BAMBU memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Misalnya, batang bambu dewasa yang banyak digunakan sebagai tiang pancang penjor, semacam umbul-umbul berbahan kain atau hiasan dari daun muda kelapa yang kerap dihadirkan dalam berbagai upacara keagamaan sehingga bambu banyak manfaat.
Bambu juga menjadi bahan utama anyaman untuk tempat sesajen, serta bahan bilik rumah-rumah warga. Ribuan batang bambu juga digunakan sebagai penopang patung ogoh-ogoh saat pawai menjelang Hari Raya Nyepi. Karena itu, hingga kini masih banyak hutan bambu yang terawat dengan baik di sejumlah pelosok desa di Pulau Dewata.
Salah satu hutan bambu berada di Penglipuran. Sebuah desa adat yang berada di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, sekitar 45 kilometer dari pusat kota Denpasar. Perlu waktu dua jam dari Denpasar untuk mencapai desa sejuk di kaki Gunung Batur ini. Di desa seluas 112 hektare (ha) ini, masyarakat menjaga kelestarian hutan bambu warisan leluhurnya selama ratusan tahun.
Tak hanya itu, batang bambu dari hutan Penglipuran ini masih dipergunakan warga sebagai bahan baku atap angkul-angkul (gerbang rumah), bangunan dapur (pawon), balai upacara (bale saka enem) dan balai warga (bale banjar). Batang bambu dari hutan Penglipuran juga kerap dipakai sebagai tiang penjor yang dipancangkan di pekarangan rumah warga.
Bambu pun menjadi salah satu kearifan lokal masyarakat setempat terkait kesiapsiagaan bencana karena mampu menahan erosi, longsor, dan sebagai tangkapan air.
Menyadari beragam manfaat yang dihasilkan dari tanaman bambu, warga melalui kesepakatan bersama atau awig-awig dalam bahasa setempat, telah menjadikan hutan bambu seluas 45 ha yang terletak di utara desa, sebagai aset tak ternilai, sekaligus penyeimbang ekosistem.
Ini sesuai dengan konsep Tri Hita Karana dalam ajaran agama Hindu Bali yang dianut mayoritas penduduknya. Konsep ini adalah filosofi kehidupan tangguh masyarakat Hindu Bali mengenai keseimbangan hubungan dengan Tuhan, antarmanusia, dan lingkungannya.
Saat mengunjungi Penglipuran, kita tak hanya menikmati kebersihan lingkungan desa yang pernah didaulat sebagai desa paling bersih di dunia oleh majalah Boombastic pada 2016. Kita juga bisa berkeliling hutan bambu yang asri dan bebas sampah menggunakan sepeda yang disewa atau berjalan kaki melewati jalur trekking berupa jalan setapak terbuat dari paving block dan aspal selebar 1 meter sepanjang 2 kilometer yang melingkari kawasan hutan. Jalan setapak ini juga sering digunakan sebagai jalur berolahraga warga sekitar dan turis, terutama di akhir pekan.
Kawasan hutan bambu ini bisa dijelajahi dalam waktu 1 jam berjalan kaki. Kita bisa menikmati suara gemerisik helai dedaunan atau batang bambu saling bergesekan yang menimbulkan harmonisasi suara. Belum lagi garis-garis sinar matahari yang menembus di sela-sela rumpun daun dan batang bambu membentuk siluet indah dan menjadi obyek favorit untuk berfoto. Lokasi ini juga kerap dijadikan sebagai latar foto pre-wedding bagi pasangan yang akan menikah.
Berdasarkan papan informasi yang terdapat di gerbang utama, disebutkan bahwa ada 14 jenis bambu yang ada dalam kawasan hutan ini. Misalnya bambu petung, jajang, dan tali yang dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Masih ada jenis lainya seperti bambu ampel, tambang, gading. Spesies bambu Penglipuran terkenal sebagai salah satu yang terbaik di Pulau Dewata.
Mempertahankan kearifan lokal
Pegiat lingkungan di Penglipuran, Gede Yoga mengatakan, kehadiran hutan bambu di desanya dari sisi ekologis sudah terbukti mampu menjaga sumber air dan mencegah erosi tanah di tebing-tebing. Di hutan bambu ini masyarakat juga membangun pura, tetapi dengan cara yang unik. Mereka hanya menyimbolkan pura melalui bongkahan batu seperti misalnya Pura Mpu Aji. Sepintas, pura ini tidak lebih dari bongkahan batu biasa dan dikelilingi oleh tanaman bukan bambu. Berbeda dengan pura pada umumnya yang terdapat tugu berukir. Inilah cara kami menghormati kesimbangan alam, kata Yoga.
Penebangan bambu pun diatur waktunya. Tak bisa dilakukan secara sembarangan. “Keyakinan kami, jika dipanen di hari tak baik, misal saat berbunga nanti akhirnya bambu mati,” kata Bendesa (Kepala) Adat Desa Penglipuran, I Wayan Supat.
Misalnya saat penanggalan (wuku buku), diyakini tak cocok memanen tanaman berbuku seperti tebu dan bambu. Kepercayaan dan tradisi seperti inilah yang mengendalikan atau mencegah eksploitasi tanaman bambu.
Selain penanggalan waktu, ada juga pengetahuan tradisional yang diwariskan. Misalnya, saat musim hujan tidak baik untuk memanen bambu, karena rebung kebanyakan air. Juga menentukan mana rumpun yang cocok untuk ditebang. Desa adat mendorong kebiasaan terkait hal ini, untuk memastikan kelestariannya. Ini laku pendidikan yang harus dilanjutkan untuk generasi pewaris hutan, kata Supat.
Meski sebagian lahan hutan atas nama warga, lokasi tanaman bambu tetap menyatu, sehingga tak terlihat ada sekat-sekat kepemilikan. Pemanfaatannya pun diutamakan untuk ekologis dan ekonomis. saat ada warga yang membutuhkan batang bambu untuk merenovasi bangunan rumahnya atau mengganti bambu lama atau perlu untuk perlengkapan sembahyang, maka bisa memanen gratis di hutan ini.
Tentu ada syaratnya, yaitu atas seizin pemilik lahan atau memberi tahu dan minta izin pimpinan desa adat. Wayan Supat menyebut desa hanya mengatur tata guna lahan. Semua status tanah menurutnya hak ulayat atau penguasaanya oleh desa adat. Namun warga memiliki hak guna pakai dan hanya bisa dijual ke sesama warga desa saja.
Segala upaya merawat hutan bambu sebagai warisan leluhur yang dilakukan segenap penduduk Penglipuran bukannya tanpa hasil. Setidaknya mereka pernah menerima penghargaan Kalpataru dari pemerintah pada tahun 1995 atas upaya masyarakat Penglipuran melindungi dan menjaga kelestarian ekosistem hutan bambu di wilayah mereka.InfoPublik (***)