Kebijakan

“Ketika Alam Disuruh Bangun Sendiri, Tapi Manusia Masih Ngorok”

ist

Sumselterkini.co.id, – Kalau ekosistem bisa ngomong, mungkin lahan gambut dan bekas tambang di Sumatera Selatan sudah teriak-teriak minta tolong sambil pegang papan bertuliskan “Kami bukan tempat main monopoli!”.

Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, belum lama ini blusukan ke Sumatera Selatan. Tapi ini bukan blusukan ala politisi menjelang pemilu yang bawa cangkul buat foto doang. Pak Menteri datang beneran, nyemplung ke Desa Jadi Mulya (OKI), ngecek Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG), lalu loncat ke Muara Enim ngecek lahan pascatambang yang katanya mau direklamasi tapi nyatanya masih kayak bekas ulangan anak SMA banyak yang bolong.

Nah, ini yang menarik. Di satu sisi, masyarakat diajak jaga gambut, diajak nanem, nyiram, jagain kelembapan lahan. Bagus! Rakyat dikasih peran jadi ‘Bodyguard Ekosistem’. Tapi di sisi lain, ada perusahaan tambang yang abis garuk-garuk isi perut bumi, lalu tinggalin lahan bekas seperti mantan ninggalin chat nggak dibalas.

Pak Menteri bilang ada 400–500 hektare lahan bekas tambang PT Musi Prima Coal yang belum direklamasi. Itu setara 700-an lapangan bola! Gede. Kalau mau dijadikan taman kota, bisa bikin healing massal satu provinsi. Tapi nyatanya, lahannya masih bolong-bolong kayak jalan di kampung pas musim hujan.

Kalau negara lain, urusan beginian nggak main-main. Lihat aja Kanada. Di sana, setiap perusahaan tambang wajib punya Reclamation Plan sebelum mulai nambang, dan harus nyetor dana jaminan pemulihan dulu, bukan nanti-nanti pas sudah mau kabur.

Di Finlandia, perusahaan tambang juga nggak bisa main lari-lari manja. Negara mewajibkan perusahaan bertanggung jawab sampai tanah bisa ditanami kembali atau dijadikan ekowisata. Di kita? Kadang tanggung jawabnya kayak status hubungan “ini masih tanggung atau sudah bubar?”

Lucunya, kadang perusahaan tambang ini malah ngerasa lahan pascatambang itu bakal sembuh sendiri. Kayak luka disiram minyak angin. Padahal, lahan rusak itu nggak bisa disembuhin cuma pakai doa dan plester daun sirih. Harus ada langkah konkret, dana real, dan niat yang nggak PHP.

Makanya, pernyataan tegas Pak Hanif soal sanksi patut diapresiasi, tapi jangan cuma berhenti di ancaman. Kalau cuma ancaman tanpa tindakan, perusahaan akan pikir ini cuma sinetron. Dikasih deadline, disanksi administrasi, eh ujung-ujungnya nongkrong bareng di acara seremoni ulang tahun dinas.

Perlu juga kita pertanyakan kok bisa ada ratusan perusahaan tambang yang belum reklamasi? Ini kayak punya 100 utang tapi lupa bayar semua. Apa fungsi pengawasan daerah? Kenapa bisa kecolongan terus? Apa memang sudah kebal terhadap laporan?

Pak Herdi dari DLHP Sumsel sih bilang, “Selama ini kami cuma bisa kasih peringatan.” Lah, itu kayak satpam pasar yang cuma bisa ngomel ke maling tapi nggak bisa nangkap. Kita butuh otoritas daerah yang bisa garang seperti kucing kalau ada ikan asin dicolong.

Intinya begini jangan cuma masyarakat kecil yang disuruh jaga alam. Perusahaan gede juga harus ditarik kupingnya. Kalau masyarakat jadi penjaga, perusahaan harus jadi penanggung jawab. Bukan malah sebaliknya.

Dan satu lagi, mari kita revisi definisi “pembangunan berkelanjutan”. Jangan sampai artinya berubah jadi “bangun-nya terus, pulih-nya belakangan”. Kalau kita mau Indonesia tetap hijau bukan cuma di peta, tapi juga di lapangan, ya semua pihak harus kerja nggak bisa cuma nungguin alam pulih sendiri kayak luka hati pas ditinggal mantan.

Mari kita jaga gambut dengan semangat gotong royong, dan tuntut pertambangan dengan aturan yang nggak bisa dinego. Jangan sampai desa-desa sudah rajin siram gambut, tapi korporasi masih hobi tinggalin bekas tambang kayak eks pacar bikin trauma lingkungan.

Perlindungan lingkungan tak bisa dijalankan dengan pola timpang masyarakat disuruh gotong royong jaga gambut, sementara perusahaan tambang tinggalin lahan rusak seenaknya. Model pengelolaan berbasis masyarakat seperti DMPG layak diperluas, tapi harus diiringi dengan penegakan hukum tegas pada pelaku kerusakan lingkungan—terutama korporasi yang hobi garuk, lalu kabur.

Reklamasi bukan pilihan, tapi kewajiban. Pemerintah daerah dan pusat perlu bersinergi bukan cuma dalam ucapan, tapi dalam tindakan yang konkret. Kalau negara lain bisa menerapkan sistem tanggung jawab lingkungan yang ketat, kenapa kita masih mentolerir pembiaran? Sudah saatnya hukum lingkungan kita berhenti jadi macan ompong. Biar lahan pulih, bukan malah makin hancur karena manusia yang sibuk berdalih.[***]

Terpopuler

To Top