Inspirasi

CATATAN KAKI : “Sultan Muda, Pelabuhan Rindu & Mimpi Sehat Gaya Sumsel”

ist

Sumselterkini.co.id, -Ada yang menarik dari ruang tamu Gubernur Sumsel beberapa hari lalu, bukan karena sofa barunya atau aroma kopi robusta khas Empat Lawang, tapi karena hadirnya Konsulat Amerika Serikat untuk Sumatera, Mr. Bernard Uadan, yang datang silaturahmi sambil mendengar curhat level gubernur. Isinya? . Tak tanggung-tanggung dari cetak 100.000 Sultan Muda, bangun pelabuhan samudera, hingga cita-cita Sumsel jadi destinasi wisata kesehatan, sekilas terdengar luar biasa, seperti rapat pimpinan Marvel Universe, penuh kekuatan super, tapi kenyataannya masih kekurangan WiFi dan listrik stabil.

Dalam dunia pembangunan memang visi tanpa eksekusi itu ibarat menanam singkong di pot bunga, kelihatannya semangat, tapi sulit tumbuh maksimal, ketika daftar mimpi-mimpi indah seperti ala negeri Laskar Pelangi. Lengkap memang tapi, tinggal kurang unicorn dan pesawat luar angkasa saja.

Tentu, niat baik dan rencana besar patut kita apresiasi, tapi seperti kata pepatah orang tua. “Air yang tenang jangan dikira nggak ada buayanya”. begitu pula program-program ini, kalau tidak dikawal dengan ketat dan dieksekusi dengan nyata, bisa berubah jadi pepesan kosong atau bahan guyonan warung kopi.

Mari kita mulai dari 100.000 Sultan Muda, ide ini bagus banget, namun jangan sampai jadi Sultan yang modalnya cuma seminar motivasi dan pinjaman online, kalau mindset masyarakat lebih doyan jadi PNS daripada pengusaha, maka mengubah pola pikir itu butuh lebih dari sekadar brosur dan spanduk bertuliskan “Yuk Jadi Sultan Muda!”. Butuh inkubasi usaha, pelatihan bisnis yang real, koneksi pasar, dan tentu saja duit.

Tengoklah dan belajarlah, Provinsi Binh Duong, Silicon Valley-nya Vietnam, Binh Duong dulu hanya kawasan pertanian biasa. Kini, berkat strategi pembangunan kawasan industri dan UMKM digital, provinsi ini menjelma jadi pusat manufaktur dan startup. Mereka membuat Becamex IDC, zona industri terpadu dengan kemudahan investasi, pelatihan tenaga kerja, dan koneksi pelabuhan.

Bahkan Vietnam, yang sukses mencetak jutaan pelaku UMKM berbasis digital, karena dibarengi dengan dukungan akses modal mikro, ekosistem startup yang sehat, dan keberanian pemerintah membuka ruang bisnis secara luas. Di Sumsel?. kadang izin warung kopi saja bisa butuh rekomendasi dari RT sampai kepala dusun.

Selain itu, Đồng Tháp- Provinsi di Vietnam ini sukses dalam inovasi pertanian dan ketahanan pangan. Petani dilatih agar melek teknologi, hasil panen dipasarkan via platform digital, dan ada inkubator bisnis agro untuk anak muda, jadi bukan cuma cetak petani, tapi juga petani-pengusaha.  Anak muda bukan cuma tahu cara nanam padi, tapi juga jualan beras via TikTok dan WhatsApp. Sementara kita masih sibuk bikin slogan GSMP, mereka sudah bikin agregator digital pertanian. Dan kita? Masih debat mau tanam cabe di polybag atau di pekarangan Pak RT”.

Di India  ada Kota Bengaluru (Bangalore) yang dijuluki “Silicon Valley-nya Asia”, kota ini menjadi pusat startup dan wirausaha teknologi, karena pemerintah daerahnya serius bekerjasama dengan swasta membuka inkubator startup, Universitas diberi mandat untuk menghasilkan inovator, dan regulasi dipermudah, dampaknya banyak pengusaha muda jadi unicorn founders di usia belia, bukan karena seminar motivasi, tapi karena ada ekosistem nyata mentor, modal, pasar.

Belanda, Kota Rotterdam memiliki Pelabuhan Rotterdam, merupakan pelabuhan terbesar di Eropa, kota ini tidak cuma punya pelabuhan, tapi juga memiliki sistem logistik terintegrasi, jalan tol, kereta barang, dan digitalisasi penuh bahkan bikin digital twin pelabuhan, jadi bisa simulasi bongkar muat secara virtual dulu. Rotterdam menunjukkan bahwa pelabuhan bukan sekadar dermaga, tapi ekosistem industri yang hidup dari petani sampai eksportir semua diuntungkan.

Penang & Melaka, Malaysia, kedua wilayah ini jadi destinasi wisata kesehatan Asia karena pemerintah mendirikan rumah sakit bertaraf internasional, warga lokal tetap dilayani (tidak tersingkir), dan pasien luar negeri berdatangan. Ada kereta khusus dari bandara ke rumah sakit, plus layanan medis yang satu paket dengan turisme (hotel, makanan, dan guide lokal), Penang dan Melaka di Malaysia sudah bisa ekspor rumah sakit sedangkan  kita, ekspor pasien. Yang punya duit ke Penang, yang tak punya… antre BPJS sambil berharap tak pingsan sebelum dipanggil”.

Bangkok di Thailand juga sebagai Pusat Health Tourism. Kenapa relevan?. Terbukti Bangkok sukses jadi pusat wisata medis di Asia Tenggara. Ada rumah sakit swasta yang setara hotel bintang lima, dokter lulusan luar negeri, dan paket wisata + operasi plastik. Thailand mempermudah izin tenaga medis asing dan investasi rumah sakit. “Di Bangkok, pasien disambut dengan teh jahe dan senyum perawat. Di sini, bisa antre tiga jam untuk dokter yang belum datang”.

Nah, ada lagi, Rwanda, Kigali Kota Start-Up Afrika, kenapa relevan? Rwanda, negara kecil di Afrika, membangun pusat inkubator usaha dan digitalisasi total lewat program Smart Kigali. Meski berpenghasilan rendah, mereka jadi pelopor smart city dan digital entrepreneurship. Kigali mungkin tak seheboh Paris, tapi anak mudanya tak sibuk ikut pelatihan motivasi tiap bulan, mereka dikasih wifi gratis, ruang kerja bersama, dan pajak UMKM 0%.

Kembali ke India di Provinsi Sikkim, daerah yang mandiri pangan dan organik, Sikkim adalah provinsi pertama di dunia yang seluruh pertaniannya 100% organik, mereka sukses menjaga ekosistem, ekspor produk organik, dan petani diberdayakan penuh. Sikkim bukan provinsi besar, tapi berhasil swasembada sehat. Kita? Masih debat apakah cabe itu kebutuhan pokok atau bukan.

Banyak PR

Program Pelabuhan Samudera juga jadi mimpi menyeberang zaman, kalau kata Pak Gubernur, Sumsel ini 3 kali luas Jawa Barat tapi tidak punya pelabuhan besar. Ibarat tubuh raksasa yang nggak punya mulut buat makan mau ngangkut hasil bumi kemana, harus numpang ke dapur orang lain. Ini bukan hanya soal kebanggaan, tapi soal efisiensi logistik dan ekonomi kerakyatan. Tapi masalahnya, mewujudkan pelabuhan samudera bukan seperti bangun pos ronda.

Butuh perizinan, analisis dampak lingkungan, infrastruktur jalan, dan tentu saja dan  lobi politik ke pusat yang kadang lebih rumit dari nembak calon mertua. Padahal kalau ini sukses, bisa jadi game changer. Bayangkan kopi, sawit, dan karet Sumsel bisa langsung ekspor tanpa harus ngider dulu ke pelabuhan luar provinsi bisa hemat ongkos, dan petani bisa lebih sejahtera. Jangan-jangan, ini malah bisa bikin kita punya sultan muda yang betulan, bukan sultan modal nekat.

Sementara itu, cita-cita menjadikan Sumsel sebagai Health Tourism adalah mimpi yang manis seperti teh tarik di pagi hari. Tapi pertanyaannya apakah rumah sakit kita sudah siap? Jangan sampai wisatawan kesehatan malah jadi wisatawan rawat inap plus trauma. Infrastruktur kesehatan yang baik itu bukan hanya soal bangunan megah, tapi juga tenaga medis yang mumpuni, teknologi terkini, dan tentu kepercayaan.

Di sisi lain, kita tidak boleh abaikan pujian dari Konsulat AS atas capaian 98% Universal Health Coverage (UHC) dan program Gerakan Sumsel Mandiri Pangan (GSMP). Ini bukan pencapaian sepele. Tapi seperti kata pepatah, “jangan karena sudah bisa berenang, lalu berenang di kolam yang bocor”. Maksudnya, capaian ini jangan bikin kita lengah. Masih banyak PR, seperti penanganan ilegal drilling yang bahkan disebut khusus dalam audiensi. Ibarat bisul di punggung, sakitnya tidak kelihatan tapi bisa bahaya kalau dibiarkan.

Nah, jangan ibarat seperti kerah baju waktu disetrika, jangan sekadar menjual mimpi, tapi hadirkan solusi konkrit dan terukur. Coba buka peluang kerja sama yang benar-benar strategis, bukan hanya seremonial. Bangun pelatihan vokasi dari bawah, bentuk ekosistem bisnis UMKM yang terintegrasi, dan berani menindak tegas pelaku tambang ilegal dengan kolaborasi pusat-daerah yang solid. Kalau perlu, kirimkan delegasi belajar ke negara seperti Estonia negara kecil, tapi wah..  gesit dan digitalisasi UMKM-nya oke bikin iri dunia.

Dan ingat juga, dalam setiap audiensi dengan pejabat luar negeri, jangan cuma menjual data dan angka, meski itu penting, tapi juga soul dari daerah kita. Tampilkan bahwa Sumsel bukan hanya kaya sumber daya, tapi juga kaya semangat, inovasi, dan kemauan berubah, bukan cuma kaya rencana, tapi juga berani eksekusi.

Tentu, tak ada salahnya bermimpi besar, bahkan sangat bagus jika pemimpin daerah punya visi dan nyali untuk mengejar hal-hal yang belum pernah diraih.  Semoga setelah pertemuan ini, bukan hanya poster program yang makin banyak, tapi juga realisasi di lapangan yang bisa dirasakan rakyat. Jangan sampai nanti Sumsel dikenal bukan karena pencapaian, tapi karena keahlian dalam mempresentasikan impian.

Kita juga berdoa semoga semua mimpi tadi tak berakhir jadi lukisan indah tanpa bingkai, karena Sumsel tak butuh sultan yang sekadar stylish di Instagram, tapi pengusaha muda yang tahan banting. Tak butuh pelabuhan yang hanya ada di powerpoint, tapi dermaga nyata tempat ekonomi berlabuh.

Dan tentu, kita ingin rumah sakit bukan sekadar untuk promosi, tapi tempat sembuh yang benar-benar bisa dibanggakan, seperti kata pepatah lama “Gajah mati meninggalkan gading, pemimpin mundur meninggalkan jejak pembangunan”. Jangan sampai jejaknya cuma catatan rapat dan baliho pinggir jalan.

Masyarakat pasti bangga jika program ini sukses seperti daerah di Negara lain bahkan dikenal sampe keluar negeri. Rakyat Sumsel pasti sangat mendukung aksi nyata, karena tak ingin nantinya Sumsel  hanya dinilai mampu mempresentasikan impian /juara narasi, daripada kenyataan. Semoga Sumsel  memang maju kedepannya, sukses seperti Rwanda dan Sikkim, yang mampu membuktikan bahwa jadi negara kecil tak menghalangi mereka jadi besar dalam aksi.[***]

Terpopuler

To Top