Jasa & Niaga

“Mie Instan Satukan Dunia – Strategi Ekspor Rasa dari Dapur TKW hingga Anak Majikan di Nigeria”

ist

DI TENGAH hingar-bingar strategi ekspor produk Indonesia yang digodok lewat forum dagang, neraca perdagangan, dan diplomasi dagang level tinggi, siapa sangka kuncinya justru datang dari sendok plastik di tangan anak majikan?
Iya, benar, karena bukan dari menteri, bukan juga dari konsul dagang, tapi melainkan dari mie instan buatan TKW bernama Siti di dapur sempit kontrakan Arab Saudi. Saat ekspor formal sibuk bikin proposal, mie itu sudah ‘terbang’ duluan menyusup lewat rasa dan rindu.

Bahkan ceritany, semua bermula dari malam biasa, Siti, seorang TKW asal Indramayu ini, hanya ingin masak mie instan buat ngilangin kangen kampung. Namun anak majikan yang iseng mencicipi satu suap, dan ternyata langsung kecanduan, esoknya ia minta lagi, bahkan lusa anak majikan itu minta dua bungkus, minggu depan, dia minta dikirimin sekarung, wow!.

“Bisa dikirim tiap bulan ke rumah saudara saya di Nigeria?” tanya si anak majikan sambil nyengir,

“Ini kayak narkoba halal, enak banget!”

Dari sinilah jalur ekspor baru dibuka, bukan lewat pelabuhan atau bea cukai, tapi lewat koper TKW, kontainer kangen, dan mulut ke mulut yang lebih efektif dari iklan 30 detik di TV.

Orang boleh bilang, ekspor itu soal logistik dan izin. Tapi dalam praktiknya, kadang hanya butuh rasa yang pas, air panas, dan orang yang kangen rumah.

Di sinilah para diaspora Indonesia, khususnya TKI dan TKW, menjadi agen ekspor tak resmi tapi paling efektif. Mereka ini ibarat “pahlawan devisa bersayap bumbu”, mengantar produk UMKM sampai ke dapur luar negeri tanpa birokrasi panjang.

“Bagai air yang mencari celah, rasa dari kampung halaman selalu tembus ke mana pun, bahkan ke dapur anak sultan di Nigeria”

Kisah Siti bukan satu-satunya, di Malaysia juga ternyata, sambal pecel instan dari Solo jadi rebutan antar majikan. Di Taiwan, keripik tempe jadi snack favorit di kantin pabrik. Semua bermula dari makanan, dari rasa, dari cinta yang dibungkus plastik.

“Kalau tak ada rotan, akar pun jadi. Tapi kalau tak ada akses ekspor, diaspora pun jadi jembatan” begitu kira-kira pepatah versi dagang global.

Ekspor Indonesia bukan melulu soal neraca dagang dan kerja sama bilateral. Kadang, ekspor dimulai dari kompor listrik, sendok plastik, dan hati yang rindu kampung halaman. Di situlah TKI dan TKW jadi duta ekspor rasa, melebihi promosi negara.

Sudah saatnya negara melirik dapur diaspora, bukan hanya kantor kedutaan, karena dalam hal promosi produk lokal, Siti lebih dulu satu langkah dibanding presentasi di Dubai Expo. “Ekspor yang mengandalkan strategi bisa kalah cepat dari ekspor yang didorong rasa kangen”

Jadi, kalau ingin produk Indonesia mendunia, jangan cuma cari buyer cari saja TKW yang jago masak dan anak majikan yang gampang lapar.
Itu lebih ampuh dari iklan 30 detik, lebih gurih dari politik dagang, dan jelas lebih murah daripada studi banding ke Eropa.[***]

Terpopuler

To Top