Kebijakan

“Aturan Tegas atau Macan Kertas di Jalan Protokol”

ist

DI Kota Palembang, truk dan kontainer itu ibarat tamu tak diundang yang sering datang sebelum waktunya, misalnya saja, jam pulang kerja orang kota baru selesai bermacet ria, tiba-tiba muncul truk besar merayap di jalan protokol. Lengkap sudah penderitaanm klakson bersahutan, jalan menyempit, bahkan kadang bahu jalan jadi garasi dadakan.

Wali Kota Ratu Dewa sudah bersuara lantang “Kami akan revisi Perwali No. 20 Tahun 2019, penindakan harus tegas dan terukur”. Kapolrestabes menambahkan pengawasan bakal ketat, ETLE akan dipasang, Satgas gabungan dibentuk, kedengarannya gagah, mirip deklarasi perang melawan truk bandel, tapi, izinkan kita sedikit bercanda, jangan-jangan ini cuma perang-perangan.

Pepatah bilang, “gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan terlihat jelas”, di atas kertas aturan bisa mengkilap, tapi di jalan raya bisa jadi macan ompong, kalau sanksi hanya teguran, atau razia cuma musiman, sopir dan perusahaan truk pasti tertawa kecil sambil bilang “Ah, nanti juga lewat lagi”

Masalahnya bukan cuma soal jam malam truk atau kantong parkir Karyajaya, ini soal mentalitas ketegasan, kalau aturan dilanggar dan sanksi diabaikan, apa gunanya rapat koordinasi dengan segudang pejabat? Sama saja seperti beli helm hanya untuk pajangan di etalase, tidak pernah dipakai di kepala.

Contoh kecil di Surabaya, truk kontainer punya jam operasional ketat di kawasan Tanjung Perak. Pelanggar bisa langsung kena denda jutaan rupiah, perusahaan angkutnya juga ikut kena. Hasilnya? lalu lintas kota lebih teratur.

Semarang pun menerapkan aturan serupa, dengan jalur khusus dan pengawasan konsisten di pelabuhan Tanjung Emas. Bandung lebih kreatif, menata truk pengangkut barang masuk ke pasar grosir dengan jam bongkar muat terbatas. Balikpapan? mereka tegas memaksa truk bermuatan besar berhenti di luar kota pada jam sibuk, empat kota ini bisa jadi guru kecil untuk Palembang.

Coba tengok lebih jauh, lihat Singapura, negara mungil itu bisa mengatur ribuan kontainer setiap hari tanpa bikin jalanan jadi sirkus truk. Caranya? sistem logistik modern, terminal darat terpadu, dan tentu saja, sanksi yang lebih menakutkan dari wajah polisi. Sopir truk di Singapura tidak berani coba-coba, karena sekali melanggar, bisa tamat riwayat izin kerjanya.

Palembang mestinya bisa belajar, Sungai Musi terbentang luas, jalur rel ada, pelabuhan tersedia, tinggal kemauan politik yang serius. Kalau tidak, truk akan terus jadi raja jalanan, dan warga hanya bisa jadi rakyat jelata yang rela menepi, bahkan bisa jadi korban truk.

Bayangkan, kota yang katanya “Bumi Sriwijaya” tapi kalah mengatur truk dibanding Surabaya, jangan-jangan kita sibuk bikin jargon, lupa eksekusi. Pepatah lama bilang, “rajin pangkal pandai, tegas pangkal tertib”, kalau aturan hanya digoreng saat rapat lalu dingin begitu keluar pintu, ya akhirnya jadi lauk basi tak enak dimakan, apalagi ditelan.

Mari kita bumbui dengan humor sopir truk masuk kota sore hari itu ibarat tamu kondangan datang sebelum tuan rumah masak. Semua panik, semua repot. Tapi kalau tuan rumah tegas bilang “Tunggu di luar, nanti jam 9 baru boleh masuk”, pasti acaranya berjalan tertib. Nah, di sinilah pentingnya ketegasan tuan rumah bernama Pemkot.

Konsisten

Pertama, perkuat sanksi, jangan cuma teguran, tapi denda progresif, pencabutan izin, hingga blacklist perusahaan angkut.

Kedua, pengawasan konsisten, posko penjagaan di Kebun Sayur atau Kramat Jaya harus berfungsi 24 jam, bukan sekadar hiasan seragam.

Ketiga, solusi logistik jangka panjang, bangun terminal barang terpadu di Karyajaya atau pinggiran kota. Manfaatkan jalur sungai dan kereta untuk distribusi.

Ke empat, belajar dari daerah lain, kirim tim studi banding ke Surabaya, Semarang, Bandung, Balikpapan, bukan sekadar jalan-jalan, tapi bawa pulang resep tegas yang bisa langsung diterapkan.

Kelima, berpikir global, Singapura bukan hanya tetangga, tapi contoh nyata bahwa ketertiban lalu lintas bukan mimpi.

Palembang tidak kekurangan aturan, yang kurang hanya ketegasan dan konsistensi, aturan bisa setinggi langit, tapi kalau tidak ditegakkan, hanya jadi macan kertas, garang di teks, ompong di jalan raya.

Mari kita doakan agar revisi Perwali benar-benar jadi pedang tajam, bukan lagi kertas tipis yang mudah ditiup angin. Sebab, rakyat sudah lelah jadi korban truk bandel.

Seperti pepatah, “sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”, kalau aturan kali ini gagal lagi, jangan salahkan warga kalau akhirnya menyebut Pemkot hanya jago rapat, tapi kalah di lapangan.[***]

Terpopuler

To Top