Inspirasi

“Sultan Muda, Modal Receh, Mimpi Internasional [Ketika Sumsel Belajar Dagang dari Denmark Sampai Depok]”

ist

Sumselterkini.co.id, – Di zaman sekarang, jualan cilok saja bisa viral kalau dikasih merek “Cilok Korea Selatan Rasa Kenangan Masa SMA”, tapi betul juga apa kata Gubernur Sumatera Selatan,  Herman Deru, modal semangat dan ide itu bisa bikin anak muda dari Musi Rawas sampai Ogan Ilir berubah jadi sultan. Namun, ya jangan salah sangka, bukan sultan yang hobi nonton konser K-Pop sambil rebahan di kasur hotel bintang lima, tapi sultan muda yang bangkit dari garasi rumah, modal receh, tapi ide menggelegar.

Labirin Sriwijaya BOOTCAMP 2025  ibarat tempat cuci otak yang bukan sembarang cuci. Ini bukan laundry kiloan, tapi laundry mental dan semangat dagang. Temanya sudah futuristik “Wujudkan Ekosistem Bisnis Lestari Berkelanjutan di Sumsel”. Kurang keren apa?. Kita yang baca aja berasa kayak pengusaha organik dari Silicon Valley.

Gubernur pasang ancang-ancang, “Target kita adalah membentuk sultan muda di Sumsel,” ujarnya penuh harap dan visi. Nah ini dia, di tengah zaman digital, ketika ngelamar kerja saingannya jutaan dan lulus kuliah hanya jadi kolektor ijazah, justru wirausaha bisa jadi jalan ninja!. “Kesuksesan datang pada mereka yang melihat peluang bukan sebagai kerikil, tapi sebagai batu loncatan,” katanya belum lama ini.

Cocok. soalnya banyak anak muda sekarang terlalu gengsi jualan, padahal gengsi itu nggak bisa ditukar sama nasi padang. Mental harus dibasuh dulu, supaya gak malu mulai usaha dari jualan kopi sachet atau stiker lucu di Shopee. Kalau mau lihat hasilnya, contoh paling dekat ada di Depok. Di sana, anak muda disuruh bikin Kampung Kreatif. Ada yang bikin sabun organik, ada yang nyablon kaos bertema satire politik, bahkan ada yang ekspor tempe ke Jepang. Bayangkan, tempe yang dulu dibilang makanan rakyat, sekarang jadi bintang tamu di restoran Tokyo!.

Lanjut ke luar negeri lagi, coba intip Denmark, negara ini punya program Youth Business Denmark yang bikin anak muda bisa buka usaha sejak masih SMA, dibimbing langsung mentor, dapat akses pinjaman lunak. Kita di sini baru dapat tugas makalah, mereka udah jualan smoothie organik!. Vietnam (Ho Chi Minh City),   anak mudanya didorong buat bikin startup pertanian pintar. Mereka bikin sistem irigasi digital pakai sensor IoT. Sementara kita, kadang siram tanaman masih pakai gayung bekas rendaman kaki ayam.

Kolombia (Medellín), kota bekas sarang narkoba ini berubah total karena anak mudanya bikin ekosistem kreatif digital. Musik, animasi, teknologi. Sekarang Medellín bukan cuma nama kota, tapi juga nama label fashion!. “Innovation distinguishes between a leader and a follower” kata Steve Jobs. Artinya, kalau kita masih nunggu petunjuk dan ragu mulai usaha, ya siap-siap jadi penonton terus.

Sayangnya, kadang program bagus kayak gini malah dianggap angin lalu. Ada yang datang ke bootcamp cuma buat foto-foto, update IG story, tapi pulang gak tahu bedanya invoice sama bon warung. Ada juga yang nunggu pemerintah kasih modal, padahal usaha itu bukan menunggu, tapi mulai dari apa yang kita punya.

Di sisi lain, program “100.000 Sultan Muda” ini jangan cuma jadi jargon semanis es teh di pinggir jalan. Ada akses ke modal, pendampingan intensif, hingga pemasaran digital. Jangan sampai anak muda semangat, tapi habis bootcamp malah jadi pengangguran intelektual dengan sertifikat numpuk.

Bayangkan kalau tiap kabupaten/kota punya business corner tempat anak muda ngumpul, diskusi, produksi barang, dan bisa akses pasar digital. Ada mentor, ada wifi gratis, dan ada kopi (ya, kopi penting buat mikir). Tambah lagi kemudahan akses ke kredit mikro tanpa jaminan setrika ibu.

Dan jangan lupa perlu ada showcase mingguan. Entah itu di mall, di CFD, atau di terminal sekalian. Biar produk anak muda bisa dilihat, dicoba, dibeli. Karena branding itu bukan cuma soal logo, tapi soal eksistensi.

Labirin Sriwijaya bukan labirin sesat, tapi jalan pintas buat anak muda jadi bintang di kampung sendiri. Jangan biarkan peluang lewat kayak mantan yang nikah duluan. Pegang peluang itu, olah, jual, ekspor kalau bisa.

Tony Gaskins seorang motivator, penulis, dan pembicara inspiratif asal Amerika Serikat yang dikenal luas lewat kutipan-kutipannya yang banyak dibagikan di media sosial, terutama seputar pengembangan diri, hubungan, dan kewirausahaan. Kutipan terkenalnya, yakni “If you don’t build your dream, someone will hire you to help build theirs” [“Kalau kamu tidak membangun mimpimu sendiri, kamu akan dibayar untuk membangun mimpi orang lain”].

Sudah saatnya anak muda Sumsel jadi pengusaha, bukan cuma penonton sinetron. Sultan itu bukan gelar keturunan, tapi status hasil keringat dan ide. Jadi, siapapun bisa jadi sultan asal gak gengsian dan gak cuma ngandelin motivasi, tapi juga eksekusi.

Kalau Denmark bisa, Depok bisa, Medellín bisa… masa Palembang kalah sama tempe Jepang?. Program Labirin Sriwijaya dan target 100.000 Sultan Muda bukan hanya soal jumlah, tapi soal kualitas. Ini bukan mie instan yang tinggal diseduh, tapi seperti rendang perlu waktu, bumbu, dan proses panjang biar matang sempurna.

Kesuksesan anak muda Sumsel tidak bisa dititipkan pada slogan atau seminar semata harus ada sinergi pemerintah buka jalan, mentor kasih bekal, pasar beri ruang, dan pemuda jangan tidur siang. Ingat, wirausaha itu bukan jalan tol bebas hambatan, tapi jalan berlubang yang harus dilalui sambil nyanyi lagu motivasi.

Kuncinya ada pada tiga hal mental yang siap babak belur, kreativitas yang gak kehabisan baterai, dan kemauan belajar yang lebih kuat dari sinyal wifi di hutan. Jadi, kalau hari ini kamu mulai usaha dari pojok kamar, jangan minder. Siapa tahu, lima tahun lagi, kamu yang diundang ke Denmark, bukan sekadar jual tempe, tapi jadi pembicara tentang ekosistem bisnis berkelanjutan versi Palembang. Karena sultan sejati, bukan dilihat dari saldo rekening…tapi dari seberapa keras dia bertarung dari nol, dan tetap waras meski dompet bolong!.[***]

Terpopuler

To Top