Kebijakan

“Putusan MK ke PR Nasional, Pendidikan Gratis Jangan Sekadar Sekolah Bayangan”

ist

Sumselterkini.co.id, – Sumatera Selatan itu kalau soal pendidikan, ibarat emak-emak yang duluan nyicil panci sebelum tetangganya sadar pentingnya masak sendiri. Jauh sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) ribut soal wajib belajar gratis di sekolah swasta, Sumsel sudah pasang spanduk besar duluan “Sekolah Negeri Gratis, Coy!”, itu di era Gubernur Alex Noerdin, dan sebelumnya jadi Gubernur dua periode, disuarakan juga ketika menjadi Bupati Muba.

Bahkan saat itu, program yang dulu dianggap nekat, sebaliknya malah jadi panutan. Nah, sekarang MK datang membawa putusan yang lebih mulia dari khutbah Jumat sekolah swasta pun kudu digratiskan dalam rangka wajib belajar sembilan tahun. Tapi tunggu dulu, ini sekolah atau sumbangan? Swasta itu dikelola yayasan, bukan anak kandung APBD. Kalau niatnya baik tapi perhitungan anggaran kosong, bisa-bisa yang gratis cuma papan namanya, sisanya gelap gulita.

Bahkan wajib belajar gratis berlaku di sekolah swasta itu akan menimbulkan pertanyaan juga. bisakah mimpi ini dilaksanakan tanpa bikin kepala sekolah mendadak migrain, bendahara sekolah merapal mantra anggaran, dan orang tua murid bingung harus syukuran atau curiga?.

Dalam reses Komisi X DPR RI di Palembang akhir bulan kemarin, Gubernur Sumsel H. Herman Deru,  melempar satu pertanyaan “Bagaimana teknisnya sekolah swasta bisa gratis, sedangkan mereka bukan lembaga yang dibiayai APBD secara langsung?”

Pertanyaan ini bukan sekadar formalitas, tapi bisa jadi isyarat bahwa “sekolah gratis” versi MK akan berujung jadi “sekolah gratisin mimpi”, kalau tidak dibarengi dengan regulasi yang pas, dan tentu saja… anggaran yang jelas. Karena kita semua tahu, sekolah itu butuh listrik, bukan lilin. Butuh guru yang digaji, bukan yang cukup dibayar dengan ucapan “terima kasih”.

MK lewat putusan uji materi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memang tampak heroik. Seolah ingin menegaskan bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab juga berlaku di pagar sekolah swasta. Tapi mari kita turunkan sedikit ke bumi. Apakah negara sudah siap membayar subsidi silang ke sekolah-sekolah swasta yang selama ini hidup dari keringat iuran, donasi, dan kadang-kadang, proposal berlapis ke sponsor?

Kalau tidak, bisa jadi ini seperti pepatah lama “Tangan menulis kebijakan, dompet tak sanggup mengiringi”. Kalau sekolah swasta disuruh gratis tapi dananya nggak jelas, ini seperti orang disuruh bikin sate kambing, tapi kambingnya disita koperasi. Gubernur benar perlu ada produk hukum lanjutan, jangan semua dilempar ke daerah, sementara nantinya pusat hanya bersilat kata.

Dulu, program sekolah gratis di Sumsel dijalankan dengan kombinasi anggaran BOS, APBD, hingga kebijakan pembebasan pungutan-pungutan siluman. Tapi semua itu bisa terjadi karena adanya “political will” dan perencanaan matang. Kalau hari ini sekolah swasta diwajibkan gratis tanpa kompas anggaran, bisa-bisa yayasan pendidikan hanya punya dua pilihan tutup kelas atau jual aset.

Tokoh Dunia Nelson Mandela bilang“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world”. [“Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk mengubah dunia”].

Kalimat ini diucapkan Nelson Mandela, dalam pidatonya di Madison Park High School, Boston, pada 23 Juni 1990. Mandela menekankan pentingnya pendidikan sebagai alat untuk memberdayakan generasi muda dan membentuk masa depan yang lebih baik. Betapa pentingnya pendidikan sebagai alat perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Bukan senjata dalam arti kekerasan, tapi dalam arti kekuatan pengetahuan dan wawasan yang bisa membentuk masa depan, mengangkat kehidupan, dan memperbaiki sistem.

Tapi Mandela nggak pernah bilang senjata itu bisa digratiskan tanpa biaya produksi. Bahkan di negara-negara dengan sistem pendidikan maju seperti Finlandia dan Norwegia yang semuanya gratis, pemerintah menggelontorkan dana besar sebagai kompensasi. Bukan sekadar janji kampanye atau putusan pengadilan.

Ngasih pendidikan tanpa modal itu kayak suruh nelayan nangkap ikan tapi perahunya cuma ban bekas. Jadi kalau negara mau nyuruh sekolah swasta gratisan, ya harus siap ngisi amunisinya juga. Jangan senjata pendidikan dibagi, tapi pelurunya cuma harapan kosong dan proposal yang nggak cair-cair.

Di Indonesia, UU Sisdiknas memang menjamin pendidikan dasar gratis. Tapi tidak ada detail eksplisit soal kewajiban negara membiayai sekolah swasta secara total. Ini PR besar yang harus dibuka, bukan disembunyikan di balik putusan manis.

Ada beberapa Negara yang menangani pendidikan swasta dengan realistis, seperti Belanda, sekolah swasta diberi subsidi penuh, tapi dengan kontrol kurikulum yang ketat dari negara, Malaysia ada sekolah swasta dengan dana negara, tapi hanya yang masuk kategori sekolah jenis kebangsaan alias punya nilai strategis nasional, India, beberapa sekolah swasta wajib menerima siswa dari keluarga miskin tanpa pungutan, tapi pemerintah memberikan reimbursement alias dana ganti.

Lah, Indonesia? Ya masih sibuk tanya-tanya dan berharap bisa jalan sendiri, kayak mau naik gunung tapi nggak bawa air minum. Putusan MK ini memang  mulia, dan menunjukkan keberpihakan pada rakyat, tapi jangan sampai berakhir jadi kisah “keadilan yang menyesatkan praktik lapangan”. Kalau daerah diminta menanggung semua, tanpa skema kompensasi, ya siap-siap saja sekolah swasta jadi “museum pendidikan” indah tapi tak bisa difungsikan.

Sumsel, yang punya sejarah panjang jadi pelopor sekolah gratis, harus bersuara lebih nyaring di Jakarta, karena percuma kita punya seribu putusan mulia kalau pada akhirnya anak-anak malah bingung sekolah gratis tapi sekolahnya tutup.

Sekolah bukan warung kelontong. Ia tidak bisa tiba-tiba digratiskan tanpa pembiayaan, dan guru bukan relawan dadakan yang tahan hidup hanya dari idealisme. Negara harus hadir, bukan sekadar hadir di putusan pengadilan, tapi hadir juga di buku kas sekolah.

Kunci perubahan

Pendidikan itu memang kunci perubahan. Tapi kunci itu takkan bisa buka pintu masa depan kalau lubangnya disumpal tumpukan utang janji politik. Putusan MK yang mewajibkan pendidikan wajib belajar sembilan tahun digratiskan di sekolah swasta tentu niatnya mulia, seperti niat orang buka puasa pakai kurma, bukan gorengan. Tapi kalau niat tak didukung modal, bisa-bisa malah jadi musibah berkedok cita-cita.

Sekolah swasta itu berdiri bukan karena kelebihan tanah atau listrik, mereka berdiri karena keprihatinan, semangat, dan idealisme para pendiri yayasan yang ingin mencerdaskan anak bangsa, meski kadang harus maklum tak digaji tiga bulan.

Mereka bukan cabang Kementerian, bukan pula waralaba APBN. Kalau negara ingin swasta ikut gerbong sekolah gratis, ya jangan cuma dikasih toa dan spanduk. Dikasih juga subsidi yang sehat, regulasi yang masuk akal, dan perlindungan dari tuntutan tak berdasar.

Pepatah lama bilang, “Dimana ada kemauan, di situ ada jalan”. Tapi di negeri +62, sering kejadian “Dimana ada keputusan, di situ ada kebingungan”.

Semua pihak akhirnya geleng-geleng, dari guru sampai bendahara yayasan. Negara harus hadir tak hanya dengan pidato dan putusan, tapi juga dengan anggaran yang jelas dan konsisten, bukan tiba-tiba nongol di akhir tahun anggaran sambil bilang, “loh, belum cair ya?”

Negara-negara seperti Finlandia, memang sukses dengan pendidikan gratis dan merata. Tapi ya itu tadi gratis di sana bukan berarti asal lempar wacana, tapi disiapkan dari sistem sampai sendok makan anak TK. Mereka bangun kualitas guru, fasilitas, kurikulum, hingga nutrisi, bukan sekadar bagi-bagi seragam saat musim kampanye.

Indonesia bisa meniru. Tapi meniru yang cerdas, bukan sekadar ikut-ikutan bikin aturan tanpa mikirin pelaksanaan. Jangan sampai kita malah nyebarin “senjata pendidikan” seperti kata Mandela, tapi pelurunya cuma proposal kosong dan dana hibah yang datangnya telat kayak sinyal di pelosok.

Maka, kalau negara ingin pendidikan jadi senjata pamungkas perubahan, jangan suruh rakyat megang pedang dari plastik. Kasih kami pedang baja dari kebijakan yang adil, anggaran yang real, dan keberpihakan yang bukan sekadar manis di bibir pas sidang reses. Karena anak-anak tak bisa menunggu, dan masa depan tak bisa ditulis dengan spidol yang tintanya kering karena menunggu dana BOS cair.

Mari kita kawal mimpi ini agar tak jadi sekadar fatamorgana di tengah padang pasir pendidikan Indonesia. Atau, seperti kata anak-anak zaman now, jangan sampai gratisnya dapat, gurunya kabur.[***]

Terpopuler

To Top