SEANDAINYA kamu sedang membuat kue lapis raksasa, semua bahan sudah siap, oven panas, loyang menunggu, namun tiba-tiba gas untuk oven cuma keluar setetes… setetes, seperti air mata di matahari terik. Begitulah nasib industri swasta di Indonesia saat ini memasak pabrik, tapi bahan bakar utamanya berpotensi “tersedot ke BUMN”. Dagelan? Iya… tapi pahitnya terasa nyata.
Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bikin kepala pusing, menyebutkan industri keramik paling terdampak dengan 43.058 pekerja yang nyaris menggantung harapannya di udara tipis kebijakan energi. Disusul industri baja (31.434), petrokimia (23.006), kaca (12.928), oleokimia (12.288), pupuk swasta (10.420), dan sarung tangan karet (1.660).
Misalnya satu pabrik keramik bisa bikin ratusan keluarga resah, anak-anak nanya “Bulan depan uang saku gimana?” dan orang tua cuma bisa senyum sambil cekak tangan dompet.
Ternyata, di sisi lain, BUMN seperti Pupuk Indonesia dan PLN masih bisa bernapas lega, mereka dapat prioritas alokasi gas, sehingga pabrik tetap hidup, oven tetap menyala, dan gaji pekerja aman. Sementara industri swasta?, bisa dibilang sedang diet energi paksa. Ini kayak orang mau bakar sate, tapi bara cuma setitik di ujung lidi. Lucu? Iya. Tapi kalau gaji ikut hangus, ngakak malah bikin menangis.
Fenomena ini jelas menunjukkan adanya ketimpangan yang serius antara BUMN dan swasta. Karena kebijakan HGBT memang formalnya harga USD6,5/MMBtu, tapi praktik lapangan memperlihatkan “subordinasi tersembunyi”, di mana swasta harus menanggung surcharge sampai USD16,77/MMBtu.
Padahal swasta adalah tulang punggung Manufaktur Nasional, kalau mereka memble, siapa yang menopang pertumbuhan ekonomi dan menyerap tenaga kerja?
Febri Hendri Antoni Arief, Juru Bicara Kemenperin menegaskan dalam rilis Kemenperin pengetatan pasokan gas bisa menurunkan utilisasi pabrik dan menekan minat investor.
Bayangkan pabrik baja yang biasanya berputar 24 jam, namun sebaliknya jika tungku mati, logam dingin, dan berpontensi ratusan pekerja jadi penganggur dadakan. Pepatah lama bilang, “Kalau ingin selamat di laut badai, jangan hanya mengandalkan layar utama, tapi perhatikan juga cadangan air dan perbekalan”. Nah, industri swasta kini di laut badai, sementara BUMN sudah di kapal pesiar.
Industri keramik semester I-2025 baru bisa mencapai 70–71 persen utilisasi, meski membaik dari tahun sebelumnya. Tapi jika pasokan gas terus terganggu, capaian itu bisa turun lagi. Imbasnya juga industri pupuk swasta yang mendukung swasembada pangan Presiden Prabowo bisa ikut tergelincir, dan bisa juga satu pabrik pupuk berhenti setengah hari, bukan hanya pabriknya yang memble, sawah petani bisa menunggu pupuk sambil nge-gym sendirian di ladang.
Bahkan industri padat energi seperti keramik, baja, petrokimia, dan oleokimia bukan cuma soal angka produksi. Mereka adalah jantung ekonomi lokal, menyerap jutaan tenaga kerja, dan menopang banyak UMKM di sekitarnya.
Jika mesin pabrik berhenti, bukan cuma pabrik yang memble, tapi warung kopi langganan, tukang ojek, bahkan tukang jajan pasar ikut keder. Anak-anak menunggu uang saku, orang tua cekak dompet, dan seluruh rantai ekonomi lokal ikut terhuyung.
Swasta harus tetap sehat
Angka pekerja yang bergantung pada HGBT mencapai 134.794 orang. Jika pasokan diketatkan menjadi hanya 48 persen dari kebutuhan, sebagian besar berpotensi terkena PHK. Rinciannya industri keramik (43.058), baja (31.434), petrokimia (23.006), kaca (12.928), oleokimia (12.288), pupuk swasta (10.420), dan sarung tangan karet (1.660). Ini bukan sekadar angka, tapi ini keluarga, anak sekolah, dan kehidupan masyarakat.
Kebijakan yang tampak pro-BUMN tapi mengorbankan swasta jelas bisa menurunkan daya saing nasional. Swasta yang memble artinya investasi bisa lari, lapangan kerja menurun, dan potensi pertumbuhan ekonomi padat energi ikut tersedot. Kalau pemerintah ingin PDB nonmigas naik, jangan cuma pikirkan BUMN bernapas lega, swasta juga harus tetap sehat.
Kemenperin menekankan koordinasi lintas kementerian sangat penting untuk memastikan HGBT tersedia secara adil, menjaga keseimbangan antara BUMN dan industri swasta, dan memastikan daya saing nasional tetap terjaga. Gas bumi adalah sumber energi strategis, salah langkah bisa membuat industri tersendat, PHK merajalela, dan ekonomi lokal ikut keder.
Moral cerita ini? “Energi itu seperti napas bagi pabrik kalau tersumbat, semuanya sesak.” BUMN boleh bernapas lega, tapi industri swasta harus waspada. Jangan sampai pepatah lama bilang “Di mana ada gula, di situ ada semut” malah terjadi sebaliknya versi industri BUMN makan gula duluan, swasta kebagian remah-remah, pekerja nangis di sudut dapur pabrik.
Pengetatan HGBT bukan sekadar soal harga atau pasokan. Ini soal nasib ratusan ribu pekerja, kelangsungan industri padat energi, dan kesehatan ekonomi nonmigas.
Industri swasta yang memble perlu perhatian ekstra, yakni strategi cadangan, efisiensi, dan inovasi wajib dijaga. Sementara BUMN boleh tenang, swasta harus tetap waspada.
Harapan sederhana, jangan biarkan pabrik swasta seperti kompor kehabisan gas di tengah acara hajatan, kalau listrik di rumah padam pas nonton final bola, semua orang marah. Nah, begitulah rasa jutaan pekerja kalau pabrik mereka mati mendadak karena gas tersendat.
Pemerintah mesti memastikan kebijakan HGBT ini adil, konsisten, dan berkelanjutan. Kalau semua pihak BUMN maupun swasta bisa bernapas lega, barulah oven kue lapis raksasa ekonomi Indonesia bisa matang sempurna, berlapis manis, dan bisa dinikmati bersama.
Sederhananya, pemerintah jangan cuma jadi juru masak yang mengaduk adonan, tapi juga penjaga kompor agar apinya tetap menyala untuk semua. Karena tanpa itu, industri padat energi kita hanya akan jadi kue gosong yang tidak pernah sampai ke meja rakyat.
Karena pada akhirnya, kesejahteraan rakyat bergantung pada keseimbangan energi, antara BUMN yang bernapas lega dan swasta yang memble.[***]