Kebijakan

Satgas Truk Bertonase, Saatnya Tegas, Bukan “Tegas-Tegasan!”

ist

DI Palembang, persoalan truk bertonase besar bukan lagi sekadar urusan pintu masuk dan pintu keluar kota. Ini masalah lama yang setiap tahun berputar seperti kaset dangdut lawas, diputar terus, tapi solusi tak pernah benar-benar tuntas.

Bukan rahasia lagi, kondisi jalan kota makin hari makin memprihatinkan. Jalan tambal sulam nggak mulus lagi, bahkan banyak miring, ada juga yang berlubang, aspal menggembung, marka putus, dan warga dipaksa menghafal jalur alternatif lebih banyak dari hafalan PPKM tempo hari.

Semua akar masalahnya hampir selalu kembali pada satu hal kendaraan bertonase besar yang bebas melenggang tanpa kendali.

Karena itu, rapat tindak lanjut yang dipimpin Sekda Aprizal Hasyim layak diapresiasi. Namun apresiasi saja tidak cukup. Yang dibutuhkan warga Palembang saat ini bukan pertemuan rutin, bukan rencana manis, bukan pula kalimat ‘akan kita tindak lanjuti’, tetapi ketegasan yang konsisten, bukan tegas-tegasan yang hanya berbunyi di podium.

Perwali No. 26/2019 yang membatasi jam operasi kendaraan berat sebenarnya sudah jelas truk hanya boleh lewat pukul 21.00–06.00. Tetapi, aturan yang jelas tidak akan berarti apa-apa, jika pengawasan di lapangan masih memiliki banyak celah dan portal-portal yang dipasang masih terlalu sering kalah oleh truk yang ukurannya seperti rumah minimalis.

Portal rusak bukan sekadar kerusakan benda, tetapi simbol dari rusaknya kepatuhan. Portal rapuh itu mewakili banyak hal, lemahnya disiplin sopir, kurangnya pengawasan, dan minimnya efek jera. Bahkan portal yang dipasang sebagai pembatas kerap menjadi korban ditabrak, didorong, atau dianggap dekorasi belaka.

Dishub dan kepolisian memang sudah memasang pos jaga di beberapa titik. Namun pertanyaan kuncinya tetap sama yaitu apakah penjagaannya benar-benar efektif, atau hanya kegiatan seremoni sesaat?

Karena di lapangan, warga masih melihat truk besar mondar-mandir di jam-jam sibuk dan tidak sedikit yang berdalih “cuma menerus”, seperti pengunjung yang mengaku hanya numpang lewat padahal membawa seluruh isi rumah.

Ujntuk itu, dalam kondisi ini, pembentukan satgas lintas instansi adalah langkah yang tepat, bahkan mendesak. Tetapi satgas hanya akan menjadi nama indah di papan rapat kalau tidak dibekali dua hal, yaitu  wewenang penuh dan keberanian menindak tegas.

Ada satu pepatah lama yang kembali terasa relevan. “Jalan rusak bukan karena hujan, tapi karena aturan yang setengah dijalankan”

Palembang harus belajar dari pepatah itu. Ketika aturan hanya dijalankan separuh, maka kerusakan akan datang seutuhnya.

Dirlantas Polda Sumsel pun telah mengusulkan pemasangan CCTV di portal, langkah yang sangat diperlukan untuk menindak pelanggaran secara objektif. CCTV bukan hanya alat rekam, tetapi alat kontrol. Pelanggar tidak lagi bisa beralasan, dan aparat bisa bekerja dengan bukti yang kuat.

Kini bola ada di tangan pemerintah kota apakah Palembang benar-benar ingin menegakkan aturan, atau hanya ingin terlihat seperti menegakkan aturan?

Jadi, Kota ini sebenarnya sudah terlalu lama membayar mahal, rakyatnya juga udah capek mengeluh.. jalanan rusak, kemacetan yang makin parah, dan hanya memindahkan kemacetan jalan, risiko kecelakaan yang terus mengintai, waktu warga yang terbuang, dan kepercayaan publik yang perlahan terkikis.

Warga tidak menuntut hal muluk. Mereka hanya ingin kota yang aman, jalan yang layak, dan pemerintah yang berjalan lurus seperti yang mereka janjikan.

Keselamatan warga

Jika butuh rujukan, Palembang tidak perlu malu belajar dari kota lain contoh aja Tokyo, Jepang, kota ini  sudah puluhan tahun membatasi truk berat hanya lewat pada jam tertentu, dengan sistem logistik yang begitu rapi hingga keterlambatan lima menit saja dianggap aib nasional.

Singapore juga menerapkan zona larangan truk besar di jam sibuk, diawasi CCTV penuh, pelanggar langsung kena denda yang lebih sakit daripada patah hati.

Sementara di Munich, kendaraan bertonase besar dilarang masuk pusat kota, mereka diarahkan ke ring road yang memang dirancang untuk menahan beban. Bahkan Seoul menggunakan sistem izin elektronik yang otomatis menolak truk masuk bila bukan pada jam operasional.

Artinya apa? Kota-kota itu maju bukan karena teknologinya saja, tetapi karena aturan ditegakkan tanpa kompromi. Mereka tidak ‘tegas-tegasan’ mereka ya..memang tegas yang sesungguhnya, gak pake sandiwara atau pun drama-dramaan.

Oleh karena itu, pembentukan satgas adalah awal yang baik. Tapi awal tidak ada artinya tanpa tindak lanjut yang nyata. Ketegasan bukan diukur dari seberapa keras pejabat berbicara di rapat, tetapi seberapa konsisten aturan ditegakkan di lapangan.

Kini saatnya Palembang membuktikan bahwa dirinya bukan kota yang takut pada truk bertonase besar, melainkan kota yang berdiri tegak menegakkan aturan untuk keselamatan warganya.

Ingat! tegas itu tindakan, bukan sekadar nada bicara, dan Palembang membutuhkan itu sekarang bukan nanti, bukan besok, bukan setelah portal kembali tumbang.[***]

Terpopuler

To Top