PALEMBANG hujan sebentar saja, jalan langsung tergenang, kalau hujan ini manusia, mungkin sudah kelelahan karena setiap kali turun, kota ini seperti mengikuti lomba renang gratis tanpa pendaftaran, tanpa pelampung, dan tentu saja tanpa kolam resmi. Warga pun hanya bisa menatap genangan, sambil berujar, “Ini banjir apa kolam renang alami, sih?”
Jujur, genangan air ini bukan masalah baru, ini klasik, bahkan kota kita berkembang pesat, jalan membentang, perumahan bermunculan, mall mewah berdiri, tapi sistem drainase kayak jodoh yang salah alamat, kecil, sempit, dan jarang diajak komunikasi.
Minim kolam retensi dan resapan saluran air ini, kita hanya bisa mengelus dada sambil bilang, “Aku sanggup sampai sini aja, sisanya biar alam yang urus”
Wali Kota Ratu Dewa baru-baru ini memang turun langsung meninjau genangan di 16 Ulu dan menyalurkan bantuan sembako. Baguslah, tapi kita juga paham, sembako itu seperti plester untuk luka berdarah, menyembuhkan sesaat, tapi bukan solusi permanen.
Sebenarnya perlu kolam retensi, perlu drainase yang lapang, agar air hujan punya “jalan tol” sendiri dan tidak memblokir aktivitas warga. Pepatah bilang, “Sedia payung sebelum hujan”, tapi kalau payungnya cuma selendang mini, ya tetap basah kuyup juga.
Kolam retensi ini ibarat parkir khusus air, tempat menampung sementara supaya banjir tidak menjalar ke rumah-rumah warga. Tapi sayang, di Palembang, kolam retensi seperti pacar yang nggak pernah muncul saat dibutuhkan, ada di angan-angan saja.
Drainase sempit pun membuat air hujan serasa sedang mengantri masuk ke got kecil, seperti kita mengantri beli durian saat festival, cuma saja kalau durian telat, yang kena bukan perut, tapi rumah warga.
Warga pun semakin kreatif, menciptakan solusi dadakan. Ada yang pasang terpal di halaman, ada yang bikin ‘jalan sungai mini’ di depan rumah, bahkan ada yang bercanda, “Kalau banjir terus, sekalian bikin kolam renang keluarga, gratis, cuma air hujan”. Tapi tawa mereka sebenarnya adalah teriakan, bahwa sistem kita belum siap menghadapi hujan ekstrim, yang kini bukan lagi kejadian tahunan, tapi bulanan.
Perbaikan
Peninjauan lapangan Wali Kota adalah langkah positif, menandakan ada niat memperbaiki. Tapi niat tanpa strategi permanen seperti menabur garam di laut, kelihatan usaha, tapi hasilnya nihil.
Program perbaikan jangka panjang harus jelas, di mana kolam retensi dibangun, seberapa besar kapasitas drainase, berapa persen resapan diperluas, dan yang paling penting, bukan sekadar “sudah dicek PUPR” tapi air tetap tergenang di jalan utama.
Pepatah lama mengatakan “Air tenang menghanyutkan” tapi kalau airnya tidak tenang karena drainase sempit, siapa yang tidak hanyut? Kota harus punya strategi proaktif, bukan reaktif. Bantuan sembako boleh, alat berat boleh, tapi tanpa perencanaan yang matang, genangan berikutnya hanya menunggu waktu.
Oleh karena itu, kota yang maju bukan hanya diukur dari mall, jalan mulus, atau gedung tinggi, tapi juga dari kesiapan menghadapi hujan.
Infrastruktur harus adaptif, warga dilindungi, dan genangan tidak dijadikan pemandangan baru tiap hujan datang. Kalau tidak, kita akan terus tertawa pahit melihat mobil terendam, rumah basah, dan warga menumpuk ember air seperti peserta lomba balap karung versi modern.
Jadi, membangun kota itu seperti menyiapkan pesta. Kalau kursi dan meja sedikit, tamu duduk di lantai. Kalau drainase sempit, warga berendam di jalan. Jangan sampai kita bangga dengan mall baru tapi malu dengan banjir yang sebulan sekali jadi agenda rutin.
Palembang membutuhkan dua hal krusial yaitu kolam retensi yang memadai dan drainase yang luas dan terawat. Bantuan sembako dan alat berat hanya obat sementara. Jika ingin kota nyaman dan aman, pemerintah harus mengutamakan strategi preventif, bukan reaktif.
Tapi, jangan sampai air hujan menjadi alasan kita tersedu di tengah jalan. Setiap hujan jangan sampai membuat Palembang seperti kolam renang raksasa. Sebab, kota yang cerdas adalah kota yang memikirkan air sebelum hujan datang bukan hanya membagikan payung ketika sudah basah kuyup.[***]