Kebijakan

KERJASAMA ANTAR NEGARA : Industri 4.0, Sawit & Obrolan Serius Sambil Garuk Kepala

ist

(Indonesia-Belarus dan Diplomasi Dagang yang Nggak Boleh Ngasal)

Di tengah riuhnya jagat diplomasi global, ada satu pertemuan yang bikin kita mikir “Ini serius atau semi ngelucu ya?”. Bayangin, dua negara beda zona waktu, beda musim, beda menu sarapan, tapi bisa duduk bareng ngomongin industri, sawit, dan mesin pertanian. Iya, ini kisah Indonesia dan Belarus yang baru aja ngopi bareng buat ngebahas masa depan bareng-bareng.

Presiden Prabowo udah duluan bertandang ke Minsk, Belarus, ketemu Presiden Aleksandr Lukashenko. Nggak buat wisata kuliner borscht (sup bit khas sana), tapi buat ngebahas hal-hal berat kayak perdagangan, industri, dan kebutuhan strategis. Di level negara, ini kayak ngobrol serius sambil main catur satu gerakan salah, bisa batal ekspor.

Tapi yang seru dimulai ketika Menteri Perindustrian, Pak Agus Gumiwang, ketemu Menteri Luar Negeri Belarus, Maxim Ryzhenkov. Pertemuan mereka di Jakarta ini kayak acara temu keluarga antara calon besan bicarain masa depan, siapa bawa apa, dan mau tinggal di mana. Bedanya, ini bukan soal mantu, tapi soal otomotif, biofuel, dan pabrik-pabrik masa depan.

“Ini hal yang segar,” kata Pak Menperin.
Ya, segar, Pak. Soalnya jarang-jarang ada momen kita ngobrolin Industri 4.0 sambil mikirin sawit, traktor (eh, maaf, janji tadi nggak nyebut!), dan potensi ekspor ke Eurasia.

Belarus ini memang bukan negara yang nongol tiap hari di FYP kita. Tapi di dunia industri, dia punya taji. Apalagi soal alat berat dan mesin pertanian. Bener-bener negara yang kalau ngomong industri, nggak cuma teori doang, dan menariknya, hampir semua manufaktur mereka itu BUMN. Jadi negonya bisa langsung pemerintah ke pemerintah. Nggak perlu nunggu tender rasa tebak-tebakan.

Nah, dari pertemuan itu, lahirlah wacana pembentukan joint economic committee, alias komite khusus yang bakal ngurus kerja sama industri. Namanya panjang Sub-Joint Committee on Industry, kalau dijadiin singkatan, bisa bikin pusing anak magang.

Tapi intinya satu Indonesia siap ekspansi, produk kita, dari sawit sampai komponen otomotif, bisa masuk pasar Eurasia lewat pintu Belarus.

Cuma ya itu, saat target perdagangan lima kali lipat dalam dua tahun dilontarkan, sebagian pejabat langsung garuk kepala. Bukan karena ketombe, tapi karena mikir “Strateginya gimana, Pak?”.

Nah, di sinilah tantangan dimulai. Bukan soal niat, tapi soal eksekusi, kerja sama antarnegara itu kayak buka warung padang di luar negeri. Lauknya enak, tapi kalau salah pilih lokasi dan promo, bisa zonk. Maka, Indonesia butuh strategi riset pasar, diplomasi aktif, dan yang paling penting jangan PHP-in komitmen dagang.

Kerja sama industri itu bukan soal seremoni dan selfie di Forum Internasional, tapi soal tekad buat kerja bareng, keluarin jurus terbaik masing-masing, dan jangan malu belajar dari negara yang kelihatannya anteng tapi ternyata cekatan kayak Belarus.

Kalau memang serius mau jadi pemain besar di pasar global, ya jangan cuma andelin bahan mentah. Naik kelas dong, ekspor produk jadi. Dan kalau bisa, jangan cuma ngobrolin Industri 4.0 sambil garuk kepala, tapi sambil bawa pulang MoU juga.

Kalau kata pepatah, “Tak kenal maka tak ekspor”
Dan kalau cuma kenal tapi nggak follow up, ya… hubungannya bakal kayak chat WhatsApp yang centang biru tapi dibaca doang.

Kerja sama industri Indonesia Belarus ini ibarat gorengan tahu isi: kelihatannya kecil, tapi dalamnya bisa bikin kenyang. Mulai dari potensi joint venture, ekspansi pasar Eurasia, sampai bumbu Industri 4.0, semuanya ada. Tapi ya itu, harus dimasak dengan strategi matang, bukan pakai bumbu instan penuh harapan palsu.

Jangan sampai pertemuan demi pertemuan cuma jadi kalender diplomasi tahunan, harus ada output nyata pabrik berdiri, ekspor jalan, dan pelaku industri kita naik level. Belarus udah nunjukin sinyal lampu hijau, tinggal Indonesia jangan kelamaan di parkiran.

Jadi, mari kita sudahi obrolan panjang ini dengan satu niat mulia. Jangan cuma garuk kepala, tapi juga gerak langkah!, sebab di dunia industri global, yang diam terlalu lama biasanya cuma jadi penonton. Dan kita, bangsa ini, sudah terlalu lama punya potensi tapi malu-malu nunjukin ke dunia.

Saatnya buka pintu ekspor lebih lebar, bawa produk lokal ke kancah internasional, dan tunjukkan bahwa Indonesia bukan cuma jago dagang di pasar malam, tapi juga siap bersaing di pasar Eurasia.
Dengan mitra seunik Belarus, siapa tahu justru langkah besar dimulai dari pertemuan yang awalnya cuma ngopi sambil senyum malu-malu.[***]

Terpopuler

To Top