Industri

“Pasir Jadi Chip, Otak Jadi Aset: Asta Cita Naik Kelas!”

ist

KALAU dulu orang bilang, “rezeki datang dari tanah,” ya masuk akal  karena  bangsa kita dari dulu emang jago gali. Dari zaman nenek moyang sampai zaman scroll TikTok, hidupnya tak lepas dari urusan gali-menggali, seperti gali tambang, gali jalan, kadang juga gali alasan kalau target tak tercapai.

Tapi saban tahun, bumi makin tipis, dan pikiran harus makin tebal. Hidup nggak bisa lagi pakai prinsip “asal laku, mikir belakangan”. Nah…, di sinilah muncul babak baru, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) di bawah komando Agus Gumiwang Kartasasmita gandeng Institut Teknologi Bandung (ITB) buat ngulik dua bahan yang sering diremehin silika dan grafit.

Bahkan memang keduanya mirip debu, tapi di tangan orang pinter, bisa jadi chip semikonduktor dan baterai mobil listrik alias dari pasir jadi chip, dari otak jadi aset.

Langkah ini bukan asal gaya, tapi bagian dari Asta Cita Presiden Republik Indonesia buat bener-bener ngebut di jalur hilirisasi industri nasional.

“Kerja sama ini penting untuk menyusun kajian teknologi dan mendukung industrialisasi bahan galian nonlogam seperti silika dan grafit,” ujar Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta (28/10).
Terjemahan bebasnya yaitu Indonesia siap berhenti jual pasir kiloan, mulai jual pengetahuan per giga.

Penandatanganan kesepakatan dilakukan langsung  Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT), Taufiek Bawazier, bersama Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi ITB, Prof. Lavi Rizki Zuhal.
Upacaranya disaksikan Rektor ITB, Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara, M.T.,  dengan nama seberat skripsi S2 untuk mengingatkan bahwa dunia industri nggak bakal jalan tanpa riset yang tajam.

“ITB siap hadir dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, bukan cuma ngajar, tapi juga nyetrum ide buat industrialisasi nasional,” kata Tatacipta.

Kalimat yang kurang lebih berarti sekarang kampus nggak cuma tempat skripsi dan ngopi, tapi juga jadi dapur teknologi bangsa.

Sementara Taufiek Bawazier menegaskan bahwa industrialisasi itu bukan cuma soal bikin pabrik, tapi juga soal “data, teknologi, dan otak yang siap diajak lembur”.

Kerja sama dengan ITB ini, katanya, penting banget supaya kebijakan industri nanti bukan cuma asal wacana, tapi punya dasar ilmiah dan ekonominya masuk akal.

Dua program yang diluncurkan Ditjen IKFT sejak 2024 udah ngasih arah jelas Industrialisasi Silika jadi Wafer Silikon buat kemandirian industri Photovoltaic (PV) Module dan Semikonduktor Dalam Negeri, industrialisasi Grafit buat menopang ekosistem kendaraan listrik (EV) nasional.

Dan tahun 2025 ini, kerja sama dengan ITB bakal melahirkan dua kajian canggih sebab kajian teknologi pemurnian silika jadi Metallurgical-Grade Silicon berbasis sumber daya nasional. Kajian pemurnian grafit alam & sintetis plus analisis keekonomian untuk industri lokal. Kalau sukses, bisa jadi Indonesia bukan lagi tukang kirim bahan mentah, tapi pemasok otak dan teknologi buat dunia.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, sumber daya silika di Indonesia mencapai 27 miliar ton, cadangannya 7 miliar ton, sementara grafit alam sekitar 31 juta ton (data 2023).

Bayangin kalau semua itu bisa disulap lewat riset dan inovasi, ekonomi bisa naik kelas tanpa harus gali lebih dalam, cukup gali lebih dalam otak sendiri.

“Silika banyak dipakai untuk industri kaca, ban, semikonduktor. Sementara grafit penting buat pelumas, elektronik, komposit, dan otomotif,” jelas Taufiek Bawazier. Alias dua barang yang kelihatan nggak seksi, tapi bisa jadi primadona ekonomi masa depan.

Jadi, kalau dipikir-pikir, arah Asta Cita ini kayak pepatah lama “Kalau bisa pintar, ngapain cuma kuat”. Indonesia udah lama kuat di urusan gali tanah, sekarang saatnya kuat di urusan gali ide.

Dan kolaborasi Kemenperin dan ITB ini bukan sekadar tanda tangan, tapi tanda zaman, dari jual bahan mentah ke jual hasil otak.

Atau kata pepatah upgrade versi 2025 “Dulu orang kaya karena tambang, sekarang kaya karena temuan”.[***]

Terpopuler

To Top