Industri

Cuti Bersama HUT RI ke-80: Asyiknya Libur, Tapi Buruh Masih Kerja Keras, Kok Bisa?

ist

NGOMONGIN soal cuti bersama HUT RI ke-80, langsung kebayang deh suasana jalanan sepi, kantor kosong, pedagang gorengan naik omzet, dan yang paling penting kesempatan emas buat rebahan seharian sambil nonton karnaval di TV.

Pemerintah sudah mantap menetapkan 18 Agustus 2025 sebagai hari cuti bersama, biar rakyat bisa seru-seruan sambil merayakan kemerdekaan. Menteri Ketenagakerjaan, Pak Yassierli, juga sudah ngimbau perusahaan agar memberikan kesempatan buat para pekerja dan buruh ikut merayakan, biar nasionalisme makin melekat. Tapi, di balik gegap gempita cuti bersama, ada kenyataan lucu yang bikin tepuk jidat: ada buruh, khususnya yang kerja di sektor informal dan sekitar proyek besar, yang malah tetap kudu kerja. Lho, kok bisa?

Bayangin aja, cuti bersama itu ibarat angin segar di tengah teriknya panas kerja. Tapi bagi sebagian buruh, angin segar ini cuma wacana, ibarat mimpi indah yang baru ketemu di tidur siang.

Kalau cuti bersama itu seperti pesta ulang tahun dengan kue berlapis cokelat, nah buruh-buruh yang masih kerja itu ibarat tamu yang cuma kebagian remah-remah kue dari bawah meja. Lucu tapi miris, kan?

Dalam bahasa Jawa ada pepatah, “Ora ono rotone, aja ngarep susu.” Artinya, kalau gak ada usaha dan perhatian, jangan harap dapat hasil maksimal.

Nah, ini yang sepertinya masih terjadi di lapangan, pemerintah sudah ngimbau supaya perusahaan memberikan ruang seluas-luasnya bagi pekerja ikut merayakan, tapi kenyataannya?.

Dialog soal cuti seringkali berakhir dengan kalimat klasik, “Wah, lagi sibuk nih, minggu depan aja ya.” Jadilah buruh ini seperti pemain cadangan di pertandingan bola: siap dimainkan tapi lebih sering duduk di bangku cadangan.

Menteri Yassierli memang menegaskan, cuti bersama ini untuk memperkuat persatuan dan nasionalisme sekaligus menjaga produktivitas kerja. Tapi kalau semangat nasionalisme hanya sebatas seruan di siaran pers, tanpa diikuti aksi nyata, ya sama saja dengan mengejar bayangan sendiri capek tapi gak pernah ketemu.

Di sisi lain, cuti bersama harusnya jadi momentum untuk kita semua, khususnya pemerintah dan dunia usaha, untuk ngopi bareng sambil mikir: sudahkah kita benar-benar memperhatikan pekerja yang menjadi tulang punggung pembangunan? Jangan sampai, HUT RI ke-80 cuma jadi pesta kembang api yang menyilaukan mata, sementara di sudut lain masih ada yang kerja tanpa kesempatan istirahat dan rayakan.

Kesimpulannya, peringatan kemerdekaan ini bukan cuma soal seremonial dan cuti bersama yang bikin kantong-kantong usaha sesak, tapi bagaimana menjadikan kemerdekaan itu berwujud kesejahteraan yang merata. Ingat pepatah bijak “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.” Kalau buruh dan pekerja tidak diajak merayakan dengan sepenuh hati, nasionalisme pun bisa jadi cuma jargon kosong yang mudah hilang ditiup angin.

Jadi, yuk jadikan HUT RI ke-80 ini bukan hanya ajang cuti dan karnaval, tapi momentum nyata mempererat persatuan sambil memastikan semua lapisan masyarakat, terutama para buruh dan pekerja informal, dapat ikut merasakan manisnya kemerdekaan dengan hak-hak yang terpenuhi. Karena kemerdekaan tanpa keadilan sosial itu seperti sayur tanpa garam kurang nendang, kurang greget!.[***]

Terpopuler

To Top