahtera secara angka, tapi juga unggul secara kualitas.
Kalau dulu semangat mengajar disebut “panggilan jiwa”, kini semestinya “panggilan jiwa plus intensif berkala”.
Kita percaya, pendidikan bukan cuma urusan kurikulum dan anggaran. Tapi juga soal moral dan teladan, maka, ketika tunjangan guru non-ASN naik, semestinya semangat dan mutu pengajaran pun ikut naik. Jangan sampai kita bikin murid pintar matematika, tapi lupa cara jadi manusia baik.
Dan buat para guru tercinta, teruslah jadi pahlawan yang walau tak bersenjata, tapi mampu menaklukkan kebodohan, satu pelajaran, satu senyuman, dan satu tunjangan pada satu waktu.
“Ilmu yang diberi dengan ikhlas, tak pernah berhenti bekerja meski pengajarnya telah tiada” – Catatan Pinggir Papan Tulis
Kalau kamu suka tulisan ini, silakan sebar ke grup WA alumni, grup wali murid, atau kirim ke mantan yang dulu pernah kamu ajarin makna cinta lewat pelajaran Fiqih.[***]