Kebijakan

CCTV, Jaksa & Nasib Nelayan

KKP

PROGRAM Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP) tengah dibangun Kementerian Kelautan dan Perikanan di 65 lokasi dengan anggaran Rp 1,34 triliun tentu terdengar ambisius. Fasilitas yang dijanjikan, mulai dari dermaga, cold storage, pabrik es, hingga sentra kuliner, seolah jadi jawaban atas berbagai persoalan klasik sektor perikanan.

Namun, justru mencuri perhatian adalah metode pengawasan, pemasangan CCTV di tiap titik, keterlibatan konsultan pengawas, tim khusus, sampai dukungan Jaksa Agung Muda Intelijen. Pertanyaan pun muncul, mengapa sebuah program pembangunan harus dikawal dengan perangkat seketat itu?. Apakah ini cermin keseriusan menjaga uang rakyat, atau sinyal bahwa sistem pengelolaan masih rapuh sejak awal?.

Cerita ini bisa dilihat seperti sebuah kapal besar yang hendak dilayarkan, kapal telah dirancang megah, namun nakhodanya belum tentu punya peta yang jelas. Pemasangan CCTV dan sinergi dengan penegak hukum ibarat menaruh mercusuar di dek kapal, sangat berguna untuk melihat bahaya dari jauh, tetapi mercusuar tak dapat menggantikan nakhoda yang trampil, awak yang terlatih, atau bahan bakar yang cukup.

Pepatah mengatakan, “lebih baik mencegah daripada mengobati”, dan pengawasan ketat memang wujud pencegahan. Namun pencegahan yang benar haruslah menyertakan desain kelembagaan yang membuat masyarakat pesisir jadi pemilik dan penjaga fasilitas itu bukan sekadar objek yang diawasi.

Ada sisi positif yang tak boleh diabaikan, KKP tak hanya membangun infrastruktur fisik, dermaga, pabrik es, sentra kuliner, tetapi juga membangun bale nelayan dan menerapkan pendekatan social engineering. Itu berarti ada niat untuk meningkatkan kapasitas manusia, bukan hanya menumpukkan beton.

Kalau bale nelayan benar-benar difungsikan sebagai pusat pelatihan, manajemen koperasi, dan pengaktifan ekonomi lokal, maka proyek ini berpotensi mengubah kehidupan ribuan keluarga, program ini diproyeksikan menyerap 7.000 tenaga kerja. Namun hati-hati air tenang menghanyutkan. Tanpa skema pemeliharaan jangka panjang, tanpa dana operasi, tanpa akses pasar yang nyata, fasilitas canggih bisa menjadi monumen mati.

Level Jamintel?

Mengapa sebuah program pembangunan harus diawasi sampai level Jamintel?, jawabannya mungkin sederhana karena proyek bersumber dari APBN dan potensi kebocoran nyata. Tetapi fokus berlebih pada aparat penegak hukum sebagai solusi bisa menyuburkan kultur pengawasan ketimbang budaya kepemilikan.

CCTV membantu transparansi visual memang kunci, tetapi bila hanya dipakai untuk “menangkap” penyimpangan, bukan mencegahnya lewat desain kelembagaan yang baik, hasilnya kurang optimal. Dalam konteks ini pepatah “bagai padi, semakin berisi semakin merunduk” relevan, keberhasilan proyek harus membawa kebijakan yang merendah, mendengar, dan menempatkan nelayan sebagai pelaku utama, bukan objek panggung.

Analisa mendalam menuntut perhatian pada beberapa titik krusial. Pertama, operational expenditure, siapa yang akan mengurus listrik, perawatan mesin, dan operator cold storage di tahun-tahun berikut?, Kedua, skema kepemilikan dan pengelolaan, apakah fasilitas dikelola oleh koperasi nelayan, BUMDes, atau diserahkan pada swasta?, keputusan ini menentukan distribusi manfaat. Ketiga, akses pasar dan rantai dingin, fasilitas tanpa akses ke pembeli yang adil atau kontrak off-taker adalah gudang yang menyimpan potensi kerugian. Keempat, penguatan kelembagaan lokal, pelatihan bukan sekadar sekali harus ada inkubasi bisnis, literasi keuangan, dan asistensi manajerial.

Solusi praktis tidak rumit, alokasikan bagian dari anggaran pembangunan untuk dana pemeliharaan tahunan, tetapkan model pengelolaan berbasis koperasi dengan perjanjian operasional yang jelas, buka portal transparansi publik yang menayangkan progres dan anggaran (CCTV bisa menjadi bagian dari portal itu, bukan alat pengintai tersembunyi), dan rancang program pelatihan berkelanjutan yang menghubungkan nelayan ke pasar modern, misalnya kontrak dengan jaringan ritel atau ekspor.

Media dan masyarakat sipil harus diberi akses untuk menjadi pengawal publik tak kenal maka tak sayang, keterbukaan membangun kepercayaan, dan kepercayaan adalah modal utama pembangunan berkelanjutan.

Oleh sebab itu, KNMP berpotensi menjadi kebangkitan bagi masyarakat pesisir jika pengawasan disandingkan dengan pemberdayaan. CCTV dan keterlibatan penegak hukum menandakan adanya niat kuat untuk mencegah kebocoran anggaran, itu baik. Namun tanpa strategi jangka panjang yang menempatkan nelayan sebagai pemilik, risiko proyek berakhir menjadi monumen yang tak pernah berfungsi akan nyata.

Seperti pepatah, “sedia payung sebelum hujan”, siapkan juga skema pemeliharaan dan kelembagaan sebelum fasilitas selesai dibangun. Pemerintah telah menaruh nama Merah Putih pada proyek ini, biarkan bendera itu bukan sekadar hiasan di papan nama, melainkan lambang kedaulatan ekonomi yang dirasakan di meja makan nelayan.

Jika pemerintah, penegak hukum, media, dan komunitas lokal bergerak bersama, bukan hanya mengawasi tapi mendampingi, maka CCTV akan menjadi saksi kebangkitan, bukan tanda kecurigaan. Dalam soal ini, tindakan sehari-hari lebih bermakna daripada sorotan kamera semata.[***]

Terpopuler

To Top