“BU Misnah, sampean itu kalau demo ke kebun jangan bawa ulekan, Bu. Takutnya nanti yang dipukul bukan ketimpangan gender, tapi kepala mandor!”
“Lah terus tak bawa apa, Mbok Jum?”
“Bawa strategi. Bawa data. Bawa suara perempuan. Sawit bisa hidup karena tangan perempuan juga ikut nyiram.”
Begitulah dialog pagi antara Bu Misnah dan Mbok Jum, dua tokoh imajiner yang konon katanya alumni Sekolah Kehidupan Jalur Perkebunan. Mereka bukan aktivis LSM, bukan pula politisi partai. Tapi dua-duanya mengerti satu hal: perempuan di kebun sawit itu bukan figuran. Mereka pemain inti.
Kalau ada yang bilang sektor perkebunan kelapa sawit adalah dunia lelaki, bisa jadi dia belum pernah ke dapur rumah petani sawit, belum pernah menyaksikan ibu-ibu mengurus anak sambil menimbang tandan buah segar (TBS), atau ikut arisan sambil nyicil cicilan semprot rumput.
Seperti kata Eleanor Roosevelt, “Perempuan itu seperti kantong teh. Kamu baru tahu kekuatannya saat ia dicelupkan ke dalam air panas.”
Forum Publik dan Refleksi Strategis di Muba yang mengusung tema “Bersama Perempuan, Membangun Ketangguhan Komunitas Perkebunan Kelapa Sawit” ini adalah satu langkah maju. Tapi mari jujur, satu forum belum cukup untuk menambal lubang-lubang diskriminasi yang selama ini nyaris tak terlihat. Seperti rumput ilalang yang tumbuh diam-diam, ketidakadilan itu tumbuh di sela-sela sistem.
Bu Sarmi dari Sungai Lilin misalnya, pernah suatu ketika suaminya jatuh sakit dua bulan. Siapa yang ambil alih mengurus lahan sawit? Dia. Siapa yang bangun jam 4 pagi, nyiapin sarapan, lalu semprot gulma, lalu sorenya ngaji sama anak-anak kampung? Dia juga. Tapi di rapat kelompok tani? Namanya tak pernah masuk undangan.
“Perempuan? Ibu rumah tangga saja,” kata pak RT dengan senyum ramah penuh bias patriarki.
Padahal di Kolombia, program “Women in Palm Oil” sudah mulai mengintegrasikan perempuan sebagai pemimpin koperasi sawit. Di Thailand, perempuan memimpin banyak koperasi sawit berkelanjutan dengan dukungan penuh dari pemerintah. Bahkan di Ghana, kelompok “Palm Queens” punya sistem tabungan sosial antar perempuan petani.
Kita di Muba? Masih banyak yang menilai emak-emak hanya pelengkap penderita. Tapi syukurlah, angin perubahan mulai berembus.
Mengintegrasikan perspektif gender dalam kebijakan bukanlah bonus, melainkan keharusan. Ini bukan soal memberi lebih kepada perempuan, tapi tentang mengakui kontribusi yang selama ini dianggap biasa.
Sebagaimana pepatah Bugis bilang, “Perempuan bukan sarung di lipatan laci, ia adalah tiang rumah; kalau ia patah, robohlah segalanya”
Sama halnya dengan komunitas perkebunan. Tanpa keterlibatan perempuan secara strategis, kita cuma setengah kuat. Cuma pakai satu pedal sepeda, jalannya miring dan lambat.
Bupati Muba melalui staf ahlinya sudah menyampaikan komitmen yang jelas. Tapi seperti kata anak muda zaman sekarang “Janji doang, realisasinya mana, Bestie?”
Kita pernah lihat banyak forum, seminar, deklarasi, lengkap dengan dokumentasi. Tapi ketika ibu-ibu mau akses kredit usaha? Nggak tahu ke mana. Ketika mau pelatihan peningkatan kapasitas? Ditanya dulu “Suaminya ikut nggak?”
Kalau semua harus nunggu suami, lalu kapan perempuan bisa berdiri sendiri?
Kata Michelle Obama, “There is no limit to what we, as women, can accomplish.”
Menurut Mbah Dirjo, tetua imajiner yang tinggal di tengah kebun sawit [ha..ha..bingung ya?] “Kalau perempuan sudah turun tangan, bahkan pohon sawit yang bengkok bisa lurus kena semangatnya”
Harus ada aksi nyata, jangan cuma seminar adakan pelatihan gender budgeting di level kelompok tani, bangun koperasi perempuan sawit berbasis profit-sharing. Beri kuota kepemimpinan kelompok tani untuk perempuan.Buat akses pembiayaan ramah ibu-ibu sawit. Sediakan ruang penitipan anak saat pelatihan lapangan.
Karena percuma bicara pemberdayaan kalau perempuan tak bisa hadir karena sibuk momong.
Jangan remehkan tangan ibu-Ibu, karena kalau tangan ibu-ibu bisa bikin sambal yang bikin kepala mandor keringetan, jangan kaget kalau tangan yang sama bisa menanam benih perubahan sosial yang mekar sampai generasi berikutnya.
Forum di Grand Ranggonang itu bisa jadi awal sejarah baru. Tapi jangan berhenti di kursi empuk dan spanduk. Perempuan Muba tak sekadar butuh tepuk tangan, tapi akses, ruang, dan keputusan nyata.
Ingatlah, kalau perempuan diberdayakan, sawit bisa lebih hijau, dapur lebih harum, dan masa depan lebih cerah. Kalau semua kabupaten belajar dari Muba hari ini, bisa jadi besok dunia perkebunan bukan lagi didominasi suara lelaki saja. Akan ada suara perempuan. Tegas, lembut, penuh arah.
Seperti kata Mbok Jum “Kalau sawit bisa tumbuh di lahan marginal, masa semangat perempuan enggak bisa tumbuh di ruang publik?”.[***]
Catatan Redaksi:
Bu Misnah, Mbok Jum, dan Mbah Dirjo memang tidak ada di KTP, tapi keresahan mereka nyata di banyak dapur dan kebun sawit. Fiksi di sini cuma bumbu, isi tulisannya tetap berbicara soal kenyataan.