KATANYA, hutan adalah paru-paru dunia, tapi kalau setiap hari disuruh ekspor oksigen dan impor kayu terus, lama-lama bisa jadi paru-paru bolong!. Jangan-jangan nanti hutan Indonesia bukan lagi tempat bernaung burung rangkong dan orangutan, tapi cuma jadi showroom belaka dipajang, difoto, lalu ditebang diam-diam sambil nyanyi lagu nostalgia “Kenangan Terindah…”.
Nah, kemarin itu Menteri Kehutanan, Bang Raja Juli Antoni yang gayanya kayak dosen filsafat tapi ngomongnya kayak lagi stand-up comedy menyatakan komitmennya mendukung deregulasi impor produk kehutanan. Katanya ini demi memudahkan investasi, membangun lapangan kerja, dan memberi kepastian hukum.
Tapi sabar dulu, Pak Menteri, deregulasi ini bahan baku lho, kayu log, kayu lapis, peti kayu. Bukan kayu bakar buat bakar jagung di pos ronda. Kita dukung niat baik itu. Tapi jangan sampai kebijakan ini malah bikin hutan dijadikan salon cukur oleh para cukong. Dikit-dikit dirapihin, ujung-ujungnya botak semua. Pepatah bilang “Karena nila setitik, rusaklah belantara seluas rimba”.
Kita paham, sebagian kayu impor itu penting. Industri mebel butuh bahan, tukang kayu butuh papan. Pengrajin butuh triplek, jangan-jangan nanti pengusaha sawmill lokal malah gigit papan, lantaran kalah bersaing sama barang impor yang masuknya udah kayak tamu tak diundang, nggak perlu PI (Persetujuan Impor), tinggal cus!.
Analoginya gini, Masbro dan Mbakbro, punya kolam ikan lele di belakang rumah, terus karena alasan “efisiensi,” kita impor lele dari Vietnam. Lama-lama kolam sendiri kering, pemilik tambak jadi tukang ojek online. Nah, masa iya hutan kita dibiarkan bernasib kayak kolam lele itu?, pepatah lama di pedalaman mengatakan “Kayu yang baik tidak takut gergaji, tapi takut dilegalkan tanpa logika”.
Coba tengok ke Finlandia, di sana, pohon ditanam kayak orang ternak sapi, dipelihara, dihitung pertumbuhannya, dan ada waktu panennya. Hasilnya?,industri kehutanan mereka sehat, lingkungan tetap lestari, bahkan jadi ekspor unggulan.
Atau Jepang, negeri ini punya prinsip “menanam lebih dulu sebelum menebang”. Nggak ada ceritanya tebang dulu baru cari dalih. Di Indonesia?, kadang tanam alasan dulu, baru tebang hutan belakangan.
Kalau deregulasi ini nggak dikawal ketat, bisa jadi kita cuma jadi pasar doang. Hutan kita tinggal cerita, kayu malah datang dari negeri seberang. Lalu rakyat cuma bisa nonton mebel buatan Vietnam, kayu dari Brasil, sedangkan hutan kita dijadikan eco-tourism oleh investor luar, tapi tukang becaknya tetap orang lokal yang nariknya sambil ngeluh. “Dulu di sini hutan, sekarang perumahan…”
Kalau niatnya ingin investasi dan lapangan kerja, pastikan deregulasi ini gak jadi jebakan batman, legalitas kayu harus jelas. Jangan sampai semua kayu dianggap legal asal bisa dandan dan berdasi.”Kayu lapuk pun bisa berguna, asal tidak jadi tempat tikus bersarang”,kata pepatah.
Pak Menteri dan Pak Mendag, rakyat Indonesia bukan anti impor, tapi jangan karena ingin cepat, kita lupa hati-hati. Hutan kita bukan hanya kumpulan batang kayu, tapi rumah bagi berjuta makhluk hidup, termasuk manusia yang hidup dari hasil hutannya.
Deregulasi boleh, asal jangan dereguk-rasa. Jangan sampe rasa cinta kita pada hutan jadi pudar, karena lebih gampang impor ketimbang nanam. Ingat, anak cucu kita nggak bisa main petak umpet di pabrik plywood.
Jadi, kalau mau deregulasi, ayok kita pastikan hutan tetap lestari, ekonomi jalan, dan rakyat bahagia. Jangan sampai kita semua dikibuli oleh kayu. Karena kalau salah arah, nanti bukan hutan yang jadi investasi, tapi kita semua yang jadi korban deforestasi!
Hutan itu bukan cuma tempat jin buang anak, tapi tempat kita buang penat. Maka jagalah, sebelum tinggal catatan sejarah di buku SD.[***]