KALAU ada lomba barang paling sering diremehkan di dapur Indonesia”, kulit ikan pasti dapat juara satu. Juara dua mungkin tutup botol Aqua yang entah kenapa disimpan emak-emak di toples, juara tiga karet gelang bekas ikat sayur yang sudah menghitam. Bedanya, kalau tutup botol dan karet gelang nasibnya cuma jadi pajangan di laci dapur, kulit ikan ternyata punya jalan hidup yang lebih mulia naik kasta jadi kolagen mahal.
Bayangkan, hari ini dia cuma teronggok di talenan, bau amis, basah, dan siap dilempar ke ember sampah. Eh, besok dia bisa mejeng di rak kosmetik kelas atas dengan harga ratusan ribu per botol. Dari “bau amis” jadi “bau duit”. Ini kayak kisah Cinderella versi laut bedanya, pangerannya bukan manusia, tapi teknologi.
Kalau ada pepatah “jangan buang kulit pisang sembarangan, nanti orang jatuh,” maka inovasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ini rasanya mau bikin pepatah baru “jangan buang kulit ikan sembarangan, nanti rezeki yang jatuh”.
Ya, selama ini kulit ikan di dapur kampung cuma punya dua nasib dibuang ke tong sampah atau jadi rebutan kucing kampung. Padahal, di tangan Balai Besar Pengujian Penerapan Produk Kelautan Perikanan (BBP3KP) KKP, kulit ikan itu bisa menjelma jadi kolagen mahal yang dicari-cari dunia kecantikan dan kesehatan.
Rahmadi Sunoko, Kepala BBP3KP, bercerita kalau ide ini lahir dari kebiasaan orang Indonesia yang terlalu fokus sama dagingnya, tapi lupa sama kulit dan tulang ikan. Padahal, “di dunia ini, yang dianggap remeh seringkali menyimpan emas”.
Kulit ikan itu baju lusuhnya, kalau dibersihkan, diolah, dan diekstrak, jadilah kolagen murni yang nilainya bisa berkali-kali lipat dari harga ikannya sendiri. Ikan yang tadinya cuma Rp30 ribu sekilo, kulitnya bisa berubah jadi bahan baku kosmetik kelas sultan.
Untuk mengenalkan inovasi ini ke masyarakat, BBP3KP tidak cuma duduk di kantor menunggu tamu. Mereka punya Mobil Alih Teknologi dan Informasi (ATI) semacam “food truck” tapi isinya bukan kopi latte atau burger, melainkan resep-resep inovatif berbahan ikan dan rumput laut.
Mobil ATI ini keliling kampung, masuk ke desa-desa, mampir ke sekolah, dan nongol di acara PKK. Ada yang diajari bikin abon ikan lembaran, mie kristal rumput laut, sampai cookies ikan. Bahkan di Leuwikaret, Bogor, mereka berkolaborasi sama mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) STKIP Arrahmaniyah. Jadi, kalau dulu mahasiswa KKN identik bikin gapura atau pos ronda, sekarang mereka jadi duta kuliner laut modern.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), Tornanda Syaifullah, bilang kalau inovasi ini juga punya misi mulia menghapus stigma negatif makan ikan. Katanya, masih banyak yang takut makan ikan karena bau amis, alergi, atau takut durinya.
Nah, produk-produk turunan ini memecahkan masalah itu. Mau makan ikan tanpa duri? Bisa. Mau makan ikan tapi rasanya manis seperti cookies? Bisa, bahkan kalau mau makan ikan tapi wajah tetap glowing, ya tinggal konsumsi kolagen dari kulit ikan.
Kalau ibu-ibu PKK di kampung bisa bikin olahan kolagen dari kulit ikan, ini bukan cuma usaha sampingan, tapi bisa jadi bisnis turun-temurun, seperti pepatah, “Jangan wariskan anakmu rumah saja, wariskan juga cara mencari rezeki”
Produk hilirisasi ini bisa masuk pasar oleh-oleh, toko herbal, bahkan ekspor, kita pernah lihat rumput laut dari Indonesia diproses di luar negeri lalu balik lagi jadi kosmetik dengan harga selangit. Nah, sekarang kita bisa bikin sendiri.
Menurut data Grand View Research (2023), pasar kolagen global nilainya mencapai USD 9,1 miliar dan terus tumbuh. Di sektor kosmetik, kolagen dipuja-puja seperti dewa awet muda. Sementara albumin punya pasar medis yang luas, dari pemulihan pasien operasi sampai terapi gizi.
Artinya, Indonesia dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia punya modal melimpah untuk merajai pasar ini. Tinggal bagaimana inovasi seperti ini masuk ke industri dan UMKM, bukan berhenti di rak laboratorium.
Nelayan tua di pesisir Pati pernah bilang pada saya, “Laut itu seperti ibu. Kalau kita ambil dengan hormat, dia akan memberi lebih dari yang kita minta”. Inovasi ini buktinya, dari seekor ikan, kita bisa dapat daging, kulit, tulang, bahkan inspirasi bisnis.
Jadi leader
Oleh sebab itu, jangan buru-buru membuang apa yang terlihat sepele, dunia ini sering kali membayar mahal untuk hal yang dulu dianggap remeh.
Inovasi KKP ini bisa membuat Indonesia jadi leader di pasar kolagen laut kalau konsisten. Tapi, seperti nelayan yang harus sabar menunggu ikan naik ke jaring, hilirisasi butuh waktu, kerja keras, dan kerjasama semua pihak.
Inovasi kolagen dan albumin dari kulit serta tulang ikan adalah contoh nyata limbah bukan akhir cerita, tapi awal dari rezeki baru, dengan teknologi, edukasi lewat Mobil ATI, dan dukungan masyarakat, ini bisa jadi komoditas unggulan yang mendongkrak ekonomi nelayan sekaligus memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.
Kalau kata pepatah modern “Di tangan kreatif, kulit ikan pun bisa jadi kulit sultan,” dan kalau ini berhasil, bukan mustahil anak-anak muda desa nanti bisa bilang, “Kerjaanku? Ekspor kolagen, bos!”.[***]